Kabupaten Lombok Barat

Memahami Lombok Lewat Perempuan Sasak Terakhir

Wilayah yang dianugerahi kekayaan alam nan cantik itu tertatih mengikuti derap modernitas yang datang dari tetangga Baratnya, Jawa dan Bali. Lombok, Nusa Tenggara Barat, dikenal sebagai salah satu wilayah pengirim Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terbanyak. Kebanyakan di antaranya perempuan, dengan pendidikan alakadarnya yang pergi dengan harapan kehidupan yang lebih baik. Minimnya perlindungan membuat mereka yang justru kembali dengan luka di se kujur tubuh.

Potret masyarakat ini yang diangkat sutradara muda, Sandi Amaq Rinjani dalam filmnya yang berjudul Perempuan Sasak Terakhir. Pengambilan gambar dilakukan di per kampungan adat masyarakat Sasak di Desa Sembalun, Lereng Gunung Rinjani.

Di balik niatanya menangkap masalah sosial, putra asli Lombok ini berharap filmnya turut mengangkat pamor daerahnya. Film yang digarap dengan menggandeng TV9 Lombok ini didukung aktor dan aktris lokal. Selain mendukung bakat putra dan putri Lombok, langkah ini diambil agar pemain memiliki tautan jiwa yang kuat dengan cerita. “Kami ingin membuktikan bahwa orang-orang Lombok tidak kalah dengan Jakarta,” ucap Direktur Utama TV9, I Made Rethuyana. Proses syuting memakan waktu 30 hari yang dilakukan pada Mei tahun lalu. Film ini terdiri atas tiga kisah yang saling terkait. Kisah pertama bercerita soal Ryan alias Sasak Adi (Edwin Sukmono). Pemuda 22 tahun asli Sasak yang sejak lahir terpaksa diurus keluarga pamannya di Jakarta.

 

Ia pun tak pernah berhubungan dengan ayah kandungnya hingga suatu hari sesuatu memaksanya pulang ke Lombok. Perekonomian sang paman memburuk. Ia pun tak lagi bisa melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah dan meminta Ryan kembali ke kampung menemui sang ayah.

Sang ayah dengan segala kesederhanaannya justru bertekad menja di kan anaknya bangga dengan asalnya. Langkah yang berat buat dua orang yang selama ini menjadi asing satu sama lain.

Keadaan Ryan berbalik dengan Anjani (Aufa Asfarina Febrianggie). Gadis lokal yang patuh dan menghormati nilai budayanya meski bekerja dan tinggal di kota. Saat ayahnya semakin tua dan sakit sakitan, Anjani memutuskan tidak kembali lagi ke kota.

Meski menghormati budaya asal, ia tak pernah benar-benar menjalani sebagai perempuan tradisional yang punya tiga kewajiban. Kemampuan menjaga dan memelihara keluarga, kemampuan mengambil air dengan dijulang di kepala, serta bisa menenun.

Ayahnya, Pak Mangku, yang di panggil Amaq olehnya, berharap An jani bisa menjadi perempuan Sasak terakhir yang modern namun bisa memiliki kemampuan perempuan tradisional. Anjani yang menjaga tradisi memelihara rambut panjang itu pun gamang bisa memenuhi seluruh keinginan sang ayah. Mengisi waktu luang, ikut mengajar di sekolah kampung yang dibangun sang ayah. Meski kemudian usaha mencerdaskan anak-anak kampungnya mendapat hambatan.

Dalam beberapa adegan film terlihat kebiasaan masyarakat adat yang semakin sulit ditemui. Seperti, membaca hikayat, lontar, nyaer, bodrah, rudat, dan jangger. Sementara, makna modern dimaknai berbeda oleh Wati. Perempuan yang senang berdandan menor ini merasa tak perlu belajar hal-hal yang ribet soal adat. Ayah dan adiknya tak jauh berbeda dengan bisnis rental PlayStation yang dibukanya di kampung. Sementara itu, sang ibu bekerja di Malaysia sebagai TKI.

Meski belum memiliki nama di perfilman nasional, namun akting para pemain patut diapresiasi. Khususnya akting Aufa Asfarina yang memerankan tiga ka rakter dalam film ini. Yakni menjadi Anjani, Wati, dan seorang sekretaris. Bahkan, mungkin butuh waktu bagi penonton menyadari Anjanidan Wati dimainkan orang yang sama.

Namun, pecinta film harus sedikit bersabar jika ingin menyaksikan film ini. Perempuan Sasak Terakhir baru akan diputar di kalangan tertentu, misalnya, komunitas warga Lombok di Jakarta dan di daerah lain. Sang produser pun masih mengusahakan agar film sarat akan nilai budaya ini bisa dirilis di bioskop-bioskop di Tanah Air.

Sumber : www.republika.co.id