Puasa dan Kesehatan

oleh

H.Prasetya Utama, M.Kes (Widyaiswara BKD Kab.Lombok Barat)

Tidak terasa bulan Ramadhan sudah di ambang pintu.Puasa di bulan ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Allah swt. telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana Allah ta’alaa berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana juga telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa (Q.S. Al-Baqarah: 183).

Ayat diatas adalah ayat yang setiap tahun rutin dibahas oleh para mubaligh diseluruh dunia, khususnya di bulan ramadhan. Ayat tersebut berisi tentang perintah Allah SWT kepada ummatNya yang merasa dirinya beriman, untuk menjalankan perintah puasa sebulan penuh dibulan ramadhan.

Dari sisi kesehatan, puasa ternyata mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Bukan hanya sekedar menahan makan, minum dan hawa nafsu, ternyata puasa memberikan efek yang luar biasa pada status kesehatan manusia. Berikut ini beberapa saja manfaat menjalankan puasa dibulan ramadhan dari sisi kesehatan.

1. Menurunkan Berat Badan

Berkurangnya masukkan energi pada orang berpuasa, membuat tubuh harus mencari sumber energi lain yang tersimpan di dalamnya, yaitu simpanan lemak dalam tubuh untuk dijadikan sumber energi. Lemak yang pada hari-hari biasa jarang dipergunakan untuk kepentingan tubuh, pada bulan puasa terpaksa diuraikan untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh kita. Sehingga secara tidak langsung akan mengurangi timbunan lemak dalam tubuh dan pada akhirnya akan menurunkan berat badan kita. Tak heran bila setelah 29-30 hari berpuasa, tubuh akan berubah bentuknya dan berkurang bobotnya hingga sekitar 4 kg.

2. Meningkatkan daya tahan

Manfaat puasa ternyata juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Mekanismenya adalah pengurangan konsumsi kalori yang akan bermanfaat mengurangi laju metabolisme energi. Sebagai buktinya, suhu tubuh orang berpuasa akan menurun. Hal ini menunjukkan pengurangan konsumsi oksigen.

Manfaatnya bagi kesehatan, puasa akan mengurangi produksi senyawa oksigen yang bersifat racun (radikal bebas oksigen). Dilaporkan sekitar tiga persen dari oksigen yang digunakan sel akan menghasilkan radikal bebas oksigen, dan hal itu akan menambah tumpukan oksigen racun seperti anion superoksida (.O2-) dan hidrogen peroksida (H2O2) yang secara alamiah terjadi dalam tubuh.

Kelebihan radikal bebas oksigen tersebut akan mengurangi aktivitas kerja enzim, menyebabkan terjadinya mutasi, dan kerusakan dinding sel. Ada sekitar 50 penyakit degeneratif, termasuk penyakit jantung dan stroke, dicetuskan dan diperparah oleh senyawa radikal bebas. Jadi, dengan berpuasa berarti akan meningkatkan daya tahan tubuh.

3. Menjaga Kadar Gula Dalam Darah

Puasa sangat bagus dalam menurunkan kadar gula dalam darah hingga mencapai kadar seimbang. Berdasarkan hal ini, maka sesungguhnya puasa memberikan kepada kelenjar pankreas kesempatan yang baik untuk istirahat. Maka, pankreas pun mengeluarkan insulin yang menetralkan gula menjadi zat tepung dan lemak dikumpulkan di dalam pankreas. Apabila makanan kelebihan kandungan insulin, maka pankreas akan mengalami tekanan dan melemah. Hal ini hingga akhirnya pankreas tidak bisa menjalankan fungsinya. Maka, kadar darah pun akan merambat naik dan terus meningkat hingga akhirnya muncul penyakit diabetes. Dan sudah banyak dilakukan usaha pengobatan terhadap diabetes ini di seluruh dunia dengan mengikuti “sistem puasa” selama lebih dari 10 jam dan kurang dari 20 jam. Setiap kelompok mendapatkan pengaruh sesuai dengan keadaannya. Kemudian, para penderita tersebut mengkonsumsi makanan ringan selama berurutan yang kurang dari 3 minggu. Dan metode semacam ini telah mencapai hasil yang menakjubkan dalam pengobatan diabets dan tanpa menggunakan satu obat-obatan kimiawi pun.

4. Mencegah terjadinya stroke

Puasa juga dapat mengurangi risiko stroke karena dapat memperbaiki kolesterol darah. Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa puasa dapat meningkatkan HDL (high density lipoprotein) dan menurunkan lemak trigliserol (pembentuk kolesterol LDL -low density lipoprotein- yang merusak kesehatan).

Bagaimana Cara Puasa yang Benar

Yang dimaksud puasa yang benar adalah puasa yang memenuhi kaidah agama dan kesehatan. Hal itu antara lain tampak dalam perilaku makan dan minum pada saat buka dan sahur.

Pada saat sahur misalnya, tidak mengonsumsi makanan dan minuman berlebihan dengan alasan menabung makanan. Tindakan itu justru akan memperburuk kondisi tubuh pada waktu siang hari. Maka makan dan minumlah secara wajar.

Makanan yang tinggi protein seperti susu, telur, ikan, sedikit daging merah, ayam dan jangan lupa tahu/tempe, atau makanan yang tinggi serat seperti sayur cepat olah dan buah-buahan utuh, sangat baik sebagai penyedia energi jangka panjang.

Jangan lupa menyediakan makanan dan buah yang bisa langsung dimakan seperti pisang, pepaya, jeruk atau apel yang sangat bermanfaat pada saat Anda buru-buru karena kesiangan sahur menjelang imsak.

Pada saat buka puasa Anda sebaiknya tidak makan dan minum terlampau banyak sebagai tindakan makan ‘balas dendam’. Buka puasa dengan langsung makan makanan berat justru akan memberatkan kerja lambung yang sudah dibiarkan istirahat sekitar 12 jam.

Buka puasalah dengan makanan ringan seperti kurma atau jus buah. Jangan minum minuman dingin atau yang dicampur es. Karena es dapat menahan rasa lapar sehingga hidangan lain yang lebih bergizi tidak dapat disantap dan akibatnya akan mengurangi asupan zat gizi yang diperlukan.

Setelah itu kerjakan ibadah shalat Magrib dan makan makanan buka seperti makan malam. Atau Anda dianjurkan untuk menundanya setelah selesai shalat Tarawih.

Aturlah agar air yang diminum tetap sekitar 6-8 gelas seperti hari biasa. Caranya antara lain pada saat buka sekitar dua gelas, setelah Tarawih hingga menjelang tidur sekitar 3-4 gelas, dan saat bangun tidur untuk sahur satu gelas, segelas lagi saat sahur. Minum air tidak selalu berarti air putih semata, tetapi minum teh, susu, jus buah, koktil buah, bahkan kuah sayur juga termasuk dalam jumlah air yang kita konsumsi.

Memang akan terjadi stres fisik pada minggu-minggu pertama melakukan puasa, seperti rasa lelah, pusing, dan lain-lain. Terimalah itu secara wajar dan bekerjalah secara wajar sesuai kemampuan tubuh pada saat puasa, karena tubuh akan melakukan penyesuaian atau adaptasi. Aturlah kegiatan dan pekerjaan sesuai kemampuan saat berpuasa. Jangan memaksakan diri, tetapi jangan pula puasa dijadikan alasan untuk malas bekerja.

Bagi Anda yang menderita sakit atau puasa akan memberikan dampak buruk pada kesehatan tubuh, konsultasikanlah dengan dokter apakah Anda boleh berpuasa atau tidak. Sebab agama (Islam) memberikan keringan kepada mereka untuk tidak berpuasa dengan melakukan fidyah atau amalan lainnya pada saat bulan Ramadan.

Jangan berbuka dengan yang manis

Dari Anas bin Malik ia berkata : “Adalah Rasulullah berbuka dengan Rutab (kurma yang lembek) sebelum shalat, jika tidak terdapat Rutab, maka beliau berbuka dengan Tamr (kurma kering), maka jika tidak ada kurma kering beliau meneguk air. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud)

Nabi Muhammad Saw berkata : “Apabila berbuka salah satu kamu, maka hendaklah berbuka dengan kurma. Andaikan kamu tidak memperolehnya, maka berbukalah dengan air, maka sesungguhnya air itu suci.”

Rasulullah SAW berbuka dengan kurma. Kalau tidak mendapat kurma, beliau berbuka puasa dengan air. Samakah kurma dengan ‘yang manis-manis? Tidak. Kurma, adalah karbohidrat kompleks (complex carbohydrate). Sebaliknya, gula yang terdapat dalam makanan atau minuman yang manis-manis yang biasa kita konsumsi sebagai makanan berbuka puasa, adalah karbohidrat sederhana (simple carbohydrate).

Darimana asalnya sebuah kebiasaan berbuka dengan yang manis? Tidak jelas. Malah berkembang jadi waham umum di masyarakat, seakan-akan berbuka puasa dengan makanan atau minuman yang manis adalah ’sunnah Nabi’. Sebenarnya tidak demikian. Bahkan sebenarnya berbuka puasa dengan makanan manis-manis yang penuh dengan gula (karbohidrat sederhana) justru merusak kesehatan. Rasulullah mencontohkan buka puasa dengan kurma atau air putih, bukan yang manis-manis. Kurma, dalam kondisi asli, justru tidak terlalu manis. Kurma segar merupakan buah yang bernutrisi sangat tinggi tapi berkalori rendah, sehingga tidak menggemukkan. Tapi kurma yang didatangkan ke Indonesia dalam kemasan-kemasan di bulan Ramadhan sudah berupa ‘manisan kurma’, bukan lagi kurma segar. Manisan kurma ini justru ditambah kandungan gula yang berlipat-lipat kadarnya agar awet dalam perjalanan eksya. Sangat jarang kita menemukan kurma impor yang masih asli dan belum berupa manisan. Kalaupun ada, sangat mungkin harganya menjadi sangat mahal.

Kenapa berbuka puasa dengan yang manis justru merusak kesehatan?

Ketika berpuasa, kadar gula darah kita menurun. Kurma, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, adalah karbohidrat kompleks, bukan gula (karbohidrat sederhana). Karbohidrat kompleks, untuk menjadi glikogen, perlu diproses sehingga makan waktu. Sebaliknya, kalau makan yang manis-manis, kadar gula darah akan melonjak naik, langsung. Sangat tidak sehat. Kalau karbohidrat kompleks seperti kurma asli, naiknya pelan-pelan.

Mari kita bicara ‘indeks glikemik’ (glycemic index/GI) saja. Glycemic Index (GI) adalah laju perubahan makanan diubah menjadi gula dalam tubuh. Makin tinggi glikemik indeks dalam makanan, makin cepat makanan itu dirubah menjadi gula, dengan demikian tubuh makin cepat pula menghasilkan respons insulin.

Para praktisi fitness atau pengambil gaya hidup sehat, akan sangat menghindari makanan yang memiliki indeks glikemik yang tinggi. Sebisa mungkin mereka akan makan makanan yang indeks glikemiknya rendah. Kenapa? Karena makin tinggi respons insulin tubuh, maka tubuh makin menimbun lemak. Penimbunan lemak tubuh adalah yang paling dihindari mereka.

Nah, kalau habis perut kosong seharian, lalu langsung dibanjiri dengan gula (makanan yang sangat-sangat tinggi indeks glikemiknya) , sehingga respon insulin dalam tubuh langsung melonjak. Dengan demikian, tubuh akan sangat cepat merespon untuk menimbun lemak.

Inilah sebabnya, banyak sekali orang di bulan puasa yang justru lemaknya bertambah di daerah-daerah penimbunan lemak: perut, pinggang, bokong, paha, belakang lengan, pipi, dan sebagainya. Itu karena langsung membanjiri tubuh dengan insulin, melalui makan yang manis-manis, sehingga tubuh menimbun lemak, padahal otot sedang mengecil karena puasa. Pantas saja kalau badan kita di bulan Ramadhan malah makin terlihat seperti ‘buah pir’, penuh lemak di daerah pinggang. Karena waham umum masyarakat yang mengira bahwa berbuka dengan yang manis-manis adalah ’sunnah’, maka puasa bukannya malah menyehatkan kita. Banyak orang di bulan puasa justru menjadi lemas, mengantuk, atau justru tambah gemuk karena kebanyakan gula. Karena salah memahami hadits di atas, maka efeknya ‘rajin puasa = rajin berbuka dengan gula.

