Memasuki abad ke 20 ketika globalisasi menghantam seluruh sudut dunia, pakaian pun mengalami koreksi bentuk dan gaya. Yang terlihat dari perubahan itu yaitu, berkembangnya pakaian dengan bahan yang sangat minim. Pakaian (sepertinya) dirancang agar dapat memperlihatkan lekuk tubuh, memberikan tonjolan di tempat-tempat bagian tubuh yang indah dipandang mata.
Bahkan kini, pakaian telah menjadi alat pencitraan paling hebat bagi sekelompok orang. Pakaian dapat menerjemahkan karakter, intelektualitas, moralitas, tingkat kesejahteraan, bahkan kelas sosial seseorang.
Begitu cepatnya gerak perubahan yang terjadi pada dunia fashion, sehingga tidak memberikan ruang sedikitpun bagi pakaian lokal untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan itu. Pakaian yang bernuansa lokal, hanya digunakan pada saat berlangsungnya seremonial kebudayaan atau pada even-even tertentu yang membutuhkan lahirnya sentimen kebudayaan. Akibat yang ditimbulkan kemudian, pakaian dengan nuansa lokal cenderung dilupakan, bahkan diabaikan oleh generasi sekarang. Banyak dari kita yang tidak lagi mengenal pakaian khas daerah sendiri, karena hantaman kuat banjir bandeng budaya global.
Kendati demikian, sebagai pengetahuan, jenis pakaian yang digunakan oleh masyarakat suku Sasak, baik pakaian kebudayaan maupun pakaian sehari-hari akan saya jelaskan secara rinci. Secara umum, dikenal berbagai jenis pakaian, untuk laki-laki dan wanita yaitu;
– Pakaian sehari-hari
– Pakaian setengah resmi
– Pakaian resmi.
Pakaian lelaki sehari-hari: Terdiri dari atasan baju atau kaos, baik yang berkerah atau kaos oblong, bawahan mengenakan kain panjang atau sarung. Digunakan untuk keseharian di rumah. Tidak selalu dengan kopiah atau ikat kepala dari kain batik atau kain tenun (Sasak: Sapuq). Tetapi bagi lelaki yang sudah menunaikan ibadah haji, biasanya topi putih selalu lekat di kepalanya.
Pakaian casual setengah resmi: Terdiri dari kelengkapan pakaian sehari-hari, seperti disebut di atas, dengan ditambah pemakaian selembar kain tenun yang dililitkan di bagian pinggang (Sasak: bebet atau bengkung) serta memakai sapuq atau kopiah hitam atau topi putih.
Pakaian adat resmi: Sama dengan pakaian casual setengah resmi, ditambah beberapa kelengkapan, muali dari pemakaian sapuq, baju jas pegon, kain songket yang dililitkan sedemikian rupa di antara dada dan lutut (Sasak: leang), dan ditambah dengan menyelipkan sebilah keris di bagian belakang dengan posisi pegangan keris yang terbalik. Posisi keris mengandung isyarat-isyarat. Pemakaian dengan posisi gagang yang siap pakai, menandakan siap duel atau menantang. Keris merupakan kelengkapan atribut hanya bagi kaun lelaki. Keris yang prestisius disebut gerantim, jenis keris yang sarung dan tangkainya bertatahkan emas dan ornamen batu mulia.
Pakaian sehari-hari wanita: terdiri dari baju kebaya dan bawahannya menggunakan kain batik.
Pakaian casual setengah resmi wanita: ditambah dengan jowong atau lempot sebagai penutup kepala. Jowong menggunakan bahan selembar kain tipis yang dililitkan dibagian kepala, mirip tutup kepala wanita Afrika. Sedangkan lempot, bahannya sama dengan jowong, tetapi digunakan agak berbeda, menutupi kepala tetapikedua ujungnya dibiarkan terjurai ke bagian pundak dan dada. Dewasa ini, wanita menggunakan busana muslim sebagai busana setengah resminya.
Pakaian adat resmi wanita: terdiri dari kebaya, kain sarung dari songket atau batik, selendang yang disampirkan di bagian pundak serta kepalanya menggunakan rambut palsu untuk memberi kesan pemakainya berambut panjang dan lebat (Sasak: isen-isen). Kadang-kadang sanggulnya diberi aksesoris berupa tusuk konde emas atau keemasan denganmotif kembang. Dikalangan wanita muda, di bagian kepalanya dibiarkan begitu saja tanpa disanggul.
Bagi yang sudah berhaji, busana bagi laki-lakinya bercirikan topiputih, serta menggunakan bebet, bengkung pada bagian pinggang. Sementara wanitanya menggunakan busana wanita muslim pada umumnya.
Di wilayah Lombok bagian selatan, wanita mengenakan baju harian tradisional dengan dominasi warna hitam (Sasak: lambung). Pada bagian pinggir kain, diberi siluet sebagai pemanis. Di bagian belakang baju lambung ini, dibuat agak naik sehingga nampak sensual bagi pemakainya. Ada kecenderungan menggelikan. Pada desainer terkini mencoba mengganti warna baju lambung dengan warna yang lebih cerah. Tetapi karena pada dasarnya, baju lambung adalah juga jenis baju bodo seperti yang terdapat dikalangan suku Sumbawa, Bima, Dompu atau Makasar,maka usaha moidifikasi para desainer menjadi tidak berhasil, karena baju lambung menjadi kehilangan ruh yang justru terletak pada warnanya yang hitam polos.
Telingan wanita Sasak di wilayah Lombok bagian Selatan, berhiaskan anting-anting besar dari gulungan daunlontar dengan sedikit aksen dari bahan perak (Sasak: Sengkang). Karena besarnya anting-anting yang digunakan, membuat lubang daun telinganya membesar. Itulah alasnnya, sehingga wanita Sasak generasi kini, tidak lagi menyukai sengkang, karena tidak ingin lubang daun telinganya menjadi besar.
Gadis-gadis di wilayah selatan, dulunya melengkapi asesoris mereka dengan menggunakan gelang kaki dan gelang tangan yang juga terbuat dari bahan perak yang menimbulkan bunyi gemerincing kalau berjalan. Tetapi inipun mulai ditinggalkan, karena dianggap tidakpraktis dan tidak fashionable.
Pemakaian pakaian tradisional lambung secara lengkap sudah jarang dijumpai. Tetapi secara artifisial, dikenakan oleh gadis-gadis kota pada saat berlangsungnya acara festivalatau acara seremonial lainnya.
Oleh : Lalu Pangkat Ali, S.IP
Pegiat Budaya Sasak, Pranata Humas Pelaksana, tinggal di Kopang-Lombok Tengah-NTB