Kabupaten Lombok Barat

Dalam Isra’ Mi’raj, Allah adalah “Murid”

Oleh: Drs. Indri Darmawan

Pengajar Ponpes Nurul Haramain NW Narmada/Tinggal di Golong

Pada tahun 1970-an, kira-kira tahun 1971, diadakan peringatan Isra’ Mi’raj di Lapangan Olahraga Porda Selong Kabupaten Lombok Timur, tampil sebagai penceramah Al- Magfurullah TGKH Muhammad Zainnuddin  Abdul Majid dan Al-Magfurullah TGKH Haris tokoh kharismatik Muhammadiyah NTB.  Pada waktu itu al-magfurullah TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid – selanjutnya akan disebut Bapak Mawlana Syeikh – mengambil QS Al-Isra ayat 1 sebagai dasar pembicaraan lalu beliau tafsirkan. Ada yang tersisa dalam file memori saya tentang paparan beliau, setelah diramu dengan bahan lain menjadi bahan tulisan ini.

Firman Allah QS Isra’: 1“Segala puji bagi Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat.”

Dimulainya ayat tersebut dengan kata Subhana yang berarti maha suci, menunjukkan – kata Mawlana Syeikh, bahwa apa yang  akan disampaikan adalah peristiwa besar dan luar biasa; oleh sebab itu ’sucikanlah Allah sebagai ‘fail/ pelaku perbuatan tersebut dari’ undang-undang/ ketentuan yang berlaku pada makhluk (manusia, dicontohkan oleh Mawlana Syeikh dengan orang yang mengatakan Allah mempunyai anak (walad) karena Isa al-Masih lahir secara luar biasa, rahim Siti Maryam hamil tanpa dibuahi seorang pria, Allah berfirman; Subhanahu (Maha Suci Dia dari yang demikian; QS 2: 116). Dalam manajemen kosmis, Allah ciptakan semuanya berpasangan ‘semua tumbuhan bumi (jantan-betina), diri manusia (laki-perempuan) dan ‘apa yang telah diketahui manusia, antara lain listrik (kutub positif-negatif. Listrik dapat menggerakkan roda perekonomian, roda kebudayaan, manusia hanya ‘menemukannya (ingat penemu listrik,) – penemu hukum Mendel (dsb.), bukan menciptakannya (QS Yasin: 36)

Dalam Amr Takwimi (Manajemen Penciptaan) Allah hanya berkata “kun (jadilah!), fayakunu (maka terjadilah yang diiradahkan oleh Allah). Untuk memahami hal ini dengan pendekatan perbandingan, cobalah perhatikan fakta-fakta berikut: kecepatan menempuh jarak perjalanan adalah berbeda-beda, tentu tidak akan sama waktu yang dibutuhkan oleh semut, ular, kuda, onta/cidomo, sepeda, sepeda motor/bus, kereta apai, kapal terbang, kapal ruang angkasa. Kalau jarak yang harus ditempuh sama, misalnya antara Banten – Banyuwangi, antara Mekah – Palestina. Semut akan membutuhkan waktu mungkin ratusan tahun dari Mekah ke Palestina, memakai onta memerlukan waktu sebulan. Dan pada akhirnya tentu ada zat yang bersifat Serba Maha yang dapat melakukan sesuatu tanpa membutuhkan waktu sama sekali, – itulah Allah dengan Sabda Kun.

Oleh karena itu, memahami Isra’ Mi’raj haruslah dilihat siapa atau apa pelakunya, kalau yang melakukannya semut tentu mustahil menempuh jarak Mekah – Palestina ‘pada “lailan” (sebagian dari malam), juga kalau nabi Muhammad SAW melakukannya sendiri, dengan kemauan sendiri, baik dengan berjalan kaki maupun dengan mengendarai onta. Tetapi kalau semut itu sedang berada di tubuh pesawat terbang dan pesawat itu berangkat dari Mekkah ke palestina pukul 08.30, ‘lalu – umpamanya dia bercerita kepada orang yang mengerti bahasa binatang seperti nabi Sulaiman as – , – mengatakan bahwa ia baru saja datang dari Mekah yang jauhnya ribuan kilometer, bangsa semut yang tidak mengerti siapa/apa yang melakukannya tentu akan cengar-cengir; tapi bagi yang mengerti siapa/apa yang melakukannya tentu akan ‘manggut-manggut, percaya bahwa itu benar. Karena semut bukan berjalan sendiri, tapi diperjalankan oleh pilot pesawat itu dengan pesawat terbangnya.

