Begitu mendengar suara orang mendehem, tuan rumah pun akan bertanya, siapa gerangan diluar, seraya menuju pintu rumah untuk membuka pintu dan mempersilahkan tamunya masuk. Begitupun ketika akan berpamitan, tidak dikenal ucapan yang standar, melainkan dengan isyarat-isyarat tertentu, misalnya dengan mengatakan, waktu telah larut, telah tiba atau akan habis waktu sholat, atau menyatakan bahwa urusan telah rampung. Tapi semua itu berlangsung dulu. Adat dan tradisi, juga mengikuti perkembangan. Mereka akan menyapa dengan kata salam; Assalamualaikum ketika bertemu satu sama lain atau hendak bertamu. Dan akan menyatakan, saya pamit atau dalam bahasa Sasak sehari-hari; Tiang Pamit atau Tunas Pamit. Kemudian ditutup lagi dengan ucapan Assalamualaikum.
Begitu pula, orang Sasak tidak lumrah mengucapkan terima kasih sebagai respon seketika setelah menerima suatu pemberian atau pertolongan. Kendati demikian jangan kira mereka tidak tahu berteima kasih. Mereka mengungkapkannya secara mendalam dan dipastikan dengan raut wajah berseri, tersenyum sambil terbungkuk-bungkuk. Antara mengucapkan terima kasih dan berterima kasih, bagi orang Sasak adalah dua hal yang berbeda.
Begitu pun berjabat tangan, pada dasarnya, orang Sasak, sangat jarang berjabatan tangan jika bertemu atau hendak berpisah satu sama lain. Tradisi bersalam-salaman, lazimnya dilakukan ketika turun sholat Ied atau oleh seseorang peserta majlis ta’lim terhadap Tuan Guru. Di luar keperluan itu, berjabat tangan tidak sering dilakukan. Tapi belakangan, bentuk-bentuk persentuhan dalam pergaulan sehari-hari kian sering terlihat. Bahkan banyak yang melakukan adu pipi antar sesama wanita yang akrab. Tidak jarang juga kita melihat, adu pipi dilakukan tidak sesama wanita, melainkan dengan lawan jenis.
Terkait dengan panggilan kemasyarakatan, dikalangan masyarakat Sasak, terdapat strata sosial yang membedakan kalangan Bangsawan (Sasak: Permenak) dan Kaula atau rakyat biasa (Sasak: Jajar Karang). Terdapatnya strata sosial ini, berakibat pada bervariasinya panggilan-panggilan dalam masyarakat. Selain atas dasar strata sosial, panggilan kehormatan juga berkaitan dengan profesi seperti Tuan Guru, Ustad atau Kiai. Guru juga profesi yang cukup dihargai.
Seseorang yang bekerja sebagai guru, akan dipanggil dengan sebutan Guru Anu. Bagi orang Sasak, nama menjadi cukup penting. Mereka memandang bahwa nama adalah sepotong do’a. Karena itu, khusus bagi orang yang telah menunaikan ibadah haji, ada tradisi mengganti nama, sehingga bernuansa Islami dan mengandung makna do’a, dan di depannya ditambah lagi dengan kata “Tuan”.
Contohnya, Dulatip (nama asli dulu waktu bujangan). Setelah menikah menjadi Amak Piur (sesuai nama anak pertamanya, Piur). Setelah menunaikan ibadah haji, berganti lagi namanya menjadi Haji Piurahman atau populer dipanggil Tuan, (kata Tuan dipakai sebagai Gelaran Haji bagi orang Sasak).
Dekatnya hubungan antara jemaah calon haji dengan sang Syeikh (induk sdemangnya ketika di Mekkah), sehingga para syeikh itulah yang mendapat kehormatan memilihkan nama jemaah calon haji dari Lombok. Sementara itu, disebagian wilayah Kota Mataram dan sebagian di Lombok Barat, seorang lelaki yang telah menunaikan ibadah haji, akan dipanggil Mamiq, tanpa memandang strata sosial dari mana ia berasal. Jadi, perubahan panggilan, dapat terjadi karena perubahan dari status bujangan, kemudian berumah tangga atau karena telah menunaikan ibadah haji. Kalau telah berumah tangga dan mempunyai anak, orang Sasak akan dipanggil Mamiq Anu bagi kalangan bangsawan, atau Amaq Anu bagi kalangan rakyat biasa, sesuai nama anaknya yang pertama. Dari begitu banyak panggilan, yang paling popular dan berterima adalah, Mamiq atau Amaq.
Tetapi dikalangan kaum muda akhir-akhir ini, dijumpai panggilan yang egaliter seperti semeton atau disingkat ton (seperti panggilan Bung bagi orang Ambon). Belakangan ini juga, sering kita dengar dibeberapa tempat, kaum muda bahkan orang tua pun sering menyapa dengan panggilan Bro atau Gan!
Dalam adab bercakap-cakap pun, kita cenderung menentukan hirarki sosial melalui cara melakukan percakapan. Dalam pergaulan modern, duduk di belakang meja sambil berbicara dengan seseorang yang sedang berdiri, biasanya merupakan tanda hubungan atasan bawahan. Orang yang duduk itulah atasannya. Perilaku serupa, juga dapat digunakan untuk menunjukkan ketidaksetujuan, kekurangajaran atau penghinaan bila orang melanggar norma-norma budaya. Kesalahpahaman mudah saja terjadi dalam sebuah peristiwa antar budaya, ketika dua orang berperilaku sesuai budayanya masing-masing. Misalnya, bila kita tetap berdiri, sementara kita diharapkan duduk, akan dianggap melanggar norma budaya dan menghina masyarakat pribumi atau tamu, padahal kita sendiri tidak menyadari hal tersebut.
Orang Sasak berbicara dengan ungkapan merendah bila menyangkut dirinya. Dan sebaliknya, ia akan memuliakan lawan bicaranya. Menurut tradisi, orang Sasak lebih menyukai percakapan yang dilakukan sambil duduk daripada berdiri. Percakapan sambil berdiri, tidak dilakukan untuk membicarakan hal-hal yang serius. Begitu pula percakapan sambil lalu lalang di jalanan, tidak lebih diperhatikan, dibandingkan yang dilakukan di rumah. Selama percakapan berlangsung, tidak dibenarkan mencemooh adat istiadat setempat. Hindari gerakan tangan berlebihan. Kontak mata tidak terlalu diperhatikan, tetapi lebih sering orang muda, tidak memandang lawan bicaranya yang lebih tua.
Sikap hati-hati dan kesederhanaan dalam bercakap-cakap, sangat dihargai. Perhatikan pula beberapa sikap tubuh. Hindari bercakap-cakap dengan bertolak pinggang, memasukkan tangan di saku celana (pada percakapan sambil berdiri) atau menaikkan kaki di perabot rumah tangga seperti kursi atau meja pada percakapan yang dilakukan sambil duduk.(Lalu Pangkat Ali-Pranata Humas Pelaksana Lanjutan-Kab. Lombok Barat)