Kabupaten Lombok Barat

Legenda dan Mitos Tradisi Masyarakat Sasak

Oleh: Lalu Pangkat Ali

Kedudukan legenda dan mitos dalam tradisi masyarakat Sasak, memang cukup diperhitungkan. Banyak terdapat legenda di kalangan ini. Tapi yang paling hidup di tengah-tengah masyarakat adalah, legenda Putri Mandalika, Cupak Gerantang, Dewi Anjani dan legenda Perjalanan Penyamaran Datu Pejanggik.

Sedikit dikisahkan, mitos atau legenda Putri Mandalika, berkisah tentang tragedi cinta segi tiga antara seorang putri yang diminati oleh tiga orang pangeran yang sama-sama mempertahankan nyawa untuk memperolehnya. Karena bimbang yang berkepanjangan dialami oleh kalangan istana dalam menetapkan pilihan, menyebabkan Sang Putri memilih bunuh diri dengan cara menceburkan diri ke laut Selatan, kemudian pada saat yang diinginkan, berjanji akan menjelma menjadi Nyale, biota laut yang mirip ’indomie’, beramai-ramai ditangkap penduduk di akhir bulan Februari tiap tahun.

Selanjutnya ada legenda/cerita Cupak – Gerantang, merupakan legenda yang cukup berkembang dan diminati masyarakat Sasak. Dikisahkan, Cupak dan Gerantang adalah dua saudara yang memiliki perbedaan karakter dan perilaku. Cupak sang kakak, memiliki karakter dan perilaku yang kurang terpuji, rakus, pembohong, ingin selalu menang dan selalu menguasai. Dengan karakter yang dimiliki oleh Cupak ini, masyarakat Sasak biasanya enggan bila dikatakan memiliki karakter seperti Cupak ini. Semisal, “Pengelorande maraq Cupak” (Anda makan seperti Cupak). Bila ada orang Sasak yang menuduh demikian, maka tertuduh segera membuat perhitungan yang akhirnya Penuduh pun siap-siap mengklarifikasi tuduhannya.

Selain itu, ada legenda Putri Dewi Anjani, jelmaan ratu jin sakti yang menetap di Gunung Rinjani. Ratu Jin atau Putri Dewi Anjani inilah yang berupaya meratakan bagian bumi Lombok dengan mesin keruknya berupa burung ‘Beberi’. Setelah bumi Lombok dianggap layak untuk dihuni, maka sang ratu jin berubah rupa menjadi Perwangsa manusia.

Yang terakhir adalah, legenda Penyamaran datu Pejanggik sambil menyusuri pantai selatan. Karena tak dikenal sebagai raja, sepanjang perjalanannya menemukan ujian-ujian kesabaran ketika berhadapan dengan beberapa orang penduduk desa yang tak mempedulikannya. Ini mungkin menyakitkan bagi dirinya bila keinginannya tidak dikabulkan. Maka sang raja mengucapkan ‘kutuk’ dan berlaku hingga sekarang.

Dalam kisahnya, disebuah dusun bernama Serenting desa Kuta kecamatan Pujut, di dusun itu hingga kini tumbuh pohon Kelor yang tidak bisa berbuah. Kutukan ini terjadi ketika sang raja beristirahat dan ingin menyantap sayur buah kelor, tapi oleh empunya pohon kelor dibongongi dengan mengatakan, pohon kelornya sedang tidak berbuah. Faktanya, pohon kelor di Serenting, hingga kini tidak bisa berbuah.

Sang Datu melanjutkan perjalanan menuju dusun Tarung-arung dan beristirahat sejenak, untuk sekedar santap siang. Sebagai orang Sasak yang suka makan sambal cabai, sang datu tergiur juga untuk dibuatkan sambal cabai segar yang ada disekitar tempat istirahat. Tapi apa kata pemilik kebun cabai? “Cabai saya belum matang untuk dibuat sambal” padahal di situ tanmpak jelas buah cabai yang memerah. Sang Datu jadi kesal, tapi yang bisa dilakukan sebatas mengucap ’kutuk’, yaitu pohon cabai yang ditanam di dusun itu supaya tak pernah bisa berbuah merah. Hal ini sebagai balas atas kebohongan pemilik kebun cabai yang enggan berbagi beberapa buah cabai untuk orang lain.

Aneh memang, sampai kini di dusun Tarung-arung, buah cabai tidak akan berbuah merah. Meski buahnya telah cukup matang dan sudah terasa pedas, tapi tetap tidak bisa menjadi cabai merah.

Perjalanan spiritual sang Datu, agaknya berlangsung pada bulan Pituq, bulan ke tujuh dalam kalender Sasak. Serupa dengan kedua kutuk di atas, terjadi juga di Pantai Kute, sebuah desa nelayan dan pariwisata. Di pingghir pantai sang Datu mendirikan kemah. Ketika ingin sarapan pagi, sang datu ingin sekali makan ikan. Kebetulan saat itu nelayan yang baru turun melaut dengan hasil tangkapan yang cukup. Sang datu meminta seekor ikan kepada nelayan yang tangkapannya cukup banyak. Si nelayan memberikan dua ekor namun dengan nada agak ketus, ngedumel dan membalikkan badan. Pemberian itu sebagai tanda tak ikhlas. Melihat situasi yang tak mengenakkan itu, tentu sang datu menjadi kesal, kecewa dan sakit hati. “Kalau begitu, ikan ini jangan sampai dimakan, biar kukembalikan kehabitatnya ke laut luas”, demikian kata sang datu. Tapi sebelum ikan itu dilempar ke laut, lagi-lagi sang Datu sempat mengucap kutuk. Biarlah ikan ini menjadi ikan beracun yang tak dapat dimakan manusia.

Apa yang terjadi kemudian? Disetiap bulan Pituq, selalu terdapat korban penduduk di desa itu yang keracunan karena makan jenis ikan Tamban. Penduduk setempat menyebutnya ikan Tamban Bulan Pituq.

Seringkali mitos-mitos dihubungkan pula dengan akibat yang menyeramkan, sehingga banyak anggota penganut suatu budaya yang tidak mau mengambil resiko, memilih menurut saja pada mitos yang berlaku. Selain itu, ada pula mitos yang terkait dengan basis etik dan tata nilai supranatural yang tidak boleh dilanggar atau dilakukan. Beberapa mitos ini (kendati tidak terkait dengan sejarah tertentu), namun dianggap memiliki efek mistik seperti kualat, mamaliq dan lainnya yang cukup kuat bila dilanggar. Maka masyarakat Sasak senantiasa menghindarinya.

Ada sejumlah mitos dan legenda yang berkembang di kalangan masyarakat Sasak. Semisal “Lewat di penjemuran”. Di tengah orang Sasak, tempat menjemur pakaian, diatur pada ruang tersendiri di bagian pojok yang tidak sebagai jalur lalu lintas orang. Pengaturan ini dilakukan berkaitan dengan fungsi penjemuran yang digunakan untuk menjemur pakaian dari jenis apa saja, bahkan hingga pakaian gombal atau celana dalam.

Fungsinya terlalu umum, menyebabkan orang Sasak berpantang lewat di penjemuran, karena dipercaya dapat menghilangkan ilmu kedigdayaan yang dimiliki. Orang Sasak menyebutnya ‘campah’.

Ada lagi mitos seperti “Transaksi Malam Hari”. Sampai kini mitos seperti ini, tidak ada yang berusaha menyingkap alasan tidak dibolehkannya transaksi mengeluarkan uang pada malam hari. Mitos ini banyak di anut di desa-desa, tapi sudah tidak lagi dianut oleh masyarakat kota. Begitu juga dengan jual beli dan pinjam meminjam peralatan yang terbuat dari bahan besi, banyak yang tidak melakukannya di malam hari.

Salah satu alasan yang masuk akal, mungkin berkaitan dengan keraguan, kalau-kalau terjadi salah hitung (untuk uang) atau dapat melukai kalau-kalau melakukan transaksi yang berhubungan dengan bahan besi.

Selain kedua mitos di atas, ada juga mitos lain seperti “Ketika Sandikale”. Sandikale adalah waktu antara matahari akan tenggelam, tapi belum tiba waktu magrib. Waktu ini, langit memancarkan sinar kemerahan saat pergantian dari siang menuju malam. Menurut orang Sasak, pada saat seperti ini, segala bentuk permainan kesenangan dilarang terus berlanjut. Alasan yang dikemukakan untuk mendukung mitos ini, bermain pada saat itu dapat mendatangkan penyakit. Padahal secara alami, saat itu memang cuaca dalam gelap, waktu sholat magrib akan tiba, kemudian akan dilanjutkan dengan waktu makan malam.