Giri Menang, Kamis 18 Oktober 2018 – Proses rehabilitasi dan rekonstruksi rumah yang rusak akibat gempa, khususnya di Kabupaten Lombok Barat (Lobar) terkendala banyak hal.
Salah satu kendalanya adalah pada Rumah Instan Sederhana Sehat (Risha) yang menjadi prioritas pemerintah dalam memitigasi bencana gempa bumi di masa mendatang.
Seiring dengan keinginan mendorong pembangunan rumah ramah gempa, masyarakat terhadang dengan minimnya ketersediaan panel untuk Risha tersebut.
“Satu Risha itu membutuhkan 138 panel. Kita saja yang sudah siap bangun untuk 40 KK, baru bisa 3 Risha karena tersedia panelnya hanya segitu,” papar Ratnawi, Ketua Koordinator Tim Teknis sekaligus Kepala Bidang Perumahan pada Dinas Perkim Lobar yang dihubungi via handphone, Kamis (18/10).
Panel Risha yang dimaksud Ratnawi dikerjakan secara pabrikan oleh sebuah BUMN. Ia berharap agar pemerintah bisa segera memfasilitasi masyarakat dengan aplikator lainnya yang benar-benar siap menyuplai kebutuhan panel.
“Kita kira panel tersebut telah dicetak di Pulau Jawa, jadi tinggal kirim. Tahunya mencetaknya di sini juga,” tutur Ratnawi.
Sebagai contoh di Lobar untuk tahap 1 pelaksanaan rehab rumah, tuturnya, dari 379 KK setidaknya 176 ingin membangun dengan Risha.
“Mereka ini butuh panel. Kalau ini saja sulit, bagaimana dengan ribuan rumah lainnya?,” tanya Ratnawi.
Selain masalah panel untuk Risha, kendala lainnya ada pada Rumah Instan Konvensional (Riko). Untuk membangunnya membutuhkan perencanaan yang sedikit lebih ruwet dari Risha.
“Rumah konvensional yang ramah gempa ini harus didesain dulu, dihitung biayanya, dan kadang harus disesuaikan antara maunya masyarakat dengan jumlah uang yang tersedia,” ujar Ratnawi.
Selain menyesuaikan dengan selera pemilik, rehabilitasi pun terhambat dengan minimnya jumlah tenaga teknis pendamping.
Para pendamping ini yang membantu warga membuatkan gambar, hitungan biaya, dan lainnya sebelum proses pencairan uang.
“Kita ini ibaratnya konsultan mereka,” ujar Ratnawi sambil menjabarkan resiko buat Pemerintah Kabupaten bila tidak melakukan pendampingan.
Di Lobar, tambah Ratnawi, jumlah tenaga teknis ini tidak sebanding dengan jumlah Kepala Keluarga yang rumahnya rusak.
“Jumlah tenaga teknis hanya 40 orang, tidak sebanding dengan jumlah rumah rusak yang berjumlah 72.222 rumah,” ujarnya sambil menghitung idealnya seorang pendamping membantu maksimal 100 KK.
“Kalau yang 72 ribu lebih itu masuk, bayangkan, berapa rasio beban kerja mereka. Bisa muntah-muntah mereka,” pungkas Ratnawi sambil tertawa.