Potensi Desa Harus Diperjelas

Potensi Desa Harus Diperjelas

Pengamat ekonomi dari Core Indonesia Dr. Hendri Saparini menilai banyak potensi desa di Indonesia yang belum muncul ke permukaan. Padahal jika potensi itu dimafaatkan, maka upaya membangun ekonomi desa akan lebuh mudah dan cepat terlaksana.

“Potensi di daerah harus diperjelas dan dirumuskan dalam buku agar terlihat lebih jelas. Sebab ini jadi acuan juga dalam menjalankan program desa,” ujar Hendri dalam diskusi peluncuran Indeks Desa Membangun (IDM) di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Jakarta, Senin (19/10).

Masalah yang ada di desa, lanjut dia, harus segera ditindaklanjuti agar proses pembangunan bisa berjalan secara merata. Ketimpangan pembangunan antar desa dan antar daerah juga perlu mendapat perhatian khusus. Pembangunan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, serta penguatan desa berbasis potensi lokal harus dijalankan secara simultan.

“Peningkatan ekonomi untuk membantu membangun desa itu tentu yang sesuai dengan karakteristik dari masyarakat itu sendiri. Membangun desa yang melibatkan masyarakat memang harus,” ujarnya.

Hendri menilai program yang mensejahterakan masyarakat harus dijalankan  berkelanjutan, dengan begitu akan ada langkah-langkah program peningkatan secara terus menerus,” tukasnya.

Sumber

Luncurkan IDM, Menteri Marwan Ingin Pembangunan Desa Lebih Komprehensif

berita1664 kemendesPembangunan desa selama ini dianggap terlalu ekonomistik, padahal selain ukuran ekonomi, desa adalah entitas sosial politik. Karena itu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi meluncurkan Indeks Desa Membangun (IDM) guna memberikan perspektif pembangunan desa yang lebih komprehensif. Menteri Desa Marwan Jafar menegaskan bahwa IDM yang diluncurkan ingin meletakkan prakarsa dan kuatnya kapasitas masyarakat sebagai basis utama dalam proses kemajuan dan pemberdayaan desa. IDM ini diharapkan bisa memperkuat pencapaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 (lebih…)

Mendagri: Deteksi Dini Konflik Sosial Harus Dimulai dari Tingkat Kecamatan

 JAKARTA – Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mewacanakan agar forum kerukunan umat beragama oleh pemerintah daerah tidak hanya ada di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Menurut dia, forum tersebut seharusnya sampai ke tingkat kecamatan. Hal ini sebagai langkah mengantisipasi terjadinya konflik sosial dan agama.

“Kecamatan merupakan wilayah terdepan sebagai koordinator pemerintah desa/Kelurahan. Seandainya camat beserta mitranya Danramil dan Kapolsek memiliki kepekaan dan kemampuan deteksi dini yang baik, maka akan mampu mencegah terjadinya konflik seperti yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil,” ujar Tjahjo, melalui pesan singkat, Kamis (15/10/2015).

Menurut Tjahjo, sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, camat sebagai ketua forum komunikasi pimpinan kecamatan (forkompimcam) perlu menjalankan fungsi koordinasi dengan TNI dan Polri, termasuk lurah dan kepala desa.

Selain itu, camat perlu menjalin komunikasi dengan tokoh agama, tokoh adat dan berbagai lapisan masyarakat. Menurut Tjahjo, camat tidak hanya bertugas memimpin pemerintahan daerah di tingkat desa dan kelurahan, tetapi secara terpadu melakukan penanganan konflik sosial. Hal itu termasuk melakukan deteksi dini konflik, dan pencegahan dengan melibatkan berbagai forum yang ada.

Tjahjo mengungkapkan, salah satu tolak ukur keberhasilan pejabat pusat dan daerah antara lain adalah mewujdkan tata kelola pemerintahan yg efektif, efisien, dan taat kepada aturan hukum. Kemudian, dengan cepat dan tanggap menangani masalah-masalah yang dihadapi warganya.

“Seharusnya terbangun interaksi yang kuat antara pemda dan masyarakatnya agar tidak terjadi salah pengertian atau miskomunikasi yang bisa menimbulkan konflik,” kata Tjahjo.

Kementerian Dalam Negeri akan segera membuat surat edaran dan mengirimikannya kepada seluruh camat. Surat edaran tersebut berisi instruksi, agar tugas dan fungsi camat sebagai ketua forkompimcam dan ketua tim terpadu penanganan konflik sosial di wilayahnya dapat dilaksanakan dengan lebih maksimal.

