Tulisan ini tidak bermaksud sukuisme atau fanatik terhadap suku yang berlebihan. Tapi merupakan wujud kecintaan penulis pada sebagian warga Sasak yang masih belum dikatakan maju terutama dari segi ekonomi. Tulisan ini juga bukan dari hasil penelitian mendalam namun opini dari pengamatan penulis yang mungkin saja subjektif, dimulai sejak menyadari sebagai Suku Sasak dan ketika membandingkannya dengan suku-suku lainnya yang tentunya opini ini masih bisa diperdebatkan (debatable).

Suku Sasak Lombok adalah suku bangsa yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa Sasak dengan jumlah penduduk sekitar 3 juta jiwa dari sekitar 4,49 juta jiwa penduduk NTB (Wikipedia, diakses 30 Oktober 2011 dan Lombok Post 6 September 2011). Penduduk miskin NTB yang sebagian besar adalah Suku Sasak di Lombok, berdasarkan data Bulan Maret 2011, masih cukup tinggi, yaitu mencapai 894.770 jiwa atau  19,73 % (Lomboknews.com, 1 Juli 2011). Kesulitan mencari pekerjaan yang akhirnya menimbulkan kemiskinan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di desa-desa tapi juga di kota. Bahkan berdasarkan data jumlah penduduk miskin NTB Maret 2011, kemiskinan di kota lebih besar (23,67%) daripada di desa (16,90%). Belum lagi jumlah pengangguran yang tinggi,  Apakah keadaan ini menunjukkan karena masyarakat Sasak itu malas?

Masyarakat Sasak sebenarnya adalah masyarakat yang rajin. Ketika memiliki kesempatan bekerja, dijalankannya dengan ketekunan. Mari kita lihat contoh sebenarnya masyarakat Sasak, yang walaupun hanya memiliki kesempatan sedikit, mau mengerjakan pekerjaan yang mungkin tidak pernah dicita-citakan saat masuk Sekolah Dasar dulu. Para petani atau buruh tani Sasak pada pagi-pagi hari, bahkan ketika ayam atau penduduk lainnya belum bangun, mereka sudah berada di sawah untuk memanen padi mereka atau padi pemilik sawah. Penulis sendiri tidak bisa membayangkan, bangun pagi-pagi, di tengah-tengah dingin dan embun pagi, yang meliputi daun-daun dari padi yang hendak dipanen, sungguh membutuhkan kesabaran dan kemauan keras demi menghidupi diri dan keluarga sehari dua hari. Adalah pantas, dengan demikian, kalau rizki mereka, para petani, (mungkin) lebih berkah. Belum lagi para peternak, terutama peternak sapi dan kambing, yang setiap hari harus menyediakan rumput untuk makanan sapi yang sering sulit didapat, lebih-lebih pada musim kemarau. Tapi mereka tidak putus asa, hingga rela mencari rumput atau dedaunan lainnya ke tempat lain yang terkadang membutuhkan pengorbanan tidak hanya tenaga dan waktu tapi juga uang untuk membayar angkutan. Tidak hanya itu, sejumlah masyarakat Sasak juga ada yang bekerja hingga ke daerah lain seperti Bali menjadi buruh pasir, Sumbawa menjadi buruh panen saat musim panen padi.

Belum lagi pekerjaan-pekerjaan lainnya yang juga ditekuni, memungut pasir di kali atau lokasi-lokasi tambang pasir tertentu lainnya. Ratusan kali menyekop pasir ke atas truk/dam dengan telanjang dada, peluh dan keringat yang mengkilat. Buruh pasar atau buruh serabutan yang bekerja dengan sekuat tenaga namun dengan upah yang hanya cukup untuk menyambung nafas sehari.

Juga pekerjaan-pekerjaan lainnya yang upahnya tidak sebanding dengan pengorbanan tenaga dan waktu yang diberikan. Seorang tetangga saya misalnya, bekerja sebagai penjaga sebuah penginapan, dan terkadang merangkap roomboy yang mengurus tamu. Bekerja dari pagi hingga malam, tidak diijinkan pulang oleh majikan, meninggalkan keluarga di rumah, meninggalkan masyarakatnya. Badannya kurus, suaranya parau, terlihat letih-lelah dengan nafas yang terkadang tersengal. Ironisnya hanya mendapat upah Rp 350.000/bulan atau sekitar Rp 12.000 perhari. Tapi tetap dijalankannya, karena tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Dia tidak akan melepas tangan kiri sebelum tangan kanan berpegang.

Tidak hanya mereka yang mungkin tidak memiliki keterampilan yang didapat di bangku sekolah. Para tamatan SMU, bahkan sarjana, yang penting memiliki kesempatan, rela menjalankan pekerjaannya dengan upah yang jauh berbeda dibanding di daerah/provinsi lainnya, yang sering tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk sekolah/kuliah. Ketekunan masyarakat Sasak dalam bekerja juga tampak terlihat dengan banyaknya mereka yang rela mencari rizki hingga ke negara lain, walaupun hanya menjadi tenaga kasar dan pembantu rumah tangga (PRT). Dengan resiko siap diperlakukan tidak manusiawi oleh majikan. Baik pria maupun wanita, puluhan ribu warga Sasak mengadu nasib ke negeri orang, terutama Malaysia dan negara-negara Arab. Data jumlah TKI Indonesia asal NTB di luar negeri mencapai 56.160 orang (VIVAnews.com, 4 Juli 2011), itu yang tercatat, belum lagi yang tidak tercatat. Dan jumlah itupun terus berubah setiap hari.

Begitulah sebagian wujud keuletan masyarakat Sasak, tapi mengapa kita masih mengalami kemunduran terutama dengan masih tingginya angka kemiskinan bahkan hingga urutan 8 nasional?. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Sasak yang pada dasarnya rajin bekerja justru sebagian masih mengalami kemiskinan. Pertama, kalau yang dicontohkan di atas mereka yang memiliki kesempatan kerja, namun masih banyak juga warga Sasak, pemuda-pemuda Sasak yang masih pengangguran yang disebabkan sulitnya memperoleh kesempatan kerja.  Kondisi ini tidak hanya dialami oleh masyarakat Sasak yang tidak atau hanya berpendidikan rendah saja, tapi juga bagi yang pernah sekolah tinggi atau memiliki gelar kesarjanaan. Bagi yang berpendidikan apa yang didapat di bangku sekolah/kuliah tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan dunia kerja. Sehingga bila ada lowongan kerja, mereka sering tidak memenuhi syarat yang dibutuhkan. Selain itu, banyaknya kesempatan sekolah tidak diimbangi dengan tersedianya lowongan kerja sesuai formasi jurusan yang diambil. Iklan-iklan di TV, surat kabar atau spanduk-spanduk di pinggir jalan, kebanyakan berisi iklan sekolah daripada lowongan kerja.

Kedua, kita kurang bisa berkreativitas menciptakan hal-hal yang baru. Sehingga, sebagai contoh, bila ada yang berumah di pinggir jalan membangun kios atau warung, sering diikuti oleh tetangga sebelahnya yang juga membuat warung. Tidak jarang kita temui warung-warung yang berderet (selain di pasar) yang barang jualannya hampir sama. Warga Cina, warga Jawa, selain karena jumlah mereka yang banyak, tersebar di mana-mana, juga karena memiliki kreativitas. Kreativitas tidak hanya dalam mencari pekerjaan tapi juga menciptakan pekerjaan. Mereka bisa membaca peluang, apa yang belum ada di tempat ini, apa yang dibutuhkan tempat itu. Bukan menciptakan yang serupa tapi membuat yang tak sama. H. LL. Azhar, Ketua Majelis Adat Sasak saat menghadiri Sarasehan Budaya Adat Sasak di Golong Narmada  (2/11) berpesan untuk bisa menciptakan yang “aneh-aneh”, yang berbeda dari yang lain, karena inilah wujud kreativitas.

Ketiga, kurangnya rasa persatuan warga Sasak untuk bisa saling mendukung. Yang banyak terjadi justru kita sering iri dalam pengertian yang negatif terhadap tetangga atau teman yang berhasil. Kita tidak senang ada teman yang berhasil, seandainya keberhasilan itu adalah dengan melalui sebuah tembok tinggi, maka saat seorang teman kita hampir akan berhasil melewatinya, kita malah menarik celananya dari bawah. Begitu juga dengan sebagian warga Sasak yang berhasil, baik ekonomi maupun pendidikan. Keberhasilan itu bukan dimanfaatkan untuk memberhasilkan yang lain, tapi ada bahkan banyak dari kita yang justru untuk berbangga-bangga terhadap yang belum berhasil.

Tidak sedikit warga Sasak yang studi ke luar daerah atau luar negeri. Tapi banyak (tidak semua) di antara mereka sekembalinya tidak mampu berbuat banyak, tidak membuat perubahan yang berarti, bahkan yang ironis mereka terlalu membanggakan keberhasilannya karena telah mampu belajar di luar. Yang lebih parah lagi, ada yang menggunakan kemampuan yang didapat untuk “melawan” teman-teman atau warganya sendiri. Kita seharusnya prihatin dengan ketertinggalan kita dan merasa memikul tanggung jawab untuk merubahnya menjadi lebih baik. Bukan malah membangga-banggakan keberhasilan pribadi. Bukankah hidup ini akan berarti kalau kita bisa berarti buat orang lain?.

Kurangnya persatuan ini juga terlihat yaitu dengan begitu mudahnya kita tersinggung karena hal-hal yang terkadang sepele namun memicu keributan antara kita. Tidak jarang akhirnya terjadi “perang kecil-kecilan” antar kampung yang berbeda yang hanya karena lantaran perkelahian pemuda mabuk, misalnya. Justru untuk hal-hal yang sebenarnya menggelitik, kita tidak pernah tersinggung. Tulisan-tulisan seperti Lombok Primitif tidak membuat kita tersinggung, malah kita membantu “menjual” tuduhan keprimitifan kita. Padahal kata primitif itu menggambarkan keadaan yang terbelakang, kuno, belum maju. Kita belum bisa menempatkan di mana kita harus marah dan di mana kita harus tersenyum. Kita sering senyum atau tertawa saat seharusnya kita marah atau sebaliknya. Faktor-faktor lainnya juga seperti belum tertanamnya sifat dan sikap jujur dalam diri kita dan banyaknya pernikahan yang terlalu dini.

Akhirnya, terlepas dari banyak Suku Sasak yang menjadi orang besar, menjabat di tingkat lokal maupun nasional tapi terlalu banyak juga di antara kita yang masih belum menjadi apa-apa. Yang membutuhkan dukungan motivasi dan kesempatan. Kita perlu saling bahu membahu mewujudkan masyarakat Sasak, generasi Sasak yang maju. Tidak hanya pemerintah, gubernur atau bupati saja, tapi kita yang mengaku masyarakat Sasak dan bisa berbuat sesuatu harus bersatu untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Allah SWT juga memerintahkan kita untuk bekerja keras dan membantu sesama, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al Qashash Ayat 77 “Dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan  di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. ***

 

Oleh: Muhammad Busyairi

Staf  Humas Pemkab Lombok Barat