(disarikan dari berbagai sumber)

Pemimpin Berkarakter

Pada suatu waktu, Abu Ubaidah bin Jarrah menemani Khalifah Umar bin Khattab dalam sebuah perjalanan ke Syam (Suriah). Mereka bersepakat untuk bergantian dalam menaiki dan menuntun kuda yang mereka gunakan.
Menjelang masuk Kota Syam, tiba giliran Umar yang harus menuntun. Merasa tidak enak dan khawatir penduduk Syam melihatnya, Abu Ubaidah mengusulkan agar ia yang menuntun dan Khalifah Umar tetap di kendaraan.
Tetapi, Umar menolak. Ia berkata, ’’Kami adalah kaum yang dimuliakan Allah SWT dengan Islam. Aku tak peduli apa kata mereka.’’
Sungguh menarik yang dikatakan Umar dalam kisah di atas. Kalau mau, sebagai khalifah ia bisa menikmati berbagai fasilitas negara.
Misalnya, kendaraan, ajudan, pengawalan, dan lain-lain. Namun, ia menolak semua itu. Ia tetap sederhana, jujur, adil, berani, dan merakyat. Inilah karakter yang diperlukan seorang pemimpin. Karakter adalah kekuatan.
Kehebatan manusia tersembunyi di balik karakternya. Dan karakter menunjuk pada tiga makna. Pertama, keutamaan universal yang dipandang baik oleh semua manusia di sepanjang sejarah dan semua kebudayaan.
Contohnya adalah ilmu, kearifan, keberanian, kejujuran, dan keadilan. Kedua, puncak kualitas moral yang berarti bertindak benar meski ada tekanan kuat berbuat sebaliknya. Ketiga, karakter menunjuk pada kesejatian diri.
Karakter menunjuk pada sikap dan laku perbuatan yang dilakukan seseorang pada saat tak ada seorangpun mengetahui. Karakter merupakan apa yang sejatinya mengenai diri kita. Di sinilah karakter dibedakan dengan pencitraan.
Citra adalah anggapan orang tentang diri kita yang belum tentu diri yang sebenarnya. Hal yang diperlukan pemimpin, tentu bukan citra melaikan karakter. Dalam karakter ada kesejatian sedangkan dalam citra ada kamuflase kemunafikan.
Karakter menunjuk sesuatu pada yang genuine. Sementara, citra merujuk pada sesuatu yang bersifat artificial. Sengaja dibuat untuk membangun imaji yang positif. Pemimpin yang berkarakter seperti tampak pada diri Khalifah Umar.
Dia tampil genuine dan otentik. Ia tidak menyandarkan kemuliaan dan kehormatan diri pada sesuatu di luar dirinya seperti pangkat pakaian, kekayaan, dan hal-hal yang bersifat aksesoris duniawi. Ia cukup percaya diri.
Untuk melapangkan jalan kepemimpinannya ia tak perlu mencela dan menjelek-jelekkan pihak lain. Pemimpin yang berkarakter adalah pemimpin optimistik. Berangkat daru integritas dan dedikasinya untuk kemajuan bangsa, ia tak pernah ragu bertindak.
Ia pun tak memedulikan olol-olok musuh atau orang yang tidak menyukainya. ‘’Mereka adalag orang-orang yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut pada cekaab orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehandaki-Nya dan Allah maha luas (pemberian-Nya) dan maha mengetahui.’’ (QS Al Maidah: 54).
Maka, belajar dari kepemimpinan Umar, satu hal mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah karakter. Perlu diketahui karakter merupakan takdir keberhasilan pemimpin. Wallahu a’alam.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/06/09/n6vu5u-pemimpin-berkarakter

Suami yang Menyiapkan Istri

Sering kali kita mendengar pembagian yang lazim dalam rumah tangga di Tanah Air. Suami bertugas mencari uang, sementara istri mengurus anak-anak.
Sebagai konsekuensi atas pembagian tugas tersebut, ketika seorang perempuan bekerja, saat mengikat tali pernikahan, terutama setelah anak- anak lahir, sang istri harus berhenti bekerja dan membiarkan pihak suami saja yang mencari nafkah. Demi pembagian tugas tersebut, tak jarang seorang istri meski mempunyai pencapaian lebih bagus harus mengorbankan jenjang karier yang dirintisnya sebelum menikah.
Pembagian tugas istri di rumah dan suami bekerja semakin mengakar di dalam kehidupan masyarakat. Bukan sekadar “patuh” pada produk budaya Timur yang cenderung bersifat patriarki, melainkan juga didasari “keyakinan” agama.
Namun, pertanyaan saya yang paling mendasar atas pembagian tugas ini adalah apakah berarti wanita tidak boleh punya penghasilan? Saya tidak keberatan wanita menjalankan tugas sebagai ibu bagi anak-anak di rumah, justru sa ngat mendukung ide ini, dengan catatan tentu tidak berarti keberadaan wanita di rumah sama dengan tidak berpenghasilan.
Sebuah kisah yang saya baca pada buku Catatan Hati Pengantin membuat saya semakin yakin pentingnya membangkitkan kesadaran para suami untuk menyiapkan istri mereka agar mandiri, termasuk secara finansial.
Kisah yang menjadi perhatian saya merupa kan pengalaman nyata seorang perempuan yang begitu disayang suami. Segala hal disiapkan oleh suaminya, mulai dari mobil, rumah, dan kebutuh an sehari-hari. Urusan administrasi pun ditangani suami dengan baik sejak awal mereka menikah. Tugas sang istri hanya menyiapkan makan untuk sang keluarga, menyambut dan menemani suami sehari-hari ketika lelaki itu di rumah, serta menjaga anak-anak.
Kehidupan keluarga kecil yang tampak sangat bahagia. Banyak teman sang istri yang iri akan nasib baik rekan mereka tersebut. Suami berperan sebagai imam yang bertanggung jawab dan istri bertugas membahagiakan suami serta menjaga anak-anak.
Namun, kehidupan berubah drastis ketika tanpa diduga suaminya terserang sakit jantung dan meninggal dalam usia muda. Beban istri yang syok karena kehilangan, bertambah gamang sebab sama sekali tak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengelola administrasi rumah tangganya. Selama ini kebutuhan rumah seperti listrik, air, dan lainnya selalu diurus suami. Lebih buruk lagi beberapa tahun sebelumnya sang istri baru kehilangan orang tua dalam sebuah kecelakaan.
Kehilangan beruntun yang tidak diimbangi ke mandirian membuat sang istri terombang- ambing jiwanya. Tiga bulan lamanya dia tidak mampu berbuat apa-apa. Penghasilan keluarga selama ini hanya bersumber dari suami sehingga praktis tidak ada sumber penghasilan lain ketika lelaki itu meninggal.

Situasi semakin sulit ketika akhirnya seluruh ta bungan habis untuk membayar kebutuhan sehari-hari. Sopir berhenti dan pembantu pun pergi karena tidak ada lagi yang mengurus gaji. Anak- anak bahkan harus diambil oleh keluarga suami karena ibu mereka yang stres tidak menyadari lagi keberadaan anak-anak.
Sebuah pengalaman pahit yang menyisakan pelajaran, betapa seorang istri harus disiapkan untuk mandiri, ya iman, ya finansial. Boleh-boleh saja membuat pembagian tugas. Suami mencari uang, istri menjaga anak dan mengurus rumah tangga.
Akan tetapi, siapa yang menjamin kepala keluarga akan berumur panjang? Siapa yang menjamin suami akan selalu sehat untuk menafkahi anak-anak? Siapa yang menjamin suami tidak lebih dulu pergi menghadap Tuhan?
Jika Rasulullah SAW bersabda perhatikan hidupmu sebelum datang matimu, sehatmu sebelum datang sakitmu, mudamu sebelum datang tuamu, maka hadis ini juga bisa diterapkan dalam kehidupan rumah tangga.
Para suami wajib menyiapkan istri mereka untuk mandiri dan me miliki penghasilan, sebagai upaya antisipasi, berjaga-jaga apabila suami lebih dulu berpulang. Terlebih, banyak pekerjaan saat ini bisa dilakukan seorang wanita tanpa harus meninggalkan kewajiban sebagai ibu rumah tangga.

Saat ini, dengan perkembangan zaman, cukup banyak daftar pekerjaan yang bisa dilakukan wanita di rumah tanpa menghabiskan banyak waktu dan tenaga serta tanpa meninggalkan kewajiban mengurus anak-anak.
Pihak suami juga harus menyiapkan istrinya mandiri selagi mereka masih sehat karena tidak ada jaminan suami akan sehat selamanya. Bukan mustahil terjadi musibah kecelakaan yang membuat kepala keluarga tidak lagi sanggup bekerja secara optimal.
Siapa pun harus menyadari banyak hal yang mungkin muncul di luar rencana. Sesuatu yang berada di luar kemampuan manusia, yaitu umur, nyawa, dan kesehatan. Karena itu sejak dini, kita, ter utama para suami, harus menyiapkan istrinya menjadi pribadi yang potensial, tegar, mandiri, dan siap menjadi sandaran yang kuat. Sesuatu yang sejak lama menjadi perjuangan saya lewat buku-buku yang saya tulis, demi senyum anak- anak kita pada masa depan.
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/05/31/n6fzcj-suami-yang-menyiapkan-istri

Bersyukur Tanpa Syarat

Cinta tanpa syarat. Begitulah harapan para pecinta untuk dapat mencintai sosok yang ia. Harapan itu sebagai bukti bahwa dia benar-benar mencintai sepenuh hati, apa adanya, tanpa syarat barang satu pun.
Jika cinta saja bisa tanpa syarat, sepatutnya, sebagai Muslim kita juga patut menjaga syukur tanpa syarat kepada Sang Pemberi Nikmat.
Allah SWT dalam beberapa ayat Alquran banyak mengajak para hamba-Nya untuk mudah bersyukur. Bukan karena Dia membutuhkan rasa terimakasih dari manusia.
Bersyukur ialah sebuah kebutuhan ruhani, baik diucapkan melalui lisan dengan ‘Alhamdulillah’, juga berupa perbuatan dengan memberdayakan apa yang kita dapatkan untuk kemaslahatan manusia.

Bersyukur juga sebagai bukti kelemahan bahwa kita sama sekali tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat bagi diri sendiri, terlebih kepada orang lain.
Karena ketidakmampuan itulah, manusia dianjurkan untuk mensyukuri apa yang ia peroleh, baik itu rezeki, kesehatan, ketentraman hidup, kebersamaan bersama orang-orang terkasih, dan masih banyak lagi nikmat-nikmat nan terhingga yang tak kuasa menyebutkannya.
Itu semua Allah limpahkan kepada manusia karena Allah bersifat Wahhab. Wahhab berarti Maha Memberi segala sesuatu baik yang dipinta ataupun tidak dipinta hamba-Nya.
Imam Ghazali menyebutkan bahwa pemberian Allah bersifat terus-menerus, tiada henti, berkesinambungan, dunia maupun akhirat, kepada siapa pun. Terlepas si hamba mensyukurinya atau tidak, karena memang pada hakikatnya Allah tidak membutuhkan apa pun dari hamba-Nya. Pemberi tanpa pamrih.
“… jika engkau bersyukur, maka akan Kutambah nikmat-Ku untukmu. Namun, jika kamu kufur (enggan bersyukur), sungguh adzab-Ku amat pedih.” (QS Ibrahim: 7)
Dalam perjalanan hidup, manusia tergolong menjadi dua: golongan syukur dan golongan kufur. Oleh karenanya, tercermin dari surah di atas bahwa janji Allah terlimpah untuk dua golongan manusia, baik yang syukur maupun yang kufur. Jika kita mensyukuri nikmat Allah apa pun bentuknya, seberapa pun banyaknya, maka nikmat itu akan bertambah.
Sebagai manusia biasa, terkadang kita alpa. Kita hanya sibuk mensyukuri pemberian-Nya yang enak dan tampak. Namun, lupa untuk bersyukur saat memeroleh musibah. Saat musibah datang, yang meluncur dalam doa-doa ialah keluhan dan kesedihan hingga penantian kapan musibah itu hilang.

Padahal, dalam terhimpit musibah sekalipun kita dianjurkan untuk tetap bersyukur, sebagai bukti bahwa itu adalah bentuk perhatian dan kasih sayang Allah.
Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan, “Wahai malaikat Jibril, datanglah kepada hamba-Ku dan kirimkanlah ia sebuah musibah, karena Aku rindu akan rintihannya.” (HR Muslim).
Hadis ini mengisyaratkan bahwa diuji dengan masalah ialah bukti bahwa Allah merindu rintihan dari para hamba-Nya. Tak inginkah kita dirindu?
Akhirnya, hakikat bersyukur tanpa syarat ialah kita tidak perlu menunggu datangnya nikmat lantas bersyukur. Tapi, bersyukur sebenarnya ialah senantiasa menjaga ungkapan terima kasih pada Sang Maha Kasih atas segala nikmat yang telah, sedang dan akan kita dapatkan. Wallahu a’lam.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/05/27/n68fkp-bersyukur-tanpa-syarat

Mengikuti Aturan Allah

Pada tulisan sebelumnya telah dipaparkan bahwa mengimani Allah tidak boleh sepotong-sepotong. Karena itu, seseorang baru bisa dikatakan beriman jika dia telah menerima semua aturan Allah sebagai kebenaran mutlak, tanpa pengecualian.

Pada zaman dahulu, Bani Israil telah menyaksikan langsung tanda-tanda kebenaran Allah SWT. Salah satunya adalah dengan mencicipi lezatnya hidangan surga yang diturunkan Allah ke bumi untuk mereka.

Bahkan, mereka pernah pula diizinkan untuk mendengarkan suara Allah tatkala berfirman kepada Nabi Musa AS.

Akan tetapi apa yang terjadi dengan Bani Israil? Mereka tetap saja ingkar kepada Allah. “Kami hanya akan mengikuti aturan-aturan Allah selama hal itu sejalan dengan hawa nafsu kami. Sementara, jika aturan itu bertentangan dengan nafsu kami, maka kami tidak bisa menerimanya,” begitu kata mereka kepada Nabi Musa AS.

Hal ini membuat Allah murka, sehingga turunlah QS Al Baqarah ayat 85. “Apakah kamu beriman kepada sebagian Alkitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”

Penggalan ayat di atas secara tegas mengingatkan kepada kita bahwa mengimani Allah berarti menerima sepenuhnya aturan-aturan-Nya. Jika ada satu saja aturan Allah yang kita tolak kebenarannya, maka alamat kita telah keluar dari golongan orang-orang beriman. Naudzubillahi min dzalik.

Sebagai contoh, jika seorang Muslim yang meninggalkan shalat fardhu karena malas, tapi di dalam hati dan ucapannya tetap mengakui ibadah itu sebagai aturan yang benar, maka dia masih disebut orang yang beriman.

Kita tidak bisa menghukumnya sebagai orang kafir. Meskipun demikian, orang tersebut tentu saja akan menanggung dosa lantaran melanggar perintah Allah. Karena, sejatinya Muslim itu tidak boleh meninggalkan shalat.

Lain halnya dengan orang yang mengaku Muslim, tapi meninggalkan shalat fardhu karena menganggap perintah Allah itu tidak benar. Orang semacam ini sesungguhnya bukan bagian dari golongan Mukminin.

Begitu pula dengan mereka yang mengaku beriman, tapi secara terang-terangan malah menyangkal kebenaran aturan Allah yang terdapat di dalam Alquran dan Hadis. Orang-orang seperti ini jelas sesat dan menyesatkan.

Di Indonesia, jumlah kelompok pengusung paham menyimpang seperti mereka amatlah banyak jumlahnya. Karena itu, sebagai umat Muslim, kita mesti berhati-hati agar pemahaman mereka tidak merusak akidah kita.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/benteng-akidah/14/05/07/n571sv-mengikuti-aturan-allah

Gugurnya Iman

Dalam pandangan Allah SWT, manusia itu pada dasarnya hanya terbagi kepada dua golongan, yakni Mukmin dan kafir. Hal tersebut telah ditegaskan-Nya di dalam Alquran.

“Dan katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.’ Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka,” (QS al Kahfi [18]: 29).

Jika kemudian golongan Mukmin mempunyai beberapa tingkatan, seperti Muslim, Mukhlis, Muhsin, dan Muttaqin, maka golongan kafir pun demikian. Mereka memiliki banyak varian. Sebut saja mulhid (ateis), musyrik (penyekutu Allah), dan munafik (pura-pura beriman).

Lalu bagaimana halnya dengan orang yang hanya mengimani Allah pada sebagian urusan, sedangkan pada sebagaian urusan lainnya dia mengingkari-Nya? Dalam padangan Allah, orang semacam ini tetap masuk dalam golongan kafir.

Jadi, tidak ada istilahnya orang setengah Mukmin dan setengah kafir. Kalau tidak Mukmin, maka dia adalah kafir.

Pembaca tentu masih ingat kisah tentang Iblis. Siapa yang berani meragukan keimanan makhluk yang satu ini? Dia pernah berjumpa dan berdialog langsung dengan Allah SWT. Dia tahu betul Allah itu tidak mempunyai anak.

Dia juga mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang layak disembah. Bahkan menurut Imam al-Ghazali, sebelum kemunculan Adam AS, Iblis sudah hidup dalam keimanan selama 80 ribu tahun.

Lalu mengapa Allah kemudian melaknat Iblis? Itu hanya karena dia menolak satu aturan Tuhan. Dia tidak mau mengakui kemuliaan yang diberikan Allah kepada Adam. Pada poin tersebut, Iblis menilai Allah telah salah menempatkan dirinya di bawah manusia.

Itulah yang menjadikan Iblis kafir di mata Allah. Meskipun dia tetap mengakui Allah sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta, namun keimanannya telah digugurkan oleh keangkuhannya. Kelak, ia kekal berada di neraka. Naudzublillaahi min dzaalik.

