Sering kali kita mendengar pembagian yang lazim dalam rumah tangga di Tanah Air. Suami bertugas mencari uang, sementara istri mengurus anak-anak.
Sebagai konsekuensi atas pembagian tugas tersebut, ketika seorang perempuan bekerja, saat mengikat tali pernikahan, terutama setelah anak- anak lahir, sang istri harus berhenti bekerja dan membiarkan pihak suami saja yang mencari nafkah. Demi pembagian tugas tersebut, tak jarang seorang istri meski mempunyai pencapaian lebih bagus harus mengorbankan jenjang karier yang dirintisnya sebelum menikah.
Pembagian tugas istri di rumah dan suami bekerja semakin mengakar di dalam kehidupan masyarakat. Bukan sekadar “patuh” pada produk budaya Timur yang cenderung bersifat patriarki, melainkan juga didasari “keyakinan” agama.
Namun, pertanyaan saya yang paling mendasar atas pembagian tugas ini adalah apakah berarti wanita tidak boleh punya penghasilan? Saya tidak keberatan wanita menjalankan tugas sebagai ibu bagi anak-anak di rumah, justru sa ngat mendukung ide ini, dengan catatan tentu tidak berarti keberadaan wanita di rumah sama dengan tidak berpenghasilan.
Sebuah kisah yang saya baca pada buku Catatan Hati Pengantin membuat saya semakin yakin pentingnya membangkitkan kesadaran para suami untuk menyiapkan istri mereka agar mandiri, termasuk secara finansial.
Kisah yang menjadi perhatian saya merupa kan pengalaman nyata seorang perempuan yang begitu disayang suami. Segala hal disiapkan oleh suaminya, mulai dari mobil, rumah, dan kebutuh an sehari-hari. Urusan administrasi pun ditangani suami dengan baik sejak awal mereka menikah. Tugas sang istri hanya menyiapkan makan untuk sang keluarga, menyambut dan menemani suami sehari-hari ketika lelaki itu di rumah, serta menjaga anak-anak.
Kehidupan keluarga kecil yang tampak sangat bahagia. Banyak teman sang istri yang iri akan nasib baik rekan mereka tersebut. Suami berperan sebagai imam yang bertanggung jawab dan istri bertugas membahagiakan suami serta menjaga anak-anak.
Namun, kehidupan berubah drastis ketika tanpa diduga suaminya terserang sakit jantung dan meninggal dalam usia muda. Beban istri yang syok karena kehilangan, bertambah gamang sebab sama sekali tak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengelola administrasi rumah tangganya. Selama ini kebutuhan rumah seperti listrik, air, dan lainnya selalu diurus suami. Lebih buruk lagi beberapa tahun sebelumnya sang istri baru kehilangan orang tua dalam sebuah kecelakaan.
Kehilangan beruntun yang tidak diimbangi ke mandirian membuat sang istri terombang- ambing jiwanya. Tiga bulan lamanya dia tidak mampu berbuat apa-apa. Penghasilan keluarga selama ini hanya bersumber dari suami sehingga praktis tidak ada sumber penghasilan lain ketika lelaki itu meninggal.

Situasi semakin sulit ketika akhirnya seluruh ta bungan habis untuk membayar kebutuhan sehari-hari. Sopir berhenti dan pembantu pun pergi karena tidak ada lagi yang mengurus gaji. Anak- anak bahkan harus diambil oleh keluarga suami karena ibu mereka yang stres tidak menyadari lagi keberadaan anak-anak.
Sebuah pengalaman pahit yang menyisakan pelajaran, betapa seorang istri harus disiapkan untuk mandiri, ya iman, ya finansial. Boleh-boleh saja membuat pembagian tugas. Suami mencari uang, istri menjaga anak dan mengurus rumah tangga.
Akan tetapi, siapa yang menjamin kepala keluarga akan berumur panjang? Siapa yang menjamin suami akan selalu sehat untuk menafkahi anak-anak? Siapa yang menjamin suami tidak lebih dulu pergi menghadap Tuhan?
Jika Rasulullah SAW bersabda perhatikan hidupmu sebelum datang matimu, sehatmu sebelum datang sakitmu, mudamu sebelum datang tuamu, maka hadis ini juga bisa diterapkan dalam kehidupan rumah tangga.
Para suami wajib menyiapkan istri mereka untuk mandiri dan me miliki penghasilan, sebagai upaya antisipasi, berjaga-jaga apabila suami lebih dulu berpulang. Terlebih, banyak pekerjaan saat ini bisa dilakukan seorang wanita tanpa harus meninggalkan kewajiban sebagai ibu rumah tangga.

Saat ini, dengan perkembangan zaman, cukup banyak daftar pekerjaan yang bisa dilakukan wanita di rumah tanpa menghabiskan banyak waktu dan tenaga serta tanpa meninggalkan kewajiban mengurus anak-anak.
Pihak suami juga harus menyiapkan istrinya mandiri selagi mereka masih sehat karena tidak ada jaminan suami akan sehat selamanya. Bukan mustahil terjadi musibah kecelakaan yang membuat kepala keluarga tidak lagi sanggup bekerja secara optimal.
Siapa pun harus menyadari banyak hal yang mungkin muncul di luar rencana. Sesuatu yang berada di luar kemampuan manusia, yaitu umur, nyawa, dan kesehatan. Karena itu sejak dini, kita, ter utama para suami, harus menyiapkan istrinya menjadi pribadi yang potensial, tegar, mandiri, dan siap menjadi sandaran yang kuat. Sesuatu yang sejak lama menjadi perjuangan saya lewat buku-buku yang saya tulis, demi senyum anak- anak kita pada masa depan.
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/05/31/n6fzcj-suami-yang-menyiapkan-istri