JAKARTA – Penyamaan cara pandang dalam mendefinisikan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dianggap perlu sebagai bagian dari percepatan implementasi reformasi birokrasi. Oleh karena itu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) menginisiasi kegiatan “Focus Group Discussion (FGD) tentang Kontradiksi Pengertian Penyalahgunaan Wewenang antara Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah dengan Hukum Pidana” untuk meminimalisir singgungan antara administrasi pemerintah dengan hokum pidana, di Jakarta, Jumat (27/05). KemenPAN&BPK

Menteri PANRB, Yuddy Chrisnandi, dalam sambutannya mengatakan bahwa badan pengawas administrasi pemerintah dan aparat penegak hukum harus memiliki pandangan yang sama dalam melakukan pengawasan terhadap penyalahgunaan wewenang.

Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) sebagai pengawas juga harus mengidentifikasi secara jelas permasalahan administratif agar penyelesaian permasalahan administratif tidak masuk ke ranah hukum. “Substansi dari UU Administrasi Pemerintah adalah ketika seorang pejabat mengambil keputusan yang betul-betul emergency dan tidak dimaksudkan untuk menyalahgunakan wewenang, maka itu sifatnya administratif. Jadi tidak berujung pada polisi, kejaksaan, bahkan penjara,” ujar Menteri Yuddy.

Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kementerian PANRB, M. Yusuf Ateh, mengatakan dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang menuntut birokrasi lebih progresif dan inovatif telah menimbulkan perdebatan tentang diskresi yang dilakukan pejabat pemerintah.

Oleh karena itu Ateh menuturkan dibutuhkan APIP yang independen, profesional, dan mandiri.APIP juga dituntut untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan baik dari segi organisasi dan personelnya sehingga mampu menjawab tuntutan yang di amanatkan didalam UU Administrasi Pemerintahan. “Tugas strategis itu bukanlah tugas yang mudah,” tegas Ateh.

Kepala BPKP, Ardan Adiperdana, dalam kesempatannya sebagai pembicara, menyampaikan bahwa peran strategis APIP sudah diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan yang salah satunya adalah sebagai pengawas tindak penyalahgunaan wewenang.

Namun menurutnya tugas terberat dari APIP adalah mengidentifikasi pelanggaran yang terjadi, apakah termasuk pelanggaran administratif atau hukum pidana. Selama ini, pelanggaran dalam betuk administratif yang identik dengan tindak pidana korupsi, cenderung langsung diasumsikan masuk ke dalam hukum pidana. Padahal seharusnya harus dilakukan identifikasi terleih dahulu sebelum melakukan justifikasi.

Oleh karena itu, Ardan menganggap perlu adanya persamaan perspektif dalam penanganan diskresi tersebut. “Kami menganggap perlu ada kesepakan bersama, yaitu prosedur lintas instansi yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi atau tidak pada kerugian negara. Ini satu hal yang penting untuk menyatukan cara pandang,” tegas Ardan.

Senada dengan Ardan, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Arminsyah juga menegaskan pentingnya untuk melakukan penyamaan cara pandang antara APIP dengan pelaksana pemerintahan terkait dengan pelanggaran administratif dan hukum pidana. Hal ini dikarenakan aparat hukum terlalu mudah untuk memformulasikan suatu pelanggaran ke dalam tindak pidana hukum. “Setiap unsur pendekatan pidana harus ada kesengajaan. Aparat hukum terlalu mudah memformulasikan kesengajaan itu. Memang perlu ada kesepakatan antara penegak hukum dan pelaksana pengawasan, khususnya APIP,” ujarnya.

Sedikit berbeda dengan pembicara lain, Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Eddy Mulyadi Supardi, lebih menekankan pada tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh petinggi instansi pemerintah memang sudah seharusnya masuk dalam hukum pidana. “Korupsi di Republik ini dilakukan dengan sadar, sudah direncanakan, sudah diniatkan. Jadi korupsi itu dilakukan dimulai dari perencanaan,” kata Eddy.

Oleh sebab itu, Eddy mengatakan bahwa Kementerian PANRB bisa membenahi hal tersebut di sektor hulu, sementara APIP melakukan pembenahan di hilirnya. Namun demikian, terlalu banyaknya aturan yang saling berbenturan menjadi salah satu penyebab belum adanya persamaan persepsi antara APIP dengan pembuat kebijakan.

Sementara Ketua Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional (TIRBN), Eko Prasodjo, yang juga Guru Besar FISIP Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa UU Administrasi Pemerintahan memang lebih banyak bicara mengenai pencegahan atas tindak pidana korupsi. “Oleh karena itu yang diatur adalah tata cara bagaimana mengambil kebijakan,” ujarnya.

Menurut Eko, dalam masyarakat Indonesia yang cenderung berkarakter low trust society, segala sesuatu harus diatur, tetapi karena banyaknya aturan tersebut membuat orang-orang cenderung untuk mengakali. Tujuan dari UU tersebut yang sebenarnya jelas tertuang, yaitu menciptakan tertib administrasi pemerintah dan mencegah penyalahgunaan wewenang.Secara tidak langsung, konsep wewenang di Indonesia sudah dibawa ke ranah hukum pidana yang semestinya adalah ‘milik’ administrasi negara.

Dalam penyusunannya, Eko menuturkan bahwa UU tersebut memang yang paling lama dalam pembahasannya. “Paling lama itu di pemerintah, itu karena pemerintah tidak mau kaki dan tangannya terikat,” ungkap Eko. Selain itu, Eko juga menegaskan bahwa UU tersebut jangan dilihat sebagai landasan hukum yang berdiri sendiri, melainkan pemerintah juga sedang menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pengawasan sebagai bagian dari agenda perubahan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. (ris/HUMAS MENPANRRB)