Dalam pandangan Allah SWT, manusia itu pada dasarnya hanya terbagi kepada dua golongan, yakni Mukmin dan kafir. Hal tersebut telah ditegaskan-Nya di dalam Alquran.

“Dan katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.’ Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka,” (QS al Kahfi [18]: 29).

Jika kemudian golongan Mukmin mempunyai beberapa tingkatan, seperti Muslim, Mukhlis, Muhsin, dan Muttaqin, maka golongan kafir pun demikian. Mereka memiliki banyak varian. Sebut saja mulhid (ateis), musyrik (penyekutu Allah), dan munafik (pura-pura beriman).

Lalu bagaimana halnya dengan orang yang hanya mengimani Allah pada sebagian urusan, sedangkan pada sebagaian urusan lainnya dia mengingkari-Nya? Dalam padangan Allah, orang semacam ini tetap masuk dalam golongan kafir.

Jadi, tidak ada istilahnya orang setengah Mukmin dan setengah kafir. Kalau tidak Mukmin, maka dia adalah kafir.

Pembaca tentu masih ingat kisah tentang Iblis. Siapa yang berani meragukan keimanan makhluk yang satu ini? Dia pernah berjumpa dan berdialog langsung dengan Allah SWT. Dia tahu betul Allah itu tidak mempunyai anak.

Dia juga mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang layak disembah. Bahkan menurut Imam al-Ghazali, sebelum kemunculan Adam AS, Iblis sudah hidup dalam keimanan selama 80 ribu tahun.

Lalu mengapa Allah kemudian melaknat Iblis? Itu hanya karena dia menolak satu aturan Tuhan. Dia tidak mau mengakui kemuliaan yang diberikan Allah kepada Adam. Pada poin tersebut, Iblis menilai Allah telah salah menempatkan dirinya di bawah manusia.

Itulah yang menjadikan Iblis kafir di mata Allah. Meskipun dia tetap mengakui Allah sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta, namun keimanannya telah digugurkan oleh keangkuhannya. Kelak, ia kekal berada di neraka. Naudzublillaahi min dzaalik.

Kisah Iblis di atas secara jelas menunjukkan kepada kita bahwa mengimani Allah tidak boleh sepotong-sepotong. Seperti yang terjadi pada Ahmadiyah misalnya. Di satu sisi mereka percaya dengan keesaan Allah, namun di sisi lainnya mereka mengingkari ayat Allah yang menyatakan Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir.

Begitu pula halnya dengan kaum Syiah. Mereka mengaku beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad. Namun, mereka justru mengingkari Alquran sebagai kitab suci yang kesuciannya selalu dijaga oleh Allah SWT.

Pengingkaran-pengingkaran semacam itu tentu saja secara otomatis telah menggugurkan keimanan mereka kepada Allah SWT. Tiket menuju surga yang seharusnya sudah mereka miliki (dengan bersyahadat), menjadi tidak berlaku lagi. Dengan kata lain, mereka berada di luar golongan orang-orang Mukmin.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/benteng-akidah/14/05/02/n4xeq9-gugurnya-iman