Maka cermati lapaz asra dalam ayat tersebut, siapa fail (pelakunya), failnya dlomir mustatir yaitu Huwa, yakni Dia (Allah), Allah yang memperjalankan hamba-Nya, Muhammad saw, Allah yang menghendaki peristiwa itu (al-murid) dan nabi Muhammad saw yang dikehendaki oleh Allah (al-murad) sehingga peristiwa itu jangan diukur dengan undang-undang/kemampuan makhluk, sesuai dengan pembukaan ayat itu yaitu Subhana. Saraa artinya Saara lailan berjalan di malam hari, kalau ditambah hamzah di awalnya menjadi asraa-yusrie-isra’, berubah menjadi kata kerja muntadly (transitif) padanannya dalam bahasa Indonesia adalah afiksasi me-kan, sehingga isra berarti memperjalankan (Qamus al-Munawir: 670)

JANGAN TERHIJAB

Dalam al-Qur’an ditemukan ugkapan Rabbil izzati, pada ayat yang berbunyi Subhaana Rabbika Rabbil izzati ‘amma yashifuun’ (Maha Suci Tuhanmu, Tuhan yang memiliki kemuliaan dari apa yang mereka sifatkan’). Ayat inipun dimulai dengan kata Subhana seperti halnya ayat-ayat yang telah dipaparkan di atas. Ibnu Athoillah dalam al-Hikam bermunajat: Ya man ihtijaba fie Suroodiqati izzihi ‘an lan tudrikahul Abshoru, yang artinya wahai zat yang terdinding di balik hijab kemuliaanNya sehingga tak teridrak oleh daya penglihatan makhluk.

Ibnu Ajiebah menyatakan bahwa suradiqatul izzi (dinding kemuliaan) adalah ungkapan kinayah dari konsep alhujub-alqahriyyah (hijab-hijab) keperkasaan yang tak tertembus daya lihat dan daya nalar) dan konsep tersebut juga adalah hujubul izzati dari kata Habbul Izzati, “di balik dinding itulah zat Yang Maha Mulia itu” bersembunyi’ sehingga banyak manusia tertipu lalu mengingkari Keperkasaan, Kemuliaan, Kemahasegalaan Tuhannya, umumnya ‘hijab-hijab itu adalah dinding indrawi, waham, qotfah (kelalaian), akinnah (tuli/ kedok nurani) yang berkisar 5 hijab berikut (hal: 522)

(1)   Hubbuddunia; buta dunia yang ditanamkan oleh Allah dalam kalbu hamba-Nya sehingga himmah (cita-cita/ tekadnya) tertuju pada dunia, akalnya terobsesi sampai linglung pada dunia, kalbu gelap gulita oleh gambar khayali kesenangan dunia, fikiran terpusat padanya hingga tak tersisa untuk lainnya. Dunia itu mengokohkan da’iratul hissi sehingga hijab makin besar dan tebal. Dalam isra’ mi;raj diperlihatkan seorang nenek tua yang penuh dengan perhiasan di leher, di tangan, di telinga. Itulah tamsil dunia yang meski makin tua tetapi semakin menarik, bertambahnya jumlah koruptor yang sering kita tonton menjadi bukti betapa semakin tebal dinding cinta dunia membatasi diri mereka dengan Tuhan mereka.

(2)   Keterkaitan sebab-akibat, (irtibatul asbab ma’al musabbab); seperti terikatnya/terkaitnya rezeki dengan gerak sebab, gerakan ‘tumbuhnya tumbuhan terkait hujan, terkaitnya nasib dengan kekuatan do’a hamba, lalu orang jahil menafikan/meniadakan peran Tuhan, tergantung semata pada sebab, terhijablah manusia dari musabbabul asbab penyebab dari segala sebab (Prima Causa). Tuhan mampu melakukan sesuatu – memberi rezeki (rezeki harta, uang, ilmu) tanpa rentetan sebab-sebab.

Hanya ulul albab yang mampu menembus dinding-dinding sebab itu untuk sampai pada sebab terakhir.

Rasionalitas dapat menghijab spiritualitas, seperti ketika nabi Musa berkata kepada pemuda temannya “keluarkanlah makanan kita, kita telah capek berjalan”, lalu dijawab: “saya lupa, tadi ikan itu meluncur ke laut; wa ittakhoza sabielahu fil bahri ‘ajaba”. Cobalah perhatikan ikan sudah mati, sudah siap santap yang disiapkan sebelum berangkat, ternyata hidup lagi dan ‘berenang secara ajaib ke laut’.

Bagi yang hanya melihat sebab-sebab alami akan terhijab dari hakekat peristiwa itu, demikian juga sebagian orang Arab Qurays ketika berita Isra’ Mi’raj disampaikan oleh Nabi kepada mereka, banyak yang tidak percaya karena mengukurnya dengan hukum kausalitas alamiah (natural law) sehingga terhijab dari Kebesaran Rabbul Izzati.

Abu Bakar Ra yang langsung percaya kepada Nabi atas berita Isra’ Mi’raj itu pernah berkata: “al ajzu anil idraaki idraakun”, ketidakmampuan memahami (dengan otak) itu adalah sebuah pemahaman, oleh sebab itu harus disiapkan ruang dalam diri untuk ‘percaya’ (tashdieq bil qalbi), dan Abu Bakar Ra sampai bergelar al-shiddiq (yang selalu percaya dengan hatinya).

(3)   Terpaku pada Zohri Syareat (al wuquf ma’a dzohir syareat), baik yang bersifat tarqhieb (memberi harapan) maupun tarkib (memberi ancaman/siksa), baik pada tingkat ilmu, teori maupun praktik.

Ada yang berhenti pada tarqib lalu beramal mencari pahala semata, inilah Ubbud (ahli ibadah), ada yang berhenti pada tarkieb terkalahkan oleh khouf (rasa takut siksa) inilah kaum zuhhad (ahli zuhud).

Ada yang berhenti pada tarqib ilmu merasa cukup dengan ilmu rusam dan huruf (berhenti pada bentuk/kulit), terpukau oleh awany (wadah) lupa pada ma’any (makna), menggalakkan fenomena mengabaikan nomena. Mereka tinggalkan ilmul yaqin, ainul yaqin, makrifat zauqiyah, mereka ini adalah ulama zohir yang terampil Islahul Zawahir, lalai pada Islahussara’ir. Ilmunya menghijab mereka dari al-Ma’lum yaitu Allah sendiri.

Ilmunya kadang diunduh dari internet saja, yang belum tentu ada barakah, belum tentu sanad yang dimiliki oleh penulis di internet itu bersambung sampai ulama yang mu’tamad sebagai syarat untuk memperoleh barokah ilmu.

Ilmu yang barokah (kalam ilmu agama) apabila diperoleh secara talaqqy (bertemu langsung dengan guru yang juga bertemu dengan gurunya terdahulu). Menurut istilah Mawlana Syeikh ‘bersambung pada pipa ilmu-ilmunya belajar secara musyafahah. Betapa banyak yang ilmunya bertumpuk-tumpuk, tapi tidak banyak yang semakin saleh, banyak yang mengutip ayat-ayat dengan menyebut nomer surat dan nomer ayat beratus-ratus, berderet-deret tapi penulis artikel tersebut belum tentu hapal ayat yang disebutnya. Tapi dengan itu mereka puas, bangga, maka hal itu menjadi hijab apabila tidak disertai dengan cahaya ilmu masuk ke hati.

(4)   Terhenti pada manisnya taat, lezatnya munajat (al wuquf ma’a laziziththoat wal munajat); ini adalah racun yang membunuh bagi pelakunya. Ini pelaku ahli muraqabah, banyak juga ahli ibadah (ubbad) dan ahli zuhud (zuhhad) yang terhijab oleh hijab ini. Kadang-kadang mereka memperoleh karomah hissiyah (keramat yang kasat mata) seperti dapat berjalan di atas air, dapat “membaca masa depan” sehingga menjadi referensi calon legislatif, calon Kades, calon bupati, gubernur, dan sebagainya.

