Kabupaten Lombok Barat

Sosialisasi Kebijakan Dana Desa di Lobar

Giri Menang – Dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maka pelaksanaan desentralisasi fiskal mulai tahun 2014 mengalami perkembangan baru. Agar pemberian sumber-sumber pendapatan yang besar ke desa tidak menjadi kontra produktif, maka perlu diberikan pemahaman mendasar kepada aparat di daerah, baik pemerintah kabupaten/kota maupun desa. Untuk memastikan bahwa implementasi kebijakan terkait Dana Desa dapat berjalan dengan baik mulai tahun 2015, perlu dilakukan sosialisasi Kebijakan Dana Desa kepada pemerintah kabupaten/kota dan Desa. Dengan alasan itulah, sosialisasi kebijakan dana desa diadakan di Aula Utama Kantor Bupati Lombok Barat (Lobar) Jumat (10/4).

            Kegiatan ini menghadirkan narasumber yang kompeten di bidangnya yaitu Drs. Supriyo, SIP,MH, Kepala Kantor Perbendaharaan Provinsi NTB, Firman Gana S dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Esti Budi Lestari dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, Jaka Sucipta dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) dan anggota DPR RI Komisi XI, Wilgo Zainar, SE., MBA. Sementara dari Pemerintah Kabupaten Lobar diwakili Asisten Bidang Administrasi Umum, Ir.HM.Taufik, M.Sc., Kepala Dinas Pendapatan (DPPKD) Drs. Mahyudin. Acara yang berlangsung seru ini dihadiri oleh seluruh kepala desa (kades) se-Lobar yang mana sebagiannya sempat mengajukan sejumlah pertanyaan.

   Pada kesempatan sosialisasi ini, terdapat beberapa materi yang disampaikan meliputi; pertama kebijakan mengenai Dana Desa, yang membahas mulai dari kebijakan umum, penganggaran, pengalokasian, penyaluran, penggunaan dan monitoring evaluasi Dana Desa. Materi kedua adalah mengenai pengelolaan keuangan desa. Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban desa tersebut dituangkan dalam rencana keuangan tahunan desa, yang disebut dengan APBDesa. Aspek yang dibahas dalam pengelolaan keuangan desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan sampai dengan pertanggungjawaban keuangan desa. Materi ketiga, menyangkut aspek penggunaan Dana Desa. Berdasarkan PP 60 Tahun 2014, Dana Desa diprioritaskan penggunaannya untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan-kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang menjadi prioritas tersebut, ditetapkan oleh Kementerian Desa, Pembanguna Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

            HM.Taufik, dalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan yang dilaksanakan sangat penting maknanya terutama bagi para kepala desa. Dikatakan, dengan dana yang besar yang akan dialirkan ke desa tanggung jawab pun akan makin besar.

“Makin besar dana makin banyak pembangunan dan makin besar pula tanggung jawabnya,” ujar Asisten III Sekretariat Daerah Lobar ini. Oleh karena itu, disampaikan Taufik, para kades hendaknya memanfaatkan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya.

“Di sinilah informasi bisa kita dapatkan, silakan bertanya kepada narasumber, gunakan waktu ini dengan sebaik-baiknya,” ujar HM Taufik. Disebutkan Taufik, hingga saat ini posisi alokasi dana desa (ADD) Lobar rata-rata Rp 398 juta pada masing-masung desa.

“Jadi ikuti kegiatan ini dengan seksama supaya dalam pelaksanaannya tidak ada permasalahan hukum maupun teknis,” himbau mantan Kepala Bappeda Lobar ini.

Sumber Dana Desa

            Jaka Sucipta yang diberi kesempatan pertama memaparkan bahwa Dana Desa (DD) berbeda dengan Alokasi Dana Desa (ADD). DD berasal dari APBN sedangkan ADD berasal dari APBD. Dikatakannya, filosofi DD adalah meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa melalui peningkatan pelayanan publik di desa, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.

            Dikatakan, dengan disyahkannya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa maka desa diberikan keleluasaan untuk mengatur kewenangannya, baik kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala desa, kewenangan yang ditugaskan pemerintah (pusat/provinsi/kab./kota) dan kewenangan lain yang ditugaskan pemerintah (pusat/provinsi/kab./kota) sesuai ketentuan. Dalam rangka melaksanakan kewenangan tersebut, desa diberikan sumber-sumber pendapatan yang berasal dari 7 (tujuh) sumber yaitu pendapatan asli desa (hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa), alokasi dari APBN, paling sedikit 10% dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yaitu sebesar 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dikurangi DAK, bantuan keuangan dari APBD provinsi/ kabupaten/kota, hibah, sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga dan lain-lain pendapatan desa sah.

            Diperjelas, bila ke-7 sumber pendapatan desa tersebut diperoleh maka jumlah dana untuk desa bisa mencapai bahkan melebihi Rp 1 Milyar. Sucipto memberikan ilustrasi rata-rata pendapatan desa Kab. Lombok Barat 2015. Yaitu bila Jumlah Dana untuk Desa Rp 123.375 M yang berasal dari ADD Rp 74.537 M, PDRD Rp 10. 990 M dan DD Rp 37.847 M (3 sumber pendapatan), dengan Jumlah Desa 119, maka Rata-rata per Desa Rp 1.036 M.

Tantangan dan Peluang

            Dipaparkan, ada beberapa tantangan dan peluang pelaksanaan Dana Desa. Tantangan Pemerintah Pusat mencakup pertama agar Dana Desa dapat disalurkan tepat waktu (Tahap I: April 2015), diperlukan Peraturan Kepala Daerah tentang Pembagian Dana Desa dan APBDes. Kedua, diperlukan anggaran yang cukup besar untuk memenuhi alokasi Dana Desa sebesar sebesar 10 persen dari total transfer ke daerah dalam APBN (dipenuhi di tahun 2017). Ketiga, diperlukan Capacity building dan tenaga pendamping yang cukup banyak untuk mendukung pelaksanaan good governance dalam pengelolaan keuangan dan pembangunan desa.

            Sedang untuk Pemerintah Daerah dan Aparatur Desa menghadapi tantangan di mana aparatur Desa (Kepala Desa/aparat desa) harus mempersiapkan diri dalam pengelolaan Dana Desa secara transparan dan akuntabel, serta diharapkan tidak menambah jumlah aparatur Desa yang berakibat pada ketidakefektifan dan ketidakefisienan penggunaan Dana Desa.

           Namun tantangan-tantangan tersebut diikuti pula dengan peluang yang cukup menjanjikan yaitu pertama, pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi momentum untuk meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan daerah di wilayah pinggiran serta meningkatkan otonomi desa. Kedua, UU Desa sejalan dengan Visi dan Misi Pemerintah yang tercakup dalam program Nawa Cita, yakni membangun Indonesia dari pinggir dengan memperkuat pembangunan daerah utamanya daerah perbatasan dan desa.

Latar Belakang

            Sementara Supriyo memaparkan sejak tahun 2000 Indonesia telah memilih otonomi sebagai alat untuk pencapaian tujuan bernegara. Implementasi otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab serta desentralisasi fiskal yang mengikutinya, saat ini telah memasuki dasawarsa kedua. Pada hakikatnya, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan sebuah instrumen atau kendaraan yang digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan negara, dan bukan tujuan bernegara itu sendiri. Instrumen ini digunakan agar pencapaian tujuan bernegara, yaitu kesejahteraan masyarakat, dapat lebih mudah dicapai.

            Oleh karena itulah, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilakukan dengan menempatkan motor penggerak pembangunan pada tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintahan kabupaten/kota. Semakin dekat tingkat pemerintahan dengan masyarakatnya, maka diharapkan kebijakan fiskal daerah akan benar-benar sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan prioritas daerah.

            Pembagian urusan pemerintahan antar pemerintahan tersebut menimbulkan hubungan wewenang dan keuangan. Pengaturan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengacu kepada prinsip money follows function, yaitu bahwa penyerahan urusan kepada Daerah harus disertai dengan pemberian sumber-sumber pendanaannya. Pemberian sumber-sumber keuangan tersebut dilakukan dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal nasional.

Pemberian kewenangan yang besar kepada daerah telah berdampak pada besarnya dana yang disalurkan ke daerah. Sebagai gambaran, jika pada tahun 2001 ketika kebijakan desentralisasi pertama kali diimplementasikan, jumlah dana transfer yang disalurkan ke daerah masih sebesar Rp82 triliun, maka pada tahun 2015 ini, jumlah dana transfer ke daerah, dengan ditambahkannya dana desa, telah meningkat mencapai Rp664,5 triliun meningkat sebesar 710,36%, atau mencapai 33,5% dari total belanja APBN-P 2015.

Peraturan Pemerintah Pendukung

            Firman GS di antaranya memaparkan tentang dasar hukum kebijakan dana desa yang meliputiUU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; PP. No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa; PP. No.60/2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN;Permendagri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan desa; serta Permendagri No.114 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.

Sebagai pelaksanaan dari UU Nomor 6 Tahun 2014, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP), yaitu PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014. PP 43 Tahun 2014 mengatur seluruh aspek Desa, mulai dari penataan desa, kewenangan desa, pemerintahan desa, tata cara penyusunan peraturan desa, keuangan dan kekayaan desa, pembangunan desa/perdesaan, BUMDesa, kerjasama antar desa, lembaga kemasyarakatan/ adat desa, sampai pembinaan dan pengawasan desa. Pelaksanaan lebih lanjut dari PP 43 Tahun 2014 telah diterbitkan beberapa Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Khusus mengenai Dana Desa yang bersumber dari APBN, diatur dalam PP tersendiri yaitu PP 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber dari APBN. PP ini mengatur mengenai penganggaran, pengalokasian DD, baik dari Pusat ke kabupaten/kota maupun dari kabupaten/kota ke desa, penyaluran DD, penggunaan DD, serta monitoring dan evaluasi DD. Berdasarkan PP ini, Dana Desa dialokasikan dalam dua tahap, tahap pertama, pemerintah pusat mengalokasikan dana desa kepada kabupaten/kota berdasarkan perkalian jumlah desa di setiap kabupaten/kota dengan rata-rata dana desa setiap provinsi. Rata-rata dana desa setiap provinsi dialokasikan berdasarkan jumlah desa, jumlah penduduk kab/kota (bobot 30%), luas wilayah kab/kota (bobot 20%) dan angka kemiskinan kab/kota (bobot 50%). Hasil dari perkalian tersebut kemudian dikalikan dengan Indek Kemahalan Konstruksi. Dana Desa per/kabupaten kota tersebut ditetapkan dalam peraturan presiden (perpres) mengenai rincian APBN.

Tahap kedua, berdasarkan perpres tersebut, bupati/walikota melakukan penghitungan besaran dana desa untuk setiap desa di wilayahnya, dengan variable dan bobot yang sama dengan penghitungan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Tata cara pembagian dan penetapan besaran dana desa untuk setiap desa ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.

Komitmen Pemerintah

Pemerintah berkomitmen untuk memenuhi anggaran dana Desa sebesar 10% dari transfer ke daerah tersebut, dalam masa pemerintahan yang sekarang ini. Untuk itu Kementerian Keuangan telah menyusun roadmap mengenai pemenuhan dana desa. Berdasarkan roadmap, yang juga dituangkan dalam RPP tentang Perubahan PP 60 tahun 2014, Dana Desa sebesar 10% dari transfer ke daerah sudah dapat dipenuhi pada tahun 2017.

Dalam rangka implementasi dana desa, UU Nomor 6 Tahun 2014 tidak mengatur adanya masa transisi, misalnya tahap-tahap yang harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota/desa sebelum diberikan dana desa. Hal ini berarti, seluruh desa di Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dengan berbagai karakteristiknya, harus sudah bisa mengimplementasikan Dana Desa mulai tahun 2015 ini. Dengan kondisi tersebut, maka hal krusial yang dihadapi adalah menyangkut kesiapan di desa baik dari aspek sumber daya manusia maupun pelaksanaan kegiatan di Desa, Berdasarkan UU Nomor 6 tahun 2014, pengelolaan keuangan desa, mengikuti pola pengelolaan keuangan daerah, dengan kepala desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa. Dengan besarnya tanggung jawab pengelolaan keuangan desa oleh kepala desa tersebut, diperlukan kepala desa/perangkat desa yang memiliki kapasitas dalam pengelolaan keuangan, sehingga dapat mengelola sumber-sumber pendapatan desa yang besar tersebut dengan baik, untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

Capacity Building

Terhadap permasalahan krusial tersebut, capacity building bagi para kepala desa /perangkat desa dan kegiatan pendampingan menjadi hal yang urgent dilakukan. Pada dasarnya pemerintah baik pemerintah pusat/proivinsi/ kabupaten/kota, melakukan upaya pemberdayaan masyarakat melalui pendampingan masyarakat desa yang berkelanjutan, termasuk dalam hal penyediaan sumber daya manusia dan manajemen. Pendampingan desa dilaksanakan oleh tenaga pendamping profesional pendamping desa, pendamping teknis dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat), kader pemberdayaan masyarakat desa atau pihak ketiga (LSM, perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan atau perusahaan). Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri, telah mengnggarkan dana untuk capacity building bagi kepala desa/perangkat desa.. Sedangkan kegiatan pendampingan, dianggarkan melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

        Mengingat hari yang pendek Jumat, tidak semua pertanyaan di benak para kades terjawab. Untuk itu, panitia memberikan alamat kontak berupa nomor handphone dan email untuk informasi lebih lanjut. Yaitu website: www.djpk.depkeu.go.id dan e-mail: subdit.transfer2@gmail.com.

         Beberapa kades selain diberikan buku yang berisi UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, juga mengkopi bahan materi menggunakan flashdisk. Bagian Humas pun mendapatkan softcopy materi sosialisasi dari panitia. (Muhammad Busyairi/Ahmad Ardipati-Humas Lobar)