Kisah Iblis di atas secara jelas menunjukkan kepada kita bahwa mengimani Allah tidak boleh sepotong-sepotong. Seperti yang terjadi pada Ahmadiyah misalnya. Di satu sisi mereka percaya dengan keesaan Allah, namun di sisi lainnya mereka mengingkari ayat Allah yang menyatakan Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir.

Begitu pula halnya dengan kaum Syiah. Mereka mengaku beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad. Namun, mereka justru mengingkari Alquran sebagai kitab suci yang kesuciannya selalu dijaga oleh Allah SWT.

Pengingkaran-pengingkaran semacam itu tentu saja secara otomatis telah menggugurkan keimanan mereka kepada Allah SWT. Tiket menuju surga yang seharusnya sudah mereka miliki (dengan bersyahadat), menjadi tidak berlaku lagi. Dengan kata lain, mereka berada di luar golongan orang-orang Mukmin.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/benteng-akidah/14/05/02/n4xeq9-gugurnya-iman

Generasi Shaleh

Anak shaleh dan berakhlak karimah menjadi dambaan setiap orang tua.  Allah SWT mengajarkan agar orang tua berupaya sungguh-sungguh dan berdoa agar termasuk orang yang saleh, bersyukur dan mendapatkan generasi yang saleh (46:15).

Begitulah yang dicontohkan Nabi Ibrahim as (37:100, 14:40) dan Nabi Sulaiman as (27:15). Anak shaleh lahir dari orang tua yang shaleh, yakni yang berbakti kepada Allah dan Rasul, orang tuanya dan juga kepada anak-anaknya.

Dr Muhammad Nasih Ulwan dalam buku Tarbiyatul awlad fil Islam (Pendidikan Anak dalam Islam), menjelaskan lima metode pendidikan yang berpengaruh untuk menyiapkan generasi shaleh yakni:

Pertama; Pendidikan dengan Keteladanan. Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spritual dan emosional anak.

Pertanyaannya, apakah orang tua dan guru masih bisa menjadi teladan? Mereka belum bangga menjadikan kita sebagai idola. Untuk itu, kita harus menjadikan Rasulullah Saw sebagai teladan.

Beliau diutus oleh Allah SWT sebagai teladan terbaik (uswah hasanah) bagi manusia dalam seluruh aspek kehidupan (33:21), baik sebagai orang tua, suami, tetangga, da’i, pemimpin, pengusaha dan lain-lain.

Pribadinya mulia dan sempurna. Aisyah ra. berkata : kana khuluquhu al qur’an (akhlaknya adalah al-Qur’an).  Keteladan Beliaulah yang telah melahirkan generasi terbaik yakni shahabat, tabi’in) dan tabi’it-tabi’iin.

Kedua; Pendidikan dengan Kebiasaan. Pembiasaan (taw’id) sangat berpengaruh dalam membentuk karakter dan pribadi anak, karena terjadi proses pengulangan yang terus menerus. Sehingga, sadar atau tidak, secara perlahan akan membekas dan menjadi kebiasaan.

Di sinilah peran penting pendidik (orang tua dan guru) untuk memilih perkataan, sikap dan perbuatan yang baik.

Misalnya, menyuruh mereka shalat pada usia tujuh tahun dan memukulnya pada usia 10 tahun jika tidak menjalankannya. (HR. Abu Dawud).

Pembiasaan yang paling berpengaruh berasal dari kedua orang tua, guru dan teman-temannya (lingkungan).

Dalam masa tertentu, pengaruh teman atau lingkungan menjadi dominan, maka hendaklah melihat siapa yang menjadi temannya (HR. At-Turmudzi).

Ketiga; Pendidikan dengan Nasehat. Setelah keteladanan dan pembiasaan, anak-anak perlu petuah atau nasehat yang baik (mau’idzoh hasanah). Petuah yang menyentuh hati sanubari di waktu yang khusus pula.

Petuah yang tulus lahir dari kebersihan hati orang tua dan guru mampu memberi sentuhan dan kesejukan dalam diri anak.

Al-Qur’an mengajarkan kita cara memberi nasehat yang baik dengan ungkapan lembut. Hal ini tergambar pada seorang pendidik sejati yakni Lukman al-Kakim (31:13-19).

Ungkapan yang santun, yaa bunayya laa tusrik billah (Hai anakku jangan menyekutukan Allah)   Begitu pula ungkapan Nabi Nuh As. (Hud:42), Nabi Ya’kub as. (Yusuf:5), Nabi Ibrahim as. (2:132).

Keempat ; Pendidikan dengan Perhatian (pengawasan). Keteladanan, pembiasaan dan nasehat yang diberikan orang tua belum cukup jika tidak dibarengi dengan perhatian atau pengawasan ketat.

Orang tua harus terlibat dan memberikan waktu, tenaga dan pikiran dalam mengiringi perkembangan anak. Mereka tumbuh dalam zaman yang berbeda dengan kita dahulu. Pengaruh dan godaan semaikn kompleks dan bervariasi.

Seringkali terjadi, karena kurang perhatian dan pengawasan orang tua, menyebabkan  anak kehilangan pegangan.

Pemerkosaan, pembunuhan, hubungan seks bebas, terlibat narkoba, kriminal dan seterusnya, sebagian besar terjadi karena kurangnya perhatian dan pengawasan orang tua (66:6) dan kelak akan diminta pertanggung jawaban (HR. Bukhari Muslim).

Kelima; Pendidikan dengan Hukuman. Upaya maksimal orang tua dan guru melalui metode pendidikan di atas, adakalanya tidak berhasil atau kurang mendapat perhatian anak. Pendidikan Islam memberikan ruang untuk melakukan hukuman atau sanksi (‘iqob) yang mendidik (ta’zir).

Hukuman bukan untuk menyakiti tapi pencegahan (preventif) dan menimbulkan efek jera (kuratif). Dalam pendidikan anak, hukuman harus dilakukan secara bertahap, lemah lembut dan menghindari kekerasan (HR. Bukhari).

