Giri Menang, Jum’at 23 November 2018 – Pelaksanaan event budaya Perang Topat tahun ini tampak lebih ramai dari biasanya. Ribuan masyarakat dari dua keyakinan yang berbeda ini setiap tahunnya selalu antusias mengikuti ritual budaya yang merupakan simbol toleransi yang erat antara umat Islam dan umat Hindu di Lombok.

Perang yang menjadi antithesis dari kondisi perang pada umumnya seakan menjadi kritik untuk semua umat agar menjaga toleransi, memelihara kebersamaan dan merawat persatuan. Ritual Perang Topat mewariskan nilai-nilai luhur dari para nenek moyang untuk menjadi perekat kebersamaan di tengah ujian dalam kehidupan yang plural.

“Lombok Barat tidak perlu cuap-cuap tentang kebhinekaan, tentang pluralisme dan tentang toleransi. Tapi Lombok Barat sudah melakukan yang implementatif. Jauh sebelum orang bicara tentang keberagaman dan toleransi, perang topat adalah salah satu yang dicontohkan leluhur,” kata Bupati Lombok Barat H. Fauzan Khalid saat membuka acara, Kamis (22/11).

Menurut Fauzan, di antara aneka proses penting Perang Topat, potret nyata keluhuran tradisi yang diwariskan leluhur Lingsar adalah ritual Ngalihang Kaoq. Dalam ritual ini, umat Islam dan umat Hindu secara bersama-sama mengelilingkan kerbau pilihan. Selain sebagai simbol pertanian, dipilihnya kerbau dalam ritual ini karena hewan ini menjadi simbol kebersamaan yang mempertemukan dua umat berbeda dan simbol kehidupan.

“Yang paling penting dari seluruh rangkaian acara adalah yang dilakukan kemarin yakni Ngalihang Kaoq. Di mana dalam ritual itu diawali dengan prosesi masing-masing agama. Ketika umat Islam zikiran atau yang disebut dengan ‘Roah Gubuk’, umat Hindu usai sembahyang langsung ‘Mendak Tirta Amarta’. Kemudian mereka beriringan secara bersama-sama mengiring kerbau dengan dua tali di mana masing-masing umat pegang satu tali dan mengelilingi pura. Kenapa yang dipilih itu kerbau. Kenapa bukan babi ? karena umat Hindu menghormati umat Islam. Kenapa bukan sapi ? karena umat Islam menghormati umat Hindu,” jelasnya.

Sementara itu Kepala Desa Lingsar H. Abdul Hadi mengatakan, Ritual Perang Topat sendiri sudah ada sejak abad ke-16. Sejarah perang bermula saat umat Hindu dari Bali datang ke Lombok yang pada akhirnya sampai ke Desa Lingsar yang saat itu sudah didiami umat Muslim.

Umat Muslim yang sudah mengetahui kedatangan umat Hindu Bali segera bersiap untukperang dan menyerang. Namun perang tidak terjadi akibat muncul seorang kyai yang mendamaikan kedua umat tersebut. Pada akhirnya, masyarakat dapat terhindar dari perang sesungguhnya dan diganti dengan ritual Perang Topat hingga saat ini.

“Bhineka tunggal ika tidak hanya dalam kata dan diucapkan secara lisan, tapi oleh warga di sini dipraktikan dalam tingkah laku,” katanya.

Ritual ini selalu digelar berkenaan dengan Rarak Kembang Waru (gugurnya bunga pohon waru) yakni pada hari ke-15 bulan ke tujuh pada penanggalan Sasak Lombok yang disebut purnama sasih kepitu’ (Purnama bulan ketujuh), atau hari ke 15 bulan ke enam pada penanggalan Hindu Bali, yang disebut purnama sasi kenem (Purnama bulan keenam).

Bagi Umat Hindu, tradisi ini bersamaan dengan Pujawali Pura Taman Lingsar sekaligus sebagai wujud syukur umat kepada Sang Hyang Widhi Wase atas hasil panen yang melimpah ruah.

Sedangkan bagi umat Islam menjadi upacara Haul untuk Sang Waliyullah dar Demak, Jawa Tengah yakni Raden Mas Sumilir yang diyakini sebagai penyebar Islam di Lombok pada abad ke-15.

Puncak perayaan ritual Perang Topat tahun ini juga dihadiri perwakilan Kementerian Pariwisata RI, Deputi Kantor Staff Kepresidenan, Pejabat Pemerintah Provinsi NTB, Pejabat Pemerintah Kabupaten Lombok Barat, Tokoh agama dan masyarakat.

Setelah melalui berbagai acara pendukung dan seremonial, segenap tamu kehormatan didaulat untuk naik ke panggung. Mereka dengan serentak melempar topat (ketupat) ke tengah pengunjung. Lemparan tersebut menjadi pembuka perang antara umat Hindu yang ada di pelataran pura dengan umat Islam yang ada di Kemalik (mushalla, red). Mereka tampak larut dalam kegembiraan bersama ribuan warga yang ikut melempar atau hanya menonton karena tidak kebagian amunisi (topat, red). Uniknya, masyarakat akan membawa sisa ketupat yang saling lempar untuk ditaburkan di sawah. Masyarakat meyakini dengan menaburkan sisa ketupat pada aliran air di sawah dapat menyuburkan padi dan tanaman.