LPAOleh : Lalu Pangkat Ali, S.IP

Dongeng ini (Monyet dan Kodok) termasuk jenis fabel, karena di dalamnya menceritakan tokoh binatang dengan berbagai aksi. Sebagaimana biasanya, cerita dongeng seperti ini tampak tidak realitas. Di dalamnya menceritakan hal-hal yang tidak masuk akal sebagaimana gambaran tentang monyet dan kodok bisa berinteraksi seperti manusia.

Memang, jika kita melihat dan memaknai dongeng ini secara tekstual, maka kita tidak akan memperoleh apapun kecuali sebuah hal yang mustahil. Tapi, bila kita mencoba menyelam sedikit dengan memandang dongeng ini secara metafrosis dan sebagai suatu sistem simbul, maka segera kita akan memperoleh keindahan dan kedalaman visinya.
Di dalam dongeng “Tuaq Tegodek dait Tetuntel” (Monyet dan Kodok), pengarang sedang bercerita tentang manusia dan sosialnya. Ia melihat bahwa, banyak manusia dalam interaksi sosial memiliki dan memelihara kemonyetan dalam dirinya. Apabila sifat-sifat monyet (seperti dalam dongeng ini), itu dijadikan sebagai alat ukur kita, maka pertanyaan yang muncul adalah, sudah terbebaskah kita dari sifat seperti itu? Jawabnya terserah kita. Tapi yang jelas, masih banyak diantara kita yang masih terjajah oleh sifat-sifat itu. Kita mungkin masih dibelenggu oleh nafsu kemonyetan itu. Hidup dalam belenggu napsu kemonyetan itu, berarti kita masih hidup dalam alam perbudakan. Yang memperbudak kita bukanlah seorang ‘tuan’ yang berkuasa, tapi kita masih diperbudak oleh nafsu kita, oleh ego kita, ego kelompok kita dan seterusnya.
Namun demikian, bukan berarti pengarang dongeng ini menyuruh kita membunuh ego. Tidak! Tidak demikian maksud pengarang, karena tanpa ego, manusia tidak akan pernah melakukan sesuatu. Tanpa ego, manusia tidak akan memiliki semangat lagi. Dan bahkan tanpa ego, manusia akan berhenti berdoa kepada Tuhan, padahal doa-doa yang kita panjatkan kepada-Nya, itupun sesungguhnya merupakan produk ego. Yang dimaksud adalah, upaya melimit ego agar terkendali, untuk selanjutnya dapat memberi akses bagi pencerahan jiwa kita. Oleh karena itu, yang dimaksud ego dalam konteks ini adalah, nafsu destruktif, nafsu yang berpotensi membunuh kemanusiaan kita, membunuh kelembutan manusia.
Untuk memperkuat solidaritas dan kedamaian, manusia hanya membutuhkan kelembutan hati kita. Kelembutan identik dengan jiwa reseptif, jiwa yang mampu mengenal dan merespon dirinya sendiri. Dan jiwa yang mengenal dirinya adalah, jiwa yang tidak senang disakiti, lalu tidak melakukan sesuati yang dapat menyakiti yang lain. Jiwa yang lembut adalah jiwa yang di dalamnya menyatu berbagai perbedaan. Dan berbagai perbedaan itu mengalir dalam persatuan.
Dalam dongeng Tuaq Tegodek dait Tetuntel ini, pengarang menyajikan dua konflik. Awalnya, konflik batin yang dialami Kodok karena merasa tertipu. Konflik itu lalu mendorong munculnya konflik fisik, yaitu aksi balas dendam dengan menjagal dan menjual daging monyet.
Dalam cerita ini, monyet menawari jasa baik untuk membantu memanen pisang hasil kerja keras kodok. Tawaran itu diterima kodok dengan senang hati, tapi akhirnya sangat merugikan, karena ternyata monyet memakan habis pisang milik kodok itu.