Akhirnya, patut kita renungkan, anak yang melihat orang tuanya berbuat dusta, ia tidak mungkin akan belajar jujur. Anak yang melihat orang tuanya berkhianat, ia tidak mungkin belajar amanah.

Anak yang melihat orang tuanya mengikuti hawa nafsu, ia tidak mungkin akan belajar keutamaan. Anak yang mendengar orang tuanya mencela, tidak mungkin ia akan belajar bertutur manis.

Anak yang melihat orang tuanya marah dan emosi, tidak mungkin ia belajar sabar. Anak yang melihat orang tuanya bersikap keras, tidak mungkin ia belajar kasih sayang”. Allahu a’lam bish-shawab.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/05/04/n50pg0-generasi-shaleh

Memperlakukan Anak Perempuan

Selain sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan, anak merupakan karunia dan hibah dari Allah SWT sebagai penyejuk pandangan mata, kebanggaan orang tua, dan sekaligus sebagai perhiasan dunia, serta belahan jiwa (QS al-Kahfi [18]: 46).


Karena itu, perlakukan anak dengan penuh cinta dan kasih sayang, lebih-lebih bagi anak perempuan. Terkait anak perempuan, secara khusus Rasulullah SAW melarang memperlakukannya dengan kasar.


Dari Uqbah bin Amir berkata Rasulullah SAW pernah bersabda, “Janganlah kalian memperlakukan anak-anak perempuan dengan kasar, karena sesungguhnya mereka adalah manusia yang berpembawaan lembut lagi peka perasaannya.” (HR Ahmad).


Hadis di atas menuntun kita, para orang tua, untuk mendidik anak-anak perempuan dengan baik dan bijak, serta tidak memperlakukannya dengan kasar. Sebab, perlakuan kasar dapat memicu rasa sakit hati dan dendam yang tidak mudah hilang dari ingatannya.


Bagaimana jika anak perempuan itu melakukan perbuatan yang menjengkelkan? Orang tua hendaknya dapat meluruskannya dengan baik dan bijak. Karena perlakuan kasar itu tidak dapat menyelesaikan masalah. Alih-alih meluruskan kesalahan anak, orang tua malah dijauhi.


Oleh karena itu, hindarkan tindakan menuduh, berburuk sangka, dan bermuka masam terhadap anak perempuan. Perlakukan anak perempuan dengan kelembutan dan kasih sayang.


Dan, sungguh beruntung orang tua yang dikaruniai anak perempuan dan ia dapat memperlakukannya dengan baik, bijak, dan penuh kesabaran. Maka, baginya balasan kemuliaan, yaitu surga. Subhanallah.


Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mempunyai tiga anak perempuan, lalu bersikap sabar terhadap keluh-kesah, suka-duka, dan jerih-payah mengasuh (mendidik) mereka, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga berkat kasih sayangnya kepada mereka.


Dalam hadis yang lain, “Barang siapa mempunyai tiga orang anak perempuan atau tiga saudara perempuan, dua orang anak perempuan atau dua saudara perempuan, lalu ia memperlakukan mereka dengan baik dan bertakwa kepada Allah dalam mengasuh mereka, maka baginya surga.” (HR Tirmidzi).


Hadis lainnya, “Barang siapa menanggung tiga anak perempuan, lalu mendidiknya, menikahkannya, dan memperlakukannya dengan baik, maka baginya surga.” (HR Abu Dawud).


Semoga Allah mengaruniai kita, para orang tua, tambahan kesabaran dan ketakwaan dalam mendidik anak-anak, terutama anak perempuan dengan penuh cinta, kasih sayang, dan tanggung jawab. Aamiin.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/04/24/n4i5ww-memperlakukan-anak-perempuan

Naik Haji dengan Uang Arisan, Bolehkah?

Siapa yang tak kenal arisan. Ada berbagai jenis arisan mulai arisan motor, arisan ibu-ibu hingga arisan haji. Motifnya dari ingin mengumpulkan uang demi membeli sesuatu hingga hanya ajang kumpul-kumpul dan bersosialisasi.

Arisan kini juga menyasar orang-orang yang ingin naik haji. Sistem arisan memungkinkan setiap orang bisa memberangkatkan anggotanya naik haji dengan uang hasil arisan hingga semua anggotanya berangkat naik haji. Lalu bagaimana hukumnya naik haji dengan uang arisan?

Majelis Tarjih Muhammadiyah mengungkapkan orang yang diwajibkan haji adalah orang yang punya kemampuan. Baik dari segi fisik, kesempatan dan harta. Definisi harta adalah mampu membiayai perjalanan ke Tanah Suci dan membiayai keluarga yang ditinggalkan selama haji. Harta yang digunakan pun harus yang halal.

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda. “Apabila berangkat seorang untuk menunaikan haji dengan nafkah yang baik pada waktu meletakkan kakinya pada kendaraan dan menyeru talbiyah, seorang dari langit mengundangnya ‘Engkau telah memenuhi panggilan dan engkau telah berbahagia, bekalmu halal dan perlengkapanmu halal, hajimu termasuk mabrur’,” (HR Thabarany).

Dalam lanjutan hadis tersebut, jika bekal dan perlengkapannya didapat dari harta haram maka hajinya tidak sah.

Haji dari uang arisan masih menjadi perbincangan di kalangan ulama. Pada dasarnya arisan masuk dalam kategori muamalah. Arisan tidak disinggung langsung dalam Alquran dan sunah. Sesuai dengan hukum asal muamalah, maka hukum arisan boleh atau mubah.

Majelis Tarjih Muhammadiyah memandang, jika arisan haji dilaksanakan sedikit orang yang memiliki penghasilan tertentu dan jaminan yang kokoh untuk menyelesaikan kewajibannya maka hal tersebut tidak masalah. Lain halnya jika arisan tersebut dilakukan oleh banyak orang, misalnya 50 orang dengan membayar iuran dengan jumlah tertentu. Yang dikhawatirkan dari jumlah yang banyak adalah lamanya untuk memberangkatkan semua anggota arisan.

Forum Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama dalam Mukhtamar ke-28 memberi fatwa tentang iuran arisan haji yang berubah-ubah. Di awal arisan sebagai sebuah sistem diperbolehkan. Sementara jika iuran arisan haji berubah sesuai dengan perubahan BPIH setiap tahun maka ada beberapa perbedaan dalam hal ini. Namun ulama NU menegaskan haji orang tersebut tetap sah.

Menurut Ali al-Syibramalisyi dalam kitab Nihayatul Muhtaj Juz II disebutkan pinjaman yang syari adalah memberikan hak milik dengan mengembalika penggantinya. Dengan syarat mengembalikan persis sama dengan barang yang dipinjamnya atau dengan bentuk barang yang nilainya sama.

Intinya setiap anggota arisan harus memiliki kemampuan untuk membayar atau mengembalikan pinjaman hasil arisan ketika sudah naik haji. Haji adalah ibadah bagi yang mampu sehingga tidak perlu dipaksakan. Majelis Tarjih Muhammadiyah bahkan mengimbau agar saat berhaji tidak meninggalkan hutang.

 

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/14/04/16/n44e71-naik-haji-dengan-uang-arisan-bolehkah

Membawa Anak ke Masjid, Bolehkah?

Bagian (1)


Anak-anak diperintahkan shalat saat usia tujuh tahun.


Saat melaksanakan ibadah shalat di masjid, sering diawali dengan imbauan mematikan alat komunikasi atau mengondisikan bagi jamaah yang membawa anak.

Harapannya agar pelaksanaan ibadah shalat bisa khusyuk tanpa terganggu suara-suara dari alat komunikasi atau anak-anak.

Bahkan, tak jarang beberapa pengurus masjid memarahi anak-anak yang masih gaduh dan membuat ramai jelang pelaksanaan shalat.

Yang lebih mengagetkan lagi ada beberapa masjid yang secara terang melarang jamaah membawa anak-anak saat ibadah shalat.

Lalu, apakah anak-anak tidak boleh dibawa ke masjid? Apa manfaat dan mudharat jika mereka yang belum baligh turut serta dibawa ke masjid?

Secara syara tidak ada larangan membawa anak kecil ke masjid, bahkan hal itu dianjurkan jika usia mereka mencapai mumayyiz.

Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah mengatakan meski shalat belum diwajibkan bagi anak-anak namun walinya harus mengenalkan shalat kepada mereka.

Terlebih, jika usia mereka mencapai tujuh tahun. Dalam beberapa riwayat, jika mencapai sepuluh tahun dan tidak shalat, anak-anak boleh dipukul. Tujuannya, ujar Sayyid Sabiq, agar ia terlatih beribadah dan sudah terbiasa saat baligh nanti.

Dalam sebuah hadis dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda. “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun. Dan pukullah dia jika usianya mencapai sepuluh tahun serta pisahkanlah di antara mereka saat tidur.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Hakim)

Bahkan dalam kitabnya, Sayyid Sabiq mengetengahkan hadis yang membolehkan menggendong anak kecil saat shalat. Seperti, saat Rasulullah SAW menggendong cucunya, Umamah binti Zainab, saat shalat Subuh dan meletakkan cucunya itu kala rukuk dan sujud.

Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari mengungkapkan hadis tersebut menjadi dalil diperbolehkannya anak-anak diajak shalat di masjid. Anjuran membiasakan shalat bagi anak-anak disunahkan dalam shalat jamaah, termasuk di masjid.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/14/03/30/n38mhz-membawa-anak-ke-masjid-bolehkah-1


( Bagian 2-habis)

Anak-anak diperintahkan shalat saat usia tujuh tahun.

Hal ini didasarkan pada hadis tentang letak saf shalat bagi anak-anak. Dalam hadis tersebut Rasulullah SAW melakukan shalat di rumah Abu Thalhah dengan memosisikan Anas (yang saat itu masih kecil) dan seorang anak yatim di belakang beliau. Sedangkan, Ummu Sulaim di belakang kedua anak tersebut.

Dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah SAW shalat dengan Anas dan menempatkannya di sebelah kanan Beliau. Beliau juga shalat dengan Ibnu Abbas dan menempatkannya di sebelah kanan.

Berdasarkan hadis ini, Syekh al-Albani membolehkan saf anak-anak seperti halnya saf orang dewasa jika tempatnya mencukupi.

Saat mengimami para sahabat, Rasulullah pun membawa cucunya yang kala itu masih kecil, Hasan dan Husein.

Dalam sebuah hadis dari Abdullah bin Syaddad dari ayahnya dia berkata, “Pada suatu shalat Rasulullah keluar. Beliau membawa Hasan atau Husein, kemudian meletakkan anak itu di depan saat akan shalat kemudian bertakbir.

Namun, saat sujud, beliau cukup lama. Lalu, aku mengangkat kepala dan melihat anak itu di atas punggung Rasulullah SAW.”

Selesai shalat, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apa yang menyebabkan engkau sujud begitu lama, kami menyangka engka menerima wahyu.”

Rasulullah SAW bersabda, “Bukan, hanya saja cucuku ini naik ke punggungku. Dan aku tidak menurunkannya dengan segera hingga dia merasa puas. (HR Ahmad, Nasai, dan Hakim).

Anak-anak jika sudah berada di masjid dan mengisi saf terdepan juga tidak boleh dilarang. Hadis “Hendaknya orang yang berada di belakangku adalah orang-orang dewasa dan berilmu di antara kalian,” menurut penjelasan Syekh Shalih al-Utsaimin, adalah anjuran agar orang dewasa dan berilmu maju mendekati Rasulullah (imam). Hadis tersebut juga bukan larangan, melainkan hanya anjuran.

Bahkan, jika anak-anak dikumpulkan dalam saf tersendiri di paling belakang, mereka akan membuat keributan dan mengganggu jalannya shalat. Jika kehadiran anak tersebut membuat ribut, Syekh Utsaimin melarang membawa anak-anak ke masjid.

Wali atau orang tua yang anak-anaknya ribut di masjid hendaknya membawa anak tersebut pulang. Jika orang tuanya tidak mengetahui anak-anaknya berbuat ribut, hendaknya anak tersebut dikeluarkan dan dinasihati dengan halus dan tidak menghardik.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/14/03/30/n38mrf-membawa-anak-ke-masjid-bolehkah-2habis

1 2 3