Menteri Dalam Negeri Gumawan Fauzi mengingatkan para kepala daerah di Indonesia untuk berhati-hati dalam pengelolaan keuangan negara, karena dapat berakibat hukum.
Peringatan Menteri Dalam Negeri itu disampaikan di Kupang, Rabu malam, menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan/menghapus Pasal 36 UU Pemda yang mengatur prosedur pemeriksaan izin kepala daerah yang terlibat kasus hukum oleh presiden.
“Sebelum saya masuk ke ruangan pertemuan ini, saya menerima telepon dari Jakarta yang menyampaikan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan/menghapus Pasal 36 UU Pemda yang mengatur prosedur pemeriksaan izin kepala daerah yang terlibat kasus hukum oleh presiden itu. Saya minta kepala daerah untuk berhati-hati dalam pengelolaan keuangan,” katanya.
Mendagri mengemukakan hal itu pada pembukaan rapat koordinasi gubernur, wali kota dan para bupati se-Nusa Tenggara Timur di Kupang. Salah satu agenda dalam rapat koordinasi itu adalah membahas permasalahan pelaksanaan E-KTP dan masalah perbatasan di provinsi kepulauan itu.
Mendagri mengatakan, tidak ingin para kepala daerah terjerat hukum karena tidak berhati-hati dalam pengelolaan keuangan.
“Kita tentu tidak ingin, kepala-kepala daerah harus menjalani proses hukum karena masalah keuangan,” kata Mendagri sebelum memulai sambutan dalam rakor yang dihadiri para bupati, ketua-ketua KPU dan kepala dinas pendudukan di NTT.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tidak perlu persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.
“Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua Majelis Hakim Mahfud MD, saat membacakan putusan di Jakarta, Rabu.
Menurut mahkamah, dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.
“Persyaratan persetujuan tertulis dari Presiden bagi penyelidikan dan penyidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah juga menghambat proses hukum, yang seharusnya sesuai asas yaitu bersifat cepat, sederhana, dan berbiaya ringan,” kata Hakim Konstitusi Akil Mochtar, saat membacakan pertimbangannya.
Akil mengatakan bahwa proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana, meskipun mungkin mengganggu kinerja kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan daerah, namun tidak menghalangi yang bersangkutan untuk menjalankankan tugasnya.
“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diselidiki dan disidik masih dapat melaksanakan tugas sehari-hari seperti biasa,” kata Akil.
Dalam pengujian UU Pemda ini, MK juga memutuskan Pasal 36 ayat (3) dan ayat (4) UU Pemda konstitusional bersyarat.
MK menyatakan Pasal 36 ayat (3) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan denganpenahanan dapat langsung dilakukan”.
Sedangkan Pasal 36 ayat (4) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan tersebut pada ayat (3) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara”.
“Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” kata Mahfud.
Pengujian UU Pemda ini dimohonkan sejumlah aktivis anti korupsi yaitu Indonesia Corruption Watch (ICW), Feri Amsari (Dosen FH Andalas), Teten Masduki (Sekjen TII), dan Zainal Arifin Mochtar (Direktur Pukat UGM).
Sumber : www.antaranews.com