Jalanan menuju perkampungan itu masih becek. Hujan yang mengguyur semalam menyisakan air di jalan yang bergelombang tanpa sentuhan aspal. Di kiri kanan jalan, terlihat tanaman padi warga tumbuh subur diterpa angin. Sementara cahaya dilangit siang itu bersinar suram. Cahayanya meredup ditelan terik matahari, sehingga warna angkasa menjadi biru temaram.
Pada sebuah gang menuju perkampungan, aku menghentikan motor. Persis di depan gang, ada lapak-lapak kecil berderet, berbaris rapi dipenuhi onggokan pecahan batu. Lahan seluas sekitar 3 are dipenuhi batu besar dan kecil. Di pinggir lahan itulah, deretan atap lapaknya sangat sederhana, ada dari bahan anyaman daun kelapa, ada pula dari sisa-sisa sak semen atau terpal lusuh seadanya.
Di bawah lapak, terlihat sekelompok perempuan berbagai usia. Diperkirakan usianya 30-50 tahun. Ada juga lelaki. Mereka terlihat sibuk dengan pekerjaannya sebagai buruh pemecah batu. Aku segera menghampiri mereka, ingin tahu lebih dalam, kendati pertemuan itu tanpa rencana sebelumnya. Perempuan-perempuan pemecah batu itu, memberikan kontribusi besar kepada anemer. Para anemer atau warga yang membutuhkan bahan material batu pecah. Jangan heran, kalau sebagian pembangunan jalan, pengembang maupun lainnya, para anemer sering menggunakan material batu pecah yang dihasilkan perempuan-perempuan perkasa pemecah batu dari dusun Dasan Bawaq ini.
“Assalamualaikum….”. Aku mengucapkan salam. Para pekerja menoleh setelah membalas ucapan salam. Tampak wajah mereka sedikit kaget, karena kehadiran tamu yang tak diundang itu. Terasan asing baginya.
“Wah, semua lagi sibuk ni ibu-ibu”, aku mencoba membuka percakapan setelah memarkir motor. Mereka terlihat begitu semangat dan gigih,kendati keringat di jidat dan tengkuk tak dipedulikannya. Pemandangan seperti itu sudah biasa, lumrah sejak belasan tahun silam, sejak mereka menekuni profesi sebagai buruh pemecah batu. Suara gemercik batu beradu dengan godam, menciptakan sebuah irama. Irama itu seperti menjadi teman sejak pagi hingga siang menjemput. Irama-irama yang tak beraturan itu seperti segelas air, kemudian merasuk tenggorokannya. Seperti sebuah nyanyian yang mampu menghapus peluh disaat panas yang kian menyengat.
Kemarin, aku kembali menyaksikan pemandangan itu lagi, menyedihkan. Sempat membuatku tak percaya. Beberapa perempuan paruh baya hampir renta bergulat dengan palu. Seonggok batu alam dan batu gunung, sedikit demi sedikit batu besar itu pecah seukuran 2-3 senti. Berbarengan dengan itu, sesekali terdengar dengusan nafas lelah berpijar di antara tumpukan batu-batu kecil hasil hantaman palu. Setakak (kira-kira berisi 15 Kg) pecahan batu kali dihargai Rp 50 ribu.
Karena kesibuka lain, mereka hanya bisa menghasilkan 3-5 takak untuk setengah hari. Pekerjaannya diawali pukul 08.00 pagi hingga menjelang waktu zuhur. Menjelang sore, baru kembali lagi menekuni profesi itu. Tanpa lelah, dikerjakan semuanya, nyaris tanpa keluhan. Yang diketahui, inilah satu alternatif untuk bertahan hidup, tanpa meminta belas kasihan sesama. “Ya, cukuplah belas kasihan sang Pencipta”, seorang perempuan pemecah batu lainnya tiba-tiba berceloteh. Perempuan itu mengaku bernama Nurhayati. Ia kerap dipanggil Inaq (Ibu: Sasak). Diusianya yang memasuki 35 tahun, hanya pekerjaan itu yang menjadi harapannya untuk menyambung hidup bersama keluarga.
Di balik keringat yang mengguyur jidat dan tengkuk Inaq, aku menghampirinya. Si Inaq lalu menorehkan senyum, ikhlas dan jujur nampaknya. Secara panjang lebar, terjadi percakapan penuh akrab. Saat itu, suasana seperti dua orang sahabat yang sudah lama berpisah, dan baru sekarang bertemu kembali. Akhirnya si Inaq berkeluh kesah, semua kehidupan, baik yang manis maupun yang kelam diceritakannya penuh makna.
Dulu, saat berusia muda, Inaq tampil dengan dandanan ala kampung, tanpa polesan make up sebagaimana yang dilakukan gadis-gadis belia sekarang. Maklum saat itu, dusun Lelede merupakan dusun bagian dari desa Rumak. Puluhan tahun silam, dusun Dasan Bawaq, boleh dikategorikan sebagai dusun tertinggal. Pasilitas pendidikan, kesehatan maupun ekonomi masyarakat, saat itu masih serba terbatas, sangat memprihatinkan.
Dibalik keprihatinan keluarga itu, namun kegigihan orang tua Inaq boleh diacungkan dua jempol. Karena, mereka sanggup menyekolahkan Inaq sampai ke jenjang SMA. “Ya, saya bangga dengan kegigihan orang tua saya” tutur Inaq penuh haru, hingga akhirnya berada pada penghujung tahun yang sarat dengan panca roba. Kendati demikian, kewarasan si gadis belia terus tumbuh dan tumbuh lagi. Sejak dulu, ia bercita-cita ingin merubah tatanan kehidupan ekonomi warga yang kian hari kian terpuruk itu, hingga akhirnya, si Inaq sekarang menjadi buruh wanita pemecah batu. Sebelum itu, memang sesekali pernah terlintas dalam benaknya. Berniat menjadi TKW ke negeri seberang sebuah pilihan baginya. Namun karena keadaan ekonomi yang tidak mendukung, gonjang-ganjing dan image miring tentang TKW, mengurungkan niatnya sebagai TKW.
Hari, bulan, minggu dan tahun terus berganti, saling berkejaran seperti tak ingin berhenti. Sirkulasi ekonomi keluarga Inaq menjadi mapan, bahkan kian mapan. Terlebih sekarang, Inaq sudah didampingi seorang lelaki yang tak lain adalah suaminya. Bukan hanya itu, dibalik kulit Inaq yang hitam legam, ternyata sudah dibalut oleh putihnya ilmu dibangku kuliah. Ya, Inaq Nurhayati, seorang sarjana, alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram tahun 1996 silam.
Dari sebagian ilmu ekonomi yang didapat dari bangku kuliah, Inaq Nurhayati bisa memanaj keuangan keluarga dengan cukup apik dan rapi. Ditambah ketelatenan, kegigihan serta ketabahan menghadapi tantangan. Semua itu membuatnya kian bersemangat. Membuatnya tak ingin lepas dari dunianya, dunia buruh pemecah batu yang telah membesarkan semangat ekonominya. Sekarang Inaq Nurhayati masih bergelut didunianya, dunia buruh pemecah batu. Namun statusnya sudah lebih meningkat, tidak lagi sebagai buruh pemecah batu seperti yang dilakukannya dulu. Inaq Nurhayati sekarang berstatus sebagai pemimpin dari puluhan buruh wanita pemecah batu di dusunnya. Ekonomi buruh yang nota bene karyawannya sendiri, terbilang sudah memadai. Semua hasil kerja sebagai buruh, para karyawan mendapat upah dari Inaq sendiri. Bila si buruh merasa kesulitan ekonomi, merekapun bisa ditutupi kesulitannya oleh Inaq Nurhayati. Hal ini bisa berjalan belasan tahun hingga keakraban persaudaraan semakin terjalin, tanpa menyakiti dan disakiti.
Dengan berbekal sarjana, Inaq Nurhayati tak pernah merasa rendah diri sebagai buruh pemecah batu. Baginya, apapun yang dikerjakan, disertai dengan niat yang tulus dan ikhlas, ia yakin, Tuhan akan membalas ketulusan itu dengan hasil yang memuaskan. Dia hanya ingat pesan al-quran, Tuhan tidak akan merubah nasib satu kaum, sebelum ia merubah dirinya sendiri. Betapa pesan al-quran itu dinikmati sendiri hasilnya. Perubahan sudah dirasakan cukup signifikan. Dari buruh pemecah batu, berubah jadi pemimpin kelompok buruh pemecah batu. Dari pengepul batu pecah, berubah jadi anemer, dari punya gubug reot berubah jadi gubug bertegel. Dari Punya motor berubah jadi dum truk. Bahagialah kehidupan sang Inaq bersama keluarga dan 3 orang anak hasil perkawinannya. “Tuhan memberikan kepada manusia sesuai takaran masing-masing”, petuah yang cukup menyentak hati yang tiba-tiba terucap dari bibir Inaq. Petuah itu cukup buat menyadarkanku yang lebih memilih bengong. Lebih bengong ketimbang menikmati hidup Inaq Nurhayati yang penuh warna warni. Menjadi buruh wanita pemecah batu sebuah pilihan baginya. Sebuah pilihan hati, yang mampu merubah tatanan kehidupan ekonomi keluarga dan sesama jadi lebih mapan. Semoga! (Lalu Pangkat Ali)