Meskipun termasuk pulau kecil, namun sebagaimana pulau-pulau besar yang ada di Indonesia, Lombok diisi oleh penghuni yang tidak seragam tapi beragam. Keberagaman ini terutama terlihat dari keyakinan yang dianut penduduknya. Memang, sebagian besar penduduk pulau Lombok beragama Islam namun di Lombok juga terdapat banyak umat Hindu, Kristen, Katolik, Budha, Khonghucu, dll dengan sejarah kedatangannya masing-masing. Umat Hindu misalnya, pertama kali datang ke Lombok dari Karangasem Bali yang jumlahnya ± 80 orang sekitar tahun 1600-an kemudian diikuti migrasi besar-besaran Umat Hindu lainnya. Umat Islam yang menurut salah satu versi Islam disebarkan oleh Sunan Prapen putra dari Sunan Giri. Beragamnya agama yang dianut penghuni Lombok menuntut hubungan toleransi yang harus terus dijaga di antara pemeluk agama yang berbeda. Toleransi sendiri berasal Bahasa Latin tolerare yang berarti membiarkan sesuatu. Bisa juga bermakna menahan diri, bersikap sabar, serta berhati lapang terhadap orang-orang yang berbeda dengan kita. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia toleransi diartikan dengan kelapangan dada (dalam arti suka kepada siapapun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berfikir dan berkeyakinan lain). (W. J. S. Poerwodorminta, 1996: 4010).
Toleransi ini perlu karena suatu perbedaan mendasar terutama masalah keyakinan tidak dapat diganggu gugat. Saya, misalnya, beragama Islam dan sangat yakin dengan agama saya, begitu juga yang dirasakan oleh teman lain yang berbeda agama dengan saya, dia juga sangat yakin dengan agamanya. Keyakinan itu tidak bisa dipaksakan, dia bagai telah mendarah daging dalam hati dan pribadi seseorang.
Di Lombok hingga saat ini toleransi antar umat yang berbeda agama terus dijaga. Baik masyarakat maupun pemerintah terus menjaga dan mengembangkan toleransi. Dalam sejarah kehidupan Umat Hindu dan Islam di Lombok, telah terbangun toleransi sejak ratusan tahun silam. Tradisi Perang Topat di Lingsar yang melibatkan Umat Hindu dan Islam adalah satu contoh jelas dari telah terbangunnya kerukunan antar dua umat yang berbeda keyakinan ini. Setiap tahun pada Purnama ketujuh menurut penanggalan Sasak dan Purnama keenam menurut penanggalan Bali atau sekitar Bulan Desember diadakan Perang Topat yang diiringi Upacara Pujawali Umat Hindu di Pura Lingsar. Meskipun terdengar menyeramkan karena ada kata “perang”, namun bukan “perang” konvensional yang menimbulkan korban baik harta maupun jiwa. Perang ini adalah perang perdamaian, senjata yang digunakan berperang bukan berpeluru tajam, revolver atau rudal atau jenis-jenis senjata mematikan lainnya. Senjata yang digunakan hanya berupa ketupat kecil berukuran dan kira-kira seberat buah rambutan. Sehingga, bila ‘musuh” terkena, bukan teriakan kesakitan yang terdengar tapi teriakan dan sorak-sorai kegembiraan.
Selain itu, wujud toleransi yang pernah terbina antara Umat Hindu dan Islam juga terlihat di Istana Air Mayura. Dibangun oleh AA Ngurah Made Karang Asem Tahun 1744. Waktu dibangun, Raja meminta bantuan Raja Makassar yang beragama Islam dengan mengirim Burung Merak untuk menakut-nakuti ular di tempat tersebut sehingga tempat itu yang semula bernama Kelepuk diganti menjadi Mayora artinya Burung Merak (Sansekerta). Karena dibantu orang Islam di sana terdapat patung muslim bernuansa haji. Dengan demikian, dari sejak dahulu antara Umat Islam dan Hindu terlepas dari sejarah perang mereka juga telah dibina toleransi dalam wujud kerjasama.
Di tengah begitu rentannya isu Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA), sudah menjadi tugas kita yang berbeda untuk menjaga persatuan dalam perbedaan (unity in diversity). Bentuk toleransi di Nusa Tenggara Timur (NTT) atau di beberapa tempat lain di Indonesia, antara Umat Islam dan Jemaat Kristen yang membina toleransi saat menjalankan hari raya, di mana saat Umat Islam melaksanakan Hari Raya Idul Fitri, maka beberapa pemuda Kristen/Katolik akan dengan sukarela menjaga keamanan, demikian juga saat Umat Kristen merayakan Hari Natal, para pemuda Muslim bergantian menjaga keamanan, merupakan hal yang patut ditiru dan dikembangkan termasuk di Lombok.
Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dalam membina toleransi. Pertama, dalam suatu masyarakat yang heterogen keyakinannya, untuk terciptanya perdamaian di antara manusia yang berbeda, terlebih ada penduduk mayoritas dan minoritas, maka sikap yang paling tepat adalah mayoritas harus menghargai kaum minoritas dan kaum minoritas harus menghormati yang mayoritas. Tidak boleh ada hegemoni mayoritas dan tirani minoritas. Kedua, kita harus berpikir bahwa kita dan dia/mereka yang berbeda dengan kita itu egaliter (sama) kedudukannya, derajatnya. Kita hanya berbeda dari segi keyakinan saja, tapi bahwa dia/mereka juga bisa menangis, bisa sedih, bisa tersinggung, bisa marah adalah fakta yang harus kita hargai. Pengalaman penulis studi di Yogyakarta, dengan teman-teman yang tidak hanya muslim tapi juga yang berbeda agama, merasakan betapa toleransi itu perlu dijaga, bahwa masalah keyakinan itu tidak bisa didikte atau diintimidasi. Suasana Jogya yang sering disebut miniatur Indonesia, yang menghargai perbedaan begitu terasa. Bukan hal yang aneh bila teman-teman yang Kristen membawa buku yang berkaitan dengan Yesus ke dalam kelas, begitu juga yang muslim dengan membawa Al-Qur`an. Tapi kami tidak saling mengganggu gugat, malah terkadang saling mengingatkan. Sapaan/pertanyaan sudah shalat atau tidak ke gereja dari teman yang berbeda agama adalah lazim kita dengar. Atau ucapan-ucapan selamat saat masing-masing berhari raya.
Ketiga, tidak mudah terprovokasi. Konflik antaragama yang sering terjadi selama ini sering disebabkan oleh ulah satu atau beberapa oknum saja, mengundang aksi dari orang-orang yang sekeyakinan dengannya. Baik menjadi mayoritas maupun minoritas memiliki plus dan minusnya. Menjadi minoritas kadang membuat kita harus lebih bersabar. Sebaliknya menjadi mayoritas sering membuat kita lepas kontrol. Massa yang banyak sering membuat kita seolah-olah bisa menaklukkan dan mengalahkan segalanya, padahal kita hidup di tatanan global yang memiliki aturan yang bersifat universal. Kebijaksanaan para pemimpin agama dalam mengontrol umatnya masing-masing dalam hal ini mutlak diperlukan.
Sehingga dengan demikian konflik bernuansa SARA yang pernah terjadi (171/2000) maupun isu SARA yang tidak terbukti baru-baru ini (27/10) mengenai akan ada gerakan dari kelompok radikal untuk membuat kekacauan 28 Oktober 2011 dengan sasaran etnis dan agama tertentu tidak perlu terjadi lagi.
Toleransi Dalam Islam
Dalam sejarah Islam prinsip-prinsip toleransi antar umat yang berbeda agama juga dijalankan. Rasulallah Muhamamd SAW, Nabi akhir zaman beserta sahabat-sahabat beliau mengalami penganiayaan beberapa tahun di Mekkah sehingga memutuskan untuk pindah ke tempat yang lebih aman di Madinah. Nabi mengadakan perjanjian dengan kaum Yahudi. Dalam perjanjian tersebut disebutkan Yahudi Madinah bebas menjalankan agama mereka. Mereka bebas untuk hidup menurut kepercayaan dan amalan mereka. Walaupun ada di antara mereka yang diusir dari Madinah namun bukan karena kepercayaan agama mereka namun karena mereka berkhianat kepada negara.
Nabi SAW juga memberi jaminan kebebasan kepada kaum Kristen Najran, menjamin perlindungan terhadap jiwa, harta dan agama mereka. Bahwa gereja-gereja mereka tidak akan dihancurkan dengan cara apapun. Tidak dibenarkan mengambil pajak dari mereka secara tidak adil dan tidak dibenarkan ada gereja diruntuhkan untuk tujuan pembangunan Masjid di tempat itu. Seandainya seorang Muslim menikahi wanita Kristen, wanita itu bebas menjalankan kewajiban agamanya sendiri. Orang-orang muslim harus siap membantu orang Kristen jika mereka perlu bantuan dalam memperbaiki tempat-tempat ibadah mereka. Alangkah indahnya sebenarnya yang diajarkan oleh Rasulallah.
Selain itu, Islam juga mengajarkan tidak ada paksaan dalam beragama dan yang menjadikan sesorang beriman atau tidak adalah semata-mata hidayah dari Allah SWT sebagaimana firman-Nya Al-Qur`an Surat Yunus Ayat 99 yang artinya : ”Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”. Al-Qur`an juga mengajarkan toleransi dengan tidak menghina sesembahan umat agama lain sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur`an Surat Al-An`am Ayat 108 yang artinya “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhanlah mereka kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. Sejarah Islam juga mencatat betapa orang-orang non Islam hidup di bawah pemerintahan-pemerintahan Islam dengan menikmati perlakuan hormat dan penghargaan. Khalifah Umar r.a. mengeluarkan perintah bahwa orang-orang Kristen dan Yahudi yang miskin harus dibantu dari Baitul Maal, pusat perbendaharaan kaum muslimin. ***
Oleh: Muhammad Busyairi
Staf Humas Pemerintah Kabupaten Lombok Barat