IMG_3252Ending dari suatu proyek perubahan di lingkup birokrasi pemerintahan yakni bagaimana memberantas penyakit birokrasi yang terjadi dan dialami selama ini oleh publik selaku yang berhak mendapatkan pelayanan dari penyelenggