Kelestarian kawasan hutan yang ada di Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat tidak hanya untuk menjaga ketersediaan air untuk masyarakat. Tapi juga mampu menjadi sumber daya pendukung usaha tani berbagai jenis tanaman perkebunan. Salah satunya kopi.
Beberapa unit mesin berdiri kokoh di areal halaman rumah Tirtawan, di Dusun Praba, Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Semuanya dipakai untuk menghasilkan produk Kopi Lombok. Sebagian besar alat produksi itu merupakan bantuan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ada juga bantuan dari Dinas Perkebunan Provinsi NTB.
Jarak Dusun Praba dari Kota Mataram sekitar 40 kilometer arah utara. Untuk mencapainya daerah pelosok itu, wartawan Lombok Post, harus menyusuri kawasan perkebunan dengan jalan yang belum beraspal alias masih tanah.
Ditemui dirumahnya, Tirtawan langsung menyiapkan suguhan kopi mumi Lombok. Memang sungguh nikmat. Cita rasa begitu mantap. Aromanya juga begitu khas. Wajar bila hasil produksi bapak tiga anak ini bersama dengan warga lainnya cukup diminati sejumlah pasar modem di Mataram. Bahkan, hotel berbintang dan café di kawasan wisata Senggigi, Kabupaten Lombok Barat.
Pria kelahiran Dusun Praba, 14 Maret 1963 ini mengaku memulai usaha produksi kopi bubuk murni sejak 2005. Bisnis itu dirintis bersama 18 anggota masyarakat di dusunnya. Mereka semua tergabung dalam Kelompok Tani Mule Paice. Tirtawan sendiri bertindak sebagai ketua.
Usaha produksi kopi coba dilakukan Tirtawan karena merasa memiliki keahlian. Ia mendapatkan ilmu itu dari pelatihan di Tim-banuh, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, pada 2005. Kegiatan tersebut digelar oleh Dinas Perkebunan NTB.
Sebelum berproduksi, Tirtawan mengajukan permohonan bantuan alat ke Dinas Perkebunan. Permintaan itu pun dikabulkan. Satu unit mesin sangrai tiba dirumahnya pada 200. Kapasitasnya 12 kilogram per 45 menit. Namun, setelah memperoleh alat tersebut, bukannya produksi berhasil. Tapi terjadinya kevakuman selama hampir dua tahun. Pasalnya, tidak ada yang bisa mengoperasikan. ‘’Kami tidak dapat pengetahuan bagaimana cara mengoperasikan, makanya gak bisa dipakai,” terangnya.
Kemudian pada akhir 2009, lanjut Tirtawan, seorang peneliti dari LIPI mendatangi rumahnya. Ia menawarkan bantuan berupa pelatihan dan pembinaan cara memproduksi kopi bubuk menggunakan mesin modern. Termasuk pakai mesin sangrai bantuan Dinas Perkebunan NTB.
Awalnya, Tirtawan mengaku, menghindari tawaran tersebut karena dirasanya akan percurna dan sama seperti pengalaman sebelumnya. Selama 10 hari berlalu, peneliti tersebut tetap berapaya memberikan pemahaman. Akhimya, hati pria tamatan Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Bodak, Kabupaten Lombok Tengah ini luluh. Ajakan untuk menciptakan kopi bubuk diterima.
Peneliti itu memperbaiki mesin sangrai dan memberikan beberapa alat produksi. ‘’Dia bilang kalau anda dan warga dusun ingin maju maka harus mau diajari,” kata Tirtawan mengulang kalimat peneliti dari LIPI yang dating ke rumahnya lima tahun lalu.
Usai memberikan pembinaan disertai alat produksi. Peneliti LIPI tersebut pulang meninggalkan Tirtawan. Namun, ilmu yang ditanamkan dilanjutkan oleh beberapa orang warga Dusun Praba yang dilatihnya. Usaha memproduksi kopi bubuk mumi pun dimulai.
Sebanyak 10 kilogram biji kopi diolah menjadi bubuk. Dimulai dari proses sortasi. Biji beras yang berwarna hitam dipisahkan karena bisa merusak cita rasa. Setelah itu dilakukan proses pencucian terhadap biji beras kopi yang berkualitas atau berwarna coklat kehijau-hijauan. Baru kemudian dijemur agar kadar airnya berkurang.
Biji kopi yang sudah kering dimasukkan ke mesin sangrai. Lalu dilanjutkan ke kipas pendingin. Proses selanjutnya dihancurkan di mesin penumbuk. Setelah itu baru dikemas dalam wadah kotak. ‘’Awal produksi kemasannya masih sederhana sekali, kalau sekarang sudah agak lumayan,” terang Tirtawan.
Kopi bubuk mumi merek Kopi Lombok dalam kemasan 150 gram kemudian dipas- arkan. Ketika itu area pemasaran masih terbatas di sejumlah toko di kawasan perdagangan Narmada. Langkah awal yang dilakukan Tirtawan dan rekan-rekannya tidak berbuah manis. Produknya kurang begitu diminati.
Meskipun demikian, ia tidak patah arang. Bersama rekan-rekannya, Tirtawan mencoba menganalisa kendala sehingga kopi bubuk yang diciptakannya kurang laku. Berbagai informasi dari konsumen diserap. Ada yang menilai cita rasa belum pas di lidah. Aroma dan wama juga kurang menarik. ‘’Dari infor-masi itu saya mencoba mengubah mekanisme produksi. Konsultasi dengan peneliti dari LIPI dan dinas juga dilakukan,” katanya.
Setelah berbagai upaya dilakukan Tirtawan akhirnya mampu menciptakan kopi bubuk dengan kualitas yang diinginkan penikmat kopi. petani di pinggir kawasan hutan itu saat ini sudah masuk ke beberapa hotel bintang dan café di kawasan Senggigi. Mereka memperoleh komoditas itu melalui agen yang menjadi mitra.
Tirtawan memiliki mitra yang ikut mempro- mosikan produknya. Ada dari kalangan peda gang dan pegawai negeri sipil (PNS). Sejumlah instansi pemerintah, seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) NTB juga ikut membantu memasarkan usahanya.
Misbah menyebutkan, ada beberapa jenis Kopi Lombok yang diproduksinya, yakni Kopi Lombok 3 in 1 atau kopi, gula dicampur jahe. Kemudian Kopi Lombok 2 in 1 atau kopi plus gula. Selain itu, kopi bubuk mumi kemasan 150 gram dengan kisaran harga di pasaran Rp 25 ribu.
Produk yang dihasilkan Tirtawan juga sudah merambah sejumlah pasar modern seperti Ruby Supermarket, MGM, Mataram Mall dan Supermarket Jembatan Baru. Sekarang produksi sudah menghabiskan sebanyak 100 kilogram biji kopi kering per minggu. Bahan baku tersebut sebagian besar berasal dari petani di Desa Batu Mekar dan sekitamya.
Untuk saat ini, Tirtawan mengaku belum mengalami kesulitan dari sisi ketersediaan bahan baku. Pasalnya, permintaan sesuai dengan volume produksi.
Kopi Lombok saat ini terbilang sudah dikenal masyarakat. Semua itu juga tidak lepas dari upaya Tirtawan untuk mendapat-kan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tidak itu saja, sertifikat organik pun diraih. Kedua pengakuan itu diterima ketika mengikuti Agrinek Kopi Tambora di Mataram Mall pada 2012 lalu.
Beralasan memang pemerintah menilai Kopi Bubuk Lombok sebagai komoditas organik. Pasalnya, Kelompok Petani Paice selaku produsen benar-benar menerapkan usaha tani berbasis ramah lingkungan. Tidak ada pemakaian pupuk organik maupun pestisida untuk memberantas hama dan penyakit pada tanaman mereka.
Tirtawan yang lahir di kawasan pinggir hutan ini mengaku, nenek moyang mereka adalah para petani kopi. Mereka membudidayakan tanaman perkebunan itu secara alami tanpa ada sentuhan teknologi apa pun dan peng- gunaan bahan kimia.
Sumber: Lombok Post, Sabtu 31 Agustus 2013