Jika kita memperhatikan potongan cerita di atas, apa sebenarnya yang ingin disampaikan pengarang kepada kita? Tiada lain kecuali sedang menyadarkan kita akan akibat ketidaksadaran dan kebutaan hati manusia yang dapat memporak-porandakan berbagai segi kehidupan. Monyet, sebagai simbul arogansi dan kodok mewakili kebodohan.
Dalam dunia yang kian mengglobal, penipuan, pemaksaan kehendak, korupsi, kolusi dan lainnya, dapat terjadi dimana-mana, Kasus-kasus tersebut semua merupakan wujud perkosaan. Dan sedang mereka perkosa sebenarnya adalah dirinya sendiri, sebab sebelum perbuatan itu dilakukan, para pelakunya terlebih dahulu memperkosa diri, telah menimbun nurani atau hati sucinya yang selalu membimbingnya untuk sesuatu yang baik dan benar.
Monyet dan Kodok, keduanya merupakan sifat yang tidak menguntungkan. Yang berwatak monyet tidak baik, dan berwatak kodok pun jelek. Pengarang dalam dongeng ini tidak sedang mempersilahkan pembaca atau pendengar untuk memilih salah satu diantara keduanya. Tapi, ia sedang memberi peringatan kepada kita agar berhati-hati, tetap waspada dari keduanya, sebab keduanya merupakan musuh besar yang tidak jauh, tapi berada dalam diri kita.
Kodok digambarkan sebagai sosok yang berwatak hitam putih. Mula-mula sebagai sosok yang rajin, tekun, sabar, tapi akhirnya termakan emosi. Kodok terprovokasi oleh ulah monyet yang jahat.
Pesan yang ingin disampaikan pengarang lewat peristiwa ini, bukan terletak pada watak kodok yang rajin. Yang dipesankan pengarang adalah, sebaik apapun kodok, dia tetaplah binatang yang tak punya kesadaran. Dia tetaplah kodok yang tidak mampu menyelamatkan diri dari sebuah provokasi, sehingga terjatuh juga.
Yang menarik sekali dalam cerita ini adalah, peristiwa demi peristiwa terjadi dengan sebab akibat yang tersusun rapi. Hanya saja pengarang tidak memberi solusi yang pasti dalam penyelesaian masalah. Kodok merasa dirugikan lalu melampiaskan kekesalannya dengan cara menjagal monyet yang sudah mati, kemudian menjual dagingnya untuk memperoleh keuntungan.
Mencermati peristiwa yang menjadi ending cerita ini, hampir tidak ada pesan moral yang dapat dijadikan model, kecuali gambaran emosi yang meluap. Baik tokoh Monyet maupun Kodok, pada dasarnya sama yakni, sama sama berkesadaran binatang, keduanya tidak punya tenggang rasa, tidak memiliki simpanan maaf sedikitpun. Tahapan cerita ini yang berpotensi memperkuat interpretasi kita bahwa, yang sedang dilukiskan oleh pengarang adalah, gambaran sisi gelap kehidupan manusia.
Ada yang mencubit lalu membalas dengan cubitan pula. Begitu seterusnya, sehingga terjadi peristiwa balas membalas sampai memuncak menjadi konflik fisik yang sangat merugikan. Yang mencubit salah, dan yang membalas cubitan itu dengan rasa dendam pun salah pula, karena balas membalas cubitan, itu merupakan produk emosi yang tinggi. Jadi, keduanya sama saja. Bedanya, hanyalah ada yang lebih dahulu dan ada yang menyusul melakukan aksi, tapi keduanya jelas telah melakukan kekerasan.
Kalau kedua tokoh itu dijadikan sebagai pembelajaran moral, maka keduanya tidak layak diikkuti, karena kekerasan dibalas dengan kekerasan, tidak pernah bisa menyelesaikan masalah dan sebaliknya, justru menambah keruhnya persoalan. Semoga!