Sulap Lahan Kering dan Tadah Hujan Menjadi Produktif
Wilayah Sekotong dikenal sebagai daerah yang kering, banyak lahan tadah hujan yang sulit digarap. Petani setempat kerap kali dilanda masalah yang disebabkan oleh minimnya air. Namun ditengah keterbatasan itu, petani setempat tak kehabisan upaya. Dimotori oleh Ihsan (35) petani asal Dusun Berambang, Desa Sekotong Tengah, para petani setempat akhirnya mampu menggarap lahan yang tadinya kurang produktif menjadi lahan produktif.
Berangkat dari persoalan yang dialami petani setempat, Ihsan mencoba mengembangkan teknologi sederhana. Berkali-kali gagal, namun ia mencoba terus menerus sehingga mampu menghasilkan produksi 9 ton padi per Hektar, itupun dilahan non irigasi (lahan kering). “Sejak 2013 lalu kami bersama-sama petani disini mencari solusi bagaimana menggarap lahan tidur (lahan kering) menjadi lahan produktif,”katanya saat ditemui Selasa (27/9). foto ihsan petani berprestasi tingkat nasional asal      Sekotong
Ia mengaku, awal mula mengembangkan pertanian di wilayah setempat pada tahun 2013 lalu. Saat itu minim infrastruktur penunjang seperti irigasi dan bantuan benih. Ia pun mencoba mengembangkan benih dengan pola demplot padi melalui program SLPTT. Lalu bibit hasil demplot itu ditanam di sawah, hasil panennya kurang memuaskan karena hanya 4 ton dalam satu Hektar sawah. Ia bersama petani lain pun mencoba mencari apa masalahnya sehingga produktivitas rendah. Ia mencari apa yang kurang lalu digali dan dicarikan solusinya. Saat itu, barulah diketahui bahwa petani belum menerapkan pemupukan berimbang. Ia pun berupaya berbagi informasi dengan petani lain, terkait langkah apa saja yang dilakukan untuk menanam padi. Ia turun ke petani untuk memberitahukan bagaimana cara menanam untuk menghasilkan produksi padi yang tinggi.
Atas pembinaan itu, musim tanam tahun berikutnya ia memperbaiki dengan menerapkan pemupukan berimbang. Sehingga diperoleh hasil yang terus meningkat, hingga saat ini diperoleh produktivitas padi menembus 9 ton per Hektar. Untuk memenuhi kebutuhan air, ia dengan petani lain saling pinjam mesin pompa air untuk menyedot air dari sungai dan embung yang masih memiliki air. Sebelum mendapatkan bantuan dari Dinas Pertanian, ia dengan beberapa petani membuat sumur. Sumur hasil swadaya ini sedikit membantu petani untuk mengairi sawahnya. Dalam kondisi sulit air, petani setempat terpaksa harus menginap di areal sawah miliknya. foto petani binaan Ihsan tengah bercocok tanam
Saat ini jelasnya petani setempat sudah menerapkan pemupukan berimbang, jajar logowo, handtraktor, tanpa olahan tanah, dan pengolahan pasca panen. Dengan penerapan sistem jajar legowo, petani mampu menghemat benih dan biaya. ”Kami juga sudah membuat alat panen sederhana buatan kami,” ujarnya. Dalam hal pemasaran, ia bersama petani setempat tidak mau tergiur menjual padinya dengan harga murah, atas bantuan pemerintah dibangunkan gudang penampungan gabah. Sebelum dijual, gabah diolah dan dikeringkan, & dilepas ke pasaran ketika harga bagus. Selain itu, petani juga diarahkan untuk mengolah gabahnya menjadi beras barulah setelah itu dijual dalam bentuk beras. “Nanti para ibu rumah tangga yang menjual beras itu,” ujarnya.
Selain padi, ia juga mengembangkan sejumlah komoditi lain seperti sayuran dan cabe. Tanaman ini dikembangkan secara swadaya dengan menerapkan teknologi sederhana. Ia menggarap lahan seluas 7 Hektar, yangmana dari total luas tersebut, 3 Hektar adalah milik pribadi sedangkan sisanya adalah lahan tidur milik orang lain. Ia membagi lahan itu untuk menanam padi, jagung dan tanaman hortikultura. Perjuangan Ihsan mengembangkan lahan pertanian di wilayah setempat ternyata dinilai oleh Tim Pusat. Ia pun berhasil mewakili NTB menjadi petani berprestasi tingkat nasional.

Kendala yang dialami petani di wilayah Sekotong masih seputar ketersediaan air dan akses permodalan. Terkait kebutuhan air, meskipun sudah dibangun embung Tibu Kuning di daerah itu namun daya tampungnya terbatas. Embung itu hanya mampu mengairi 250 Hektar saja dari ribuan Hektar lahan yang ada. Menyangkut modal, menurutnya banyak petani terpaksa mengijonkan padinya karena kesulitan mengakses modal. Petani menjual murah padinya, karena tidak ada modal untuk membeli kebutuhan pertanian. Ia mengaku hampir semua petani di wilayahnya mengijonkan padi untuk membeli kebutuhan pertanian. ‎

Pengirim : Zubaidi- Sekotong