Ada yang mampu mengobati penyakit hanya dengan sentuhan tangan, lalu mereka puas dan bangga dan berhenti di batas itu. Ini adalah aib ruh (uyubur Ruh) yang terhenti pada ‘capaian-capaian batiniah’, perolehan karomah itu tidak tercela, yang tercela adalah ‘al-wuquf’ (berhenti) tidak mencari ‘siapa yang di balik dinding tersebut.

(5)   Tampaknya bekas qudrat (kekuasaan) Allah pada tajally nama-nama Allah, melekatnya sifat-sifat ubuddiyah pada dirinya seperti faqr, hina, bodoh, sakit, dsb. Kuasa (kudrat) Allah bertajalli pada dirinya seperti jatuh bisnisnya, turun karir politiknya. Peristiwa pahit bin getir itu membuatnya terhijab dari Allah, dia berhenti pada ‘mazhar tajally (locus of manifestation), bukannya mencari zat yang manifest itu sendiri (Allah), sesuai makna dari inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un, diucapkan dan dihayati sepenuh rasa bukan cuma dihapal diulang oleh lidah secara verbal formalitas belaka.

Fransisco Jose Moreno (Agama dan Keberagaman, 56) berpendapat bahwa dalam kehidupan sehari-harinya manusia dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan rasional tetapi selalu menemukan jawaban yang tidak rasional: mengapa harus mati, apa makna dan tujuan hidup? Mengapa harus saya yang menerima nasib buruk ini? … Jawabannya sering menunjukkan sesuatu yang tidak dipikirkan, yang di dalamnya memiliki dua prinsip yakni nilai (value) dan kepercayaan (belief).

Menerima ide tentang Tuhan adalah sebuah nilai, sedangkan mengembalikan kejadian-kejadian khusus seperti kematian, gempa bumi, kepada tanggung jawab Tuhan adalah kepercayaan. Pengakuan adanya Tuhan ini merupakan proses kejiwaan atau pengalaman spiritual, yang dialami setiap manusia. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan Tuhan adalah masalah kesadaran.

Kesadaran akan kemahasegalaan Allah inilah yang harus terhujam dalam lubuk kesadaran imani seorang mukmin disaat mendengar peristiwa luar biasa semacam Isra’ Mi’raj, sehingga Allah memulai ayatnya dengan kata Subhaana.

PEMADATAN WAKTU

Lailan (dalam ayat Qs Isra: 1) itu dimaknakan oleh Maulana Syeikh ‘sebagian dari malam (ba’dlan minal laili), jadi bukan sepanjang malam 27 Rajab itu. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Allah hanya berfirman ‘kun’ (jadilah) ‘fayakunu’ (maka terjadilah), dan Allah lanjutkan ayat tesebut dengan redaksi berbunyi ‘fasubhanallazi biyadihi malakutu kulli sya’in’, maka Maha Suci Allah yang ditangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu.

Apabila Allah berkehendak (‘murid’), maka sabda ‘kun’ (jadilah) sebagai manifestasi iradah-Nya, iradah-Nya tersebut menggambarkan apa yang akan terjadi / ada, merupakan suatu rencana karena masih di alam ‘amr’, alam amr itu berisi pola-pola ‘al Kaun (alam semesta). Realisasi dari amr/pola itu dikatakan fayakunu (maka jadilah). Durasi waktu antara ‘kun’ dan fayakunu tidak dapat dipastikan oleh manusia, bisa segera bahkan tanpa waktu, bisa pula lama.

Jelaslah bahwa dari alam ciptaan (al-kaun) muncul konsep waktu yang perlu dijelaskan untuk memahami Pemadatan waktu dalam peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi itu.

1. Waktu alamiah (nature time), yaitu al miqdar al mahdudu min al-zaman (ukuran tertentu dari jaman), demikian menurut buku Filsafat Tasawuf halaman 106. Bermakana bahwa waktu alamiah dapat diukur dan dikomposisikan pada unit-unit standar yang seragam, seperti unit-unit: milenium, abad, dasawarsa,windu, tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit, dan detik.

Waktu itu menurut Abdul G. Djapri (Mengintai Alam Metafisika, hal. 135) adalah timbul karena adanya peredaran alam, berputarnya bumi pada sumbunya sehingga menimbulkan siang dan malam karena perubahan letaknya terhadap matahari, . . . .beredarnya bulan mengelilingi bumi sehingga menimbulkan perhitungan tanggal bulan Qomariah di samping tanggal Syamsiah berdasarkan peredaran matahari.

Waktu sebagai fenomena alamiah ini tidak bisa dikendalikan, mengalir terus dari masa silam ke masa kini dan ke masa depan, kecepatannya ajeg (tetap) yaitu selalu 24 jam dalam sehari, secara alamiah kita tidak bisa kembali ke masa lampau atau melompat ke masa depan. Pepatah Arab mengatakan: al-waktu ka al-saif in lam taqtho’hu qatha’aku (waktu laksana pedang apabila Anda tidak memanfaatkannya, ia akan membunuh/melewati Anda).

2. Waktu psikologis, J.P. Chaplin (ibid 167) mengartikan waktu psikologis adalah tempo yang diperkirakan secara subjektif, tanpa bantuan jam atau posisi matahari, yang dipertimbangkan adalah jumlah kejadian yang terjadi, sifat kejadian itu, dan irama fisiologis.

Seseorang mungkin saja berbeda dalam mempersepsikan waktu dengan orang lain dipengaruhi oleh suasana hati, usia, mungkin juga obat. Obat penenang dan obat perangsang yang dikomsumsi seseorang akan memperlambat waktu dan ‘memperpendek’ dalam persepsinya.

Paahal kalau dilogikakan ukuran Ruang homogen: kilometer, hektometer, dekameter, sentimeter, dan ukuran waktu juga homogen : abad, windu, bulan, hari, jam, menit, dst. Satu jam disini sama saja panjangnya dengan satu jam di Amerika (mislanya). Satu jam tanpa memakan obat perangsang sama saja panjangnya dengan memakan obat tesebut, tapi dalam persepsi orang yang memakan obat tersebut berbeda panjangnya dengan yang tidak memakannya. Orang sedang ‘midang’ di berugak ‘ditemani’ oleh dedare inges, shalehah dan montok merasa waktu begitu indah, tahu-tahu jam menunjuk anka 12 malam maka ‘kul-kul’ tanda waktu midang telah berakhir menurut awiq-awiq memaksa dia untuk pulang. Waktu sepertiga malam terakhir dalam persepsi umat Islam adalah begitu sakral, dan menjanjikan maqoman mahmuda asal mau shalat tahajjud dan meminta kepada-Nya. Tanggal 27 Desember misalnya sama saja ‘durasi’nya dengan tanggal 27 Rajab, tapi yang kedua ini dipersepsikan lebih bermakna oleh orang muslim. Itulah waktu psikologis.

3. Manusia waktu (shahibul waqti), yaitu ibarat yang mengatakan kondisi dimana Anda berada (“ma anta fihi”), pada saat hal tanpa ditentukan oleh masa lampau atau masa yang akan datang. Hal disini maksud puncak pengalaman spiritual yang dia rasakan saat itu, menurut Al-Qusyairi manusia waktu (pemilih waktu) adalah sesuatu yang engkau ada di dalamnya, jika kamu di urusan dunia waktumu adalah di urusan dunia, jika kamu bahagia waktumu adalah kebahagiaan, jika kamu sedih waktumu adalah kesedihan.

Ini adalah perjalanan kaum Sufi yang dalam konteks ini diberikan predikat Ibnu Waqtihi (anak waktunya) atau ‘bihukmi waqtihi’ (berada dibawah hukum waktunya). Dalam kondisi (hal) seperti ini ia menafikan nature time (waktu kosmologis) waktu psikologisnya.

Tingkatan waktu ‘jenis’ ini yang tertinggi adalah al-waqtu al-haqq (waktu adalah Allah) dalam arti tenggelamnya waktu di dalam eksistensi Tuhan, si Sufi ketika menyaksikan eksistensi Tuhan dengan ma’rifat zawqiya-Nya tenggelamlah waktunya yang hadir di dalam pemaknaan jaman mutlak (pure duration)

Dengan demikian tenggelamnya jaman dalam bentuk waktu (al hien) yang merupakan bagian dari bagian-bagian yang dilimpahkan di dalamnya, bagian setetes air yang dijatuhkan ke dalam lautan maka lenyaplah inti tetesan itu ke dalam lautan wujud, kemudian jaman bentuknya juga tenggelam. Dalam wujud dahr yaitu masa antara azali dan abadi, lalu dahr yang tidak ada permulaan dan akhir ini adalah sifat keabadian Ilahi (Psikologi Tasawuf, hal. 250).

Dari sini kita pahami sabda Nabi dalam hadits Qudsy kepada orang yang kebetulan bernasib tidak baik lalu mencela sang waktu: La tasubbu al-dahra ja Ana al-Dahru (janganlah mencaci waktu, karena Aku adalah Waktu).

Menurut Al-Syrazy pada level puncak pengalaman ini pernah dialami oleh Nabi Muhammad saw pada saat Mi’raj di alam metafisika (Qs. Al-Najm 1-11), dalam level yang lebih rendah dan dalam  kualitas lebih rendah dapat dialami oleh seorang yang sholat dengan khusyu; sesuai sabda Nabi : al-sholatu mi’rajul mu’min (salat adalah mi’raj-nya orang beriman).

Tujuan (destinasi) Isra’ apalagi Mi’raj begitu jauh kalau dihitung dengan homogenitas unit-unit standar: kilometer, meter dan tentu akan begitu lama karena jarak tempuh menentukan waktu tempuh berdasarkan kecepatannya, lalu mengapa Isra’ Mi’raj itu cuma “lailan”, sebagian dari malam.

Untuk itu kita lihat dari konsep thayyul waqti (pemadatan waktu) dan nasyrul waqti (pengembangan waktu).

Menurut Ibnu Ajiebah, al-thayyu adalah : al liffu wa al dlommu, bihaitsu yashieru al-thowielu qoshieran, wa al-kabieru shogiera,….wa yauqismu ila arba’ti aqsaam : thoyyu al-jaman, wa thayyu  al-makaan  wa thoyyu al-dunia wa thoyyu al-nufus. Thayyu (pemadatan) adalah pelipatan dan pengumpulan, dimana yang panjang menjadi pendek, yang kecil menjadi besar….terbagi menjad empat, pemadatan waktu, pemadatan tempat, pemadatan dunia, pemadatan psikologis.

Pengalaman Isra’ yang diabadikan dalam Qs Isra’ 1 ditempuh dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsa, suatu jarak yang cukup panjang kira-kira 1500 km, dan setelah itu dari Al-Masjidil Aqsa Dari Al-Qubbatus Shobra’ naik melintasi tujuh petala langit sampai Sidratul Muntaha.

Disini terlihat bahwa dari aspek Ruang (al-makan) begitu luas melintasi jagad raya, jauh jutaan kali luasnya dari jagad raya yang ditempuh dengan pesawat ulang-alik Challengger, mestinya menurut logika biasa waktu (jaman) yang diperlukan tentu akan sangat panjang pula, akan tetapi semua itu ditempuh cuma ‘lailan’ (ay ba’dlan minal laily, sebagian kecil dari malam) sesuai dengan yang ditafsirkan oleh Maulana Syeikh terkutip didepan.

Penulis berbeda pendapat dengan al-marhum Ustad Mazwar  Syamsu asal Sumatra Barat yang berpendapat bahwa Sidratul Muntaha itu adalah planet Pluto, planet terjauh dalam sistem tata surya kita, sedangkan penulis melihat mi’raj itu peristiwa metafisika (gaib), di dekat Sidratul Muntaha – kata Al-Qur’an – ada jannatul ma’wa (surga tempat tinggal), dan surga adalah alam gaib (metafisis).

Waktu yang mestinya diperlukan berbulan-bulan, jarak tempuh Al-Masjdil Haram ke Al-Masjidil Aqsa pergi pulang, hanya ditempuh dalam beberapa jam oleh Nabi kita. Dan waktu melintasi jagad raya yang demikian luas juga hanya ditempuh dalam beberapa jam saja, maka disini Allah telah melakukan pemadatan waktu (thoyyul waqti atau thoyyu al-jaman), sebagaimana pemadatan waktu yang diberikan sebagai karomah kepada Ashep Bin Barkhiyu yang sanggup mendatangkan singgasana Ratu Balqis di Yaman dibawa ke Istana Nabi Sulaiman di Palestina hanya – qabla an yartadda ilaika thorfuka (sebelum matamu berkedip), Qs al-Naml, 40.