Sumber

Menperin: Kontribusi PDB Ekonomi Kreatif Ditargetkan 7,5%

Menteri-Saleh-HusinEkonomi kreatif merupakan sektor strategis dalam pembangunan Indonesia ke depan, karena telah mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi kreatif mencapai 5,76% atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 5,74%.

Menteri Perindustrian Saleh Husin menyatakan, pada tahun 2015-2019 mendatang kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) ekonomi kreatif ditargetkan mencapai 7-7,5% dengan syarat pertumbuhan PDB Industri Kreatif minimal 5-6%. Selain itu, tingkat partisipasi tenaga kerja industri kreatif juga ditargetkan mencapai 10,5 -11% dari total tenaga kerja nasional, dan peningkatan devisa negara mencapai 6,5% – 8%.

“Oleh karena itu, Pemerintah terus memacu pertumbuhan ekonomi kreatif. Adapun tiga sektor unggulan di industri kreatif yang terus dikembangkan Kementerian Perindustrian antara lain kuliner, fesyen, dan kerajinan yang hingga saat ini menjadi penyumbang terbesar terhadap PDB,” kata Menperin dalam sambutannya pada acara pembukaan Pameran Sriwijaya Exhibition III di Plasa Pameran Industri, Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (6/10).

Menperin berharap, tiga sektor unggulan industri kreatif nasional khususnya di Sumatera Selatan akan terus dikembangkan dengan tidak tergantung pada material impor agar tidak terkena imbas kenaikan nilai tukar dollar yang sedang terjadi di beberapa negara termasuk Indonesia.

“Sumatera Selatan memiliki potensi yang luar biasa untuk mengembangkan ekonomi kreatif.Hal ini dapat dilihat dari unsur kreativitas pada industri kerajinan dan sandang seperti pada produk kainsongket,” kata Menperin.

Songket Palembang dilihat sepintas tampak selaras pada jenis kain-kain songket di wilayah lain seperti Jambi, Riau, dan Medan.Namun menurut sejarahnya, kain Songket Palembang mempunyai pengaruh cukup kuat dari India dan Tiongkok sehingga kain ini memberikan nilai tersendiri yang dapat menunjukkan kebesaran bagi orang-orang yangmengenakannya. Selain itu jugaterlihat bahwa kain songket dibuat dengan keterampilan masyarakat yang tinggi danbukan sekedar memahami cara untuk membuat kain.

“Oleh sebab itu,kain songket masih tetap eksis di era globalisasi ini karena adanya proses pembelajaran antar generasi, dan akhirnya kainsongket tidak hanya sekedar selembar kain sebagai benda pakai, akan tetapi berupa simbol budaya yang telah ada dalam kehidupan tradisi,dan kehidupan sosial di masyarakat,” papar Menperin.

Pada kesempatan tersebut, Menperin meminta kepada para pelaku industri kreatif nasional khususnya di Sumatera Selatan untuk terus berkreasi dan menciptakan produk-produk baru serta memperbaiki kekurangan untuk peningkatan kualitas, sehingga akan mampu bersaing dengan produk-produk sejenis dari negara lain.

Sementara itu, Dirjen IKM Euis Saedah mengatakan, pihaknya telah melakukan langkah strategis dalam upaya pengembangan industri kreatif yang disebutnya sebagai ”empat langkah ditambah satu”, yakni penguatan keterampilan atau kompetensi para perajin (SDM), memfasilitasi teknis produksi dengan mengoptimalkan peralatan, menguatkan adanya standar, dan melindungi karya mereka dengan HKI. Sedangkan tambahan satunya adalah penguatan pasar dalam bentuk pameran-pameran diberbagai tempat khususnya di Plasa Pameran Industri, Kementerian Perindustrian.

”Melaui ajang pameran ini diharapkan dapat memberikan motivasi dan bekal kepada peserta ataupun perajin di Sumatera Selatan untuk menjadi wirausahawan yang tangguh, profesional, kreatif dan inovatif sehingga mendorong angka pertumbuhan, penguatan dan peningkatan daya saing global yang kita cita-citakan,” tegas Dirjen IKM.

Pameran yang diselenggarakan selama empat hari, tanggal 6 – 9 Oktober 2015 dan dibuka untuk umum pukul 09.00 – 17.00 WIB, diikuti sebanyak 46 perajin IKM binaan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Selatan yang menampilkan produk-produk unggulan antara lain: kain songket, kerajinan kayu, rotan, anyaman, keramik, jumputan serta makanan khas Sumatera Selatan seperti pempek dan pindang dengan kerupuk ikan.

Sumber

Draft APBD Perubahan 2015 – Perda

PERDA

Perlu Kebijakan yang Tepat Kelola Transisi Perdesaan

Perlu Kebijakan yang Tepat Kelola Transisi PerdesaanBogor – Kemiskinan masih menjadi persoalan yang dominan di desa. Kesenjangan antara masyarakat desa dan kota masih terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan potensi desa-desa di pinggiran kota, diperlukan kebijakan yang tepat guna menjamin pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam sambutannya di acara “Konferensi Internasional ke 6 Rural Research and Planning Group (RRPG)”, yang mengambil tema “Mengelola Transisi Pedesaan di Pinggiran Kota menuju Keberlanjutan”. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menegaskan pentingnya kebijakan pengelolaan transisi perdesaan di pinggiran kota.

“Kebijakan pengelolaan transisi perdesaan di pinggiran kota mencakup dua hal, pertama adalah pengembangan usaha ekonomi lokal dan yang kedua adalah peningkatan ketrampilan dan kapasitas masyarakat,” ujar Menteri Marwan di Kampus IPB, Bogor, (28/9).

Menurut Menteri Marwan, Kebijakan pengembangan usaha ekonomi lokal merupakan upaya peningkatan produksi produk lokal desa, optimalisasi potensi desa, meningkatkan lapangan pekerjaan dan sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat desa.

“Sedangkan kebijakan peningkatan keterampilan dan kapasitas masyarakat diarahkan untuk mengembangkan kemampuan masyarakat desa dalam mengembangkan diri dan kemandirian ekonomi. Membekali masyarakat desa dengan pengetahuan baru yang bermanfaat dalam mengembangkan wawasan masyarakat desa,” imbuh Menteri Marwan.

Kawasan transisi perdesaan, menurut Menteri Marwan dicirikan dengan kawasan yang heterogen, kawasan yang memiliki potensi industri, telekomunikasi, perdagangan dan perumahan yang semakin berkembang. Potensi tersebut, menjadi peluang yang besar untuk meningkatkan aliran investasi dan produksi desa-desa di pinggiran kota.

“Tantangan dalam pembangunan desa-desa di pinggiran kota adalah bagaimana mengelola dan memaksimalkan potensi infrastruktur, perdagangan dan telekomunikasi yang dimiliki. Karena jika tidak mampu dimanfaatkan dengan tepat, akan berdampak munculnya “migrasi” penduduk desa pinggiran kota ke kota/daerah maju,” ujar Menteri Marwan.

Keragaman desa yang ada di Indonesia beserta potensinya harus dikelola sebaik mungkin dan menjadi perhatian bagi para pengambil kebijakan. Potensi desa yang melimpah, menurut Menteri Marwan merupakan peluang sekaligus tantangan.

“Dari total penduduk Indonesia yakni sebanyak 237.641.326 jiwa (BPS,2010), jumlah penduduk Indonesia lebih banyak tinggal di desa, yakni sebesar 50,21 persen (119.321.070 jiwa). Sedangkan jumlah penduduk kota mencapai 49,79 persen (118.320.256). Besarnya jumlah penduduk desa menggambarkan potensi SDM dan angkatan kerja yang bisa lebih dikembangkan dibandingkan di kota,” imbuh Menteri Marwan.

Sebagai informasi, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 10,96 persen (27,73 juta jiwa) dengan prosentase sekitar 62,65 persen penduduk miskin ada di desa (BPS, 2015). Lemahnya pembangunan di desa ditandai dengan masih rendahnya ketersediaan pelayanan dasar dan ekonomi di desa, misalnya minimnya ketersediaan dan aksesibiltas pelayanan kesehatan, pendidikan, fasilitas ekonomi serta investasi terutama desa-desa di wilayah pinggiran Indonesia.

Pembangunan desa yang masih belum memadai berakibat pada kualitas SDM desa yang masih rendah, kegiatan produksi desa kurang berkembang, kesempatan kerja rendah, dan pendapatan masyarakat yang rendah.

Sumber

1 136 137 138 139 140 242