Menyebut desa Banyumulek, akan terbayang dalam ingatan, bagaimana pembuatan dan produksi kerajinan gerabah di sana. Bagaimana pula tangan-tangan terampil warganya dalam menciptakan seni gerabah. Dari gerabah ukuran besar hingga kecil, bernilai artistik tinggi, bisa diperoleh sebagai cenderamata. Dari kebutuhan rumah tangga sampai ornamen interior dan eksterior.
Sebelum desa Banyumulek itu lahir, tangan-tangan terampil warganya sudah mulai tumbuh dari generasi ke generasi. Itu diawali hanya dengan memproduksi gentong atau kendi. Gentong atau kendi ini, orang Sasak di Lombok menyebutnya ‘bong’ Dalam pemasarannya, warga setempat harus memikul produksi ‘bong’ tersebut hanya dengan berdagang keliling dari kampung ke kampung, bahkan dari satu desa ke desa lain. Inilah tantangan dan resikonya.
Namun dalam kurun waktu yang tidak lama, tantangan dan resiko itu mampu dilalui. Artinya, sedikit demi sedikit, produksi gentong yang dipelajari secara otodidak mengalami transisi, beralih menjadi suatu produk yang bernilai seni tinggi. Bahkan daerah ini sudah berkembang menjadi sebuah sentra industri gerabah terbesar. Art Shop dan Show Room sudah mulai tumbuh bak jamur dimusim penghujan. Akibatnya, gerabah Banyumulek, sekarang menjadi ladang penyedia lapangan kerja, bahkan kontribusi bagi pendapatan daerah. Industri pariwisata di desa ini menjadi kian pesat, itu karena gerabah,geranah Banyumulek, Desa Kediri-Lombok Barat.
Semua perubahan tersebut, tak lepas dari kiprah pengabdian seorang wanita paruh baya. Namanya Hj.Nurul Aini. Ustazah warga Banyumulek ini mengaku, belum merasa puas dengan perjuangan yang dilakoninya. Alasannya, karena masih ada juga orang yang tega menjerat pengrajin gerabah dengan utang yang tidak kecil. Dengan niat ikhlas, hakkul yakin, ustazah jebolan Ponpes Nurul Hakim-Kediri ini, siap berjuang memberantas rentenir yang menyengsarakan warganya.
Sebelumnya, kata ibu ramah ini, kondisi masyarakat desa Banyumulek yang masih heterogen, dirasakan menjadi sebuah dilema dalam pengembangan industri gerabah. Pengembangan gerabah, hanya dilakukan oleh segelintir orang dan belum memiliki pengetahuan memadai. Mereka menciptakan kreasi dan inisiatif sebatas otodidak, bukan dari bimbingan dan sosialisasi secara khusus. Itupun kreasi dan motif gerabah masih dalam bentuk periuk, gentong, penggorengan, ulekan dan sejumlah alat kebutuhan dapur lainnya.
Sumberdaya manusia (SDM) yang minus dan pasilitas pendukung yang tidak mencukupi, berdampak terhadap perkembangan industri gerabah menjadi berjalan di tempat, hanya dikerjakan oleh segelintir orang. Dari hasil pembuatan gerabah, mereka rata-rata melakukan transaksi dengan tradisi “barter”. Jika transaksi tidak dalam bentuk nominal, maka sistim barter tersebut berlaku sepenuhnya menggunakan beras, tembakau, pakaian dan kebutuhan pokok sembako lainnya. Karena SDM yang belum memadai, maka yang dibutuhkan oleh Nurul adalah, merubah pola pikir dari masyarakat perajin gerabah.
Tak dipungkiri, tantangan yang cukup signifikan adalah masalah SDM dan iklim. Perajin gerabah rata-rata dari kalangan ibu-ibu dan melakukan kegiatan musiman. Bila musim hujan tiba, maka kegiatan pembuatan gerabah harus terhenti sampai menunggu musim penghujan berlalu. Karena panas matahari sangat diperlukan sebagai bagian dari proses pembuatan gerabah. Kesulitan dan tantangan lain apabila ada musibah kematian atau kegiatan keagamaan. Nurul tidak ingin dihujat masyarakat apabila pada saat yang bersamaan harus mengurus tugas yang berkaitan dengan hal-hal di luar musibah kematian dan kegiatan keagamaan tadi. Karena budaya toleransi dan solidaritas kampung sangat melekat kuat, maka Nurul harus rela bersabar, menunggu sampai acara musibah kematian serta kegiatan keagamaan berakhir. Di samping itu, dalam satu keluarga, harus mencari kegiatan penghidupan lain seperti “ngerampek”, sebuah pekerjaan mencari upah memanen padi secara berkelompok. Dengan kondisi seperti ini, masyarakat tak ingin diinterpensi. Beralasan, karena ngerampek atau mencari upah memanen padi tadi, dinilai cukup mapan dari sisi kebutuhan pangan. Untuk mengantisipasi tantangan tersebut, Nurul sendiri berusaha untuk tetap merekrut lebih banyak perajin. Begitu pula harus menambah waktu lama order dari perajin bersangkutan.
Lambat laun, gerabah Banyumulek diminati banyak kalangan, di dalam maupun luar negeri. Sejak dunia pariwisata Lombok Barat (Lobar) didengungkan, gerabah Banyumulek, dicoba untuk dipasarkan ke daerah Bali. Karena di daerah ini tingkat pariwisatanya jauh lebih semarak ketimbang di Lobar. Ternyata di Bali, gerabah Banyumulek banyak diminati. Namun setelah geliat parisisata di Lobar terus digalakkan, gerabah Banyumulek ini memiliki dampak yang cukup cemerlang. Sekarang, gerabah Banyumulek sudah diekspor ke sejumlah negara. Warga setempat tidak lagi harus bersusah payah, menjajakan hasil gerabah mereka keliling kampung seperti yang dilakukan dulu. Sudah ada pasilitas art shop, show room, koperasi, tenaga penyuluh serta tenaga Pengelola industri kecil. Pasilitas art shop dan show room dan koperasi inilah yang menangani sisi pembinaan hingga marketing. Penyuluh dan Pengelola berkapasitas sebagai pembimbing, motivator serta tenaga penggerak seluruh industri gerabah yang ada.
Sekarang, desa Banyumulek merupakan tempat sentra industri gerabah, sebagai komoditi ekspor non migas, sebagai tempat tujuan wisata belanja di Lobar. Melihat adanya kemajuan-kemajuan, maka geliat pariwisata terus dikembangkan seiring berkembangnya produk-pruduk dan desain-desain baru dari tangan-tangan seniman gerabah. Hal ini terus memberikan andil dalam menyebarkan nama Banyumulek ke kancah pariwisata dunia. Sehingga tidak heran, kalau Banyumulek akhirnya menjadi bagian dari masyarakat dunia. Itu semua karena gerabah Banyumulek yang memiliki nilai artistik tinggi. Sebuah media yang tadinya tidak berharga menjadi sangat berharga. Dan itu lahir dari tangan-tangan terampil, tangan-tangan seniman gerabah tanpa ada polesan akademisi khusus, melainkan turun temurun dari generasi ke generasi dibarengi pembinaan dan bimbingan.
Semua kondisi itu, tak lepas dari perjuangan seorang pekerja keras yang tak mengenal putus asa. Dialah Hj. Nurul Aini S.Pdi. Perempuan yang dikaruniai 3 orang anak ini, adalah sosok perempuan yang memiliki rasa kepedulian, terutama dalam pengembangan industri gerabah. Jatuh bangun dan pasang surutnya industri gerabah di desa Banyumulek, tak lepas dari bimbingan, binaan, pengorbanan serta perjuangan Nurul Aini. Sosok anak negeri yang mandiri, memiliki kepedulian dan pengabdian yang tinggi, maka pantaslah, perempuan sarjana agama Islam jebolan Ponpes Nurul Hakim-Kediri ini disebut sebagai perempuan penyelamat buramnya potret perkembangan industri gerabah di desa Banyumulek. Maka pantaslah, wanita murah senyum ini dianugerahi upakarti dari pemerintah pusat. Selamat Bu Hajah!
Jurnalis Warga: L. Suhaemi