Giri Menang, Senin 9 Desember 2019 – Oxfam Indonesia menggelar Diskusi Publik tentang revisi Undang-Undang Perkawinan mengenai batas usia minimal perempuan menikah. Kegiatan ini dalam rangka kampanye yang diberi nama ’16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) 2019′ bertempat di Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin (9/12). Kegiatan ini ditujukan untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan atau yg disingkat Enough! atau Cukup!.

Herina Hampun dari Oxfam Indonesia dalam sambutannya menyebut kegiatan yang dilakukan adalah didukung oleh Revisi UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu usia kawin dari 16 tahun meningkat menjadi 19 tahun minimal bagi perempuan. Revisi ini, ujarnya, mendukung upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Kampanye ini merupakan kampanye internasional yg dimulai 25 Nopember bertepatan dengan Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, hingga 10 Desember yg merupakan Hari Hak Asasi Manusia. Kegiatan ini, lanjutnya, dimulai oleh para aktivis di Women’s Global Leadership Institute tahun 1991.

Tahun 2016, Oxfam Internasional berinisiatif mengadakan kampanye global bertajuk “ENOUGH!:Together We Can End Violence against Women and Girls” atau dalam Bahasa Indonesia “CUKUP!: Ayo Bersama Kita Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Perempuan”.

Oxfam, sebutnya, merupakan lembaga non profit yg berdiri sejak 1957, bekerja bersama pemerintah dan pihak lainnya dalam mengkampanyekan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Melalui Kementerian Sosial RI, ujarnya, Oxfam menandatangani Memorandum of Understanding untuk bekerja di 7 Provinsi, salah satunya NTB.

Oxfam, dalam kegiatan ini mengkolaborasikan 4 proyek yang melibatkan perempuan dan anak perempuan, yaitu Creating Spaces (CS), the Indonesian Women in Leadership (I-WIL), Power-Up (PU), dan Empower Youth for Work (EYW). Oxfam bersama mitra sepakat mengubah norma di masyarakat mengenai usia pernikahan perempuan dari 16 menjadi 19 tahun atau yg disingkat ‘Jangan 16, Tetapi 19’.

Asisten III Sekretariat Daerah NTB, Hj Siti Hartina, mewakili pemerintah Provinsi menyebut data kekerasan terhadap perempuan meningkat 16% dari 2017 ke 2018. Halina menyebut kasus-kasus kekerasan yang banyak terjadi. Yaitu kekerasan dalam wilayah pribadi, kekerasan dalam Perkawinan yg disebabkan keinginan aneh suami dalam aktivitas seks, kekerasan dalam hubungan sedarah (inses), bahkan termasuk kekerasan dalam berpacaran.

“Hati-hati Bapak-bapak yg mau selingkuh, ibu-ibu sudah hebat, berani melapor ke atasan suami,” ujarnya.

Selanjutnya, Halina menyebut pernikahan dini merupakan persoalan yang cukup besar di NTB. Namun, ia menegaskan, pernikahan dini jangan dianggap disebabkan oleh adat kebiasaan merarik suku Sasak.

“Merarik itu punya etika dan tata krama yg kalau dilaksanakan tidak akan begitu saja bisa dilakukan,” ujarnya.

Pernikahan dini, lanjutnya, bisa menyebabkan masalah sosial lainnya seperti penyakit kanker serviks, kawin cerai dan kemiskinan.

Angka pernikahan dini di NTB memang cukup tinggi, kabupaten/kota berupaya menekan angka ini. Salah satu yg cukup menonjol adalah Lombok Barat.

Di tempat terpisah, Kepala Bidang Pengendalian Penduduk, Penyuluhan, dan Penggerakan Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A)
Lombok Barat, Erni Suryana menjelaskan sejak 2015 pihaknya telah melaksanakan program Gerakan Anti Merarik Kodek (GAMAK). Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Bupati Lombok Barat No 843.4/34/BKBPPP/2016 dan PERBUP No 30 Tahun 2018 tentang program GAMAK Usia Ideal Menikah 21 tahun untuk pria dan perempuan. Bahkan, 18 Desember nanti akan di-Perda-kan yaitu PERDA No 7 Tahun 2019.

“Dengan PERDA ini menjadikan Lombok Barat merupakan satu-satunya kabupaten/kota yang memiliki Perda batasan usia pernikahan di NTB. Melalui inisiatif DPRD Lombok Barat akan diteruskan ke peraturan desa dengan PERDA tersebut sebagai payung hukumnya,” jelas Erni.

Program tersebut lanjutnya, terbukti sudah menampakkan hasil. Data tahun 2015, jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) yg menikah di bawah usia 21 tahun sebanyak 56,77%, tahun 2017 turun menjadi 22,79%.

Kegiatan diskusi yg sebagian besar pesertanya perempuan ini didukung oleh sejumlah instansi lingkup NTB dan lainnya. Di antaranya DP3AP2KB, Dinas Kesehatan, Konsorsium ADARA, Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI), Dinas Sosial, dan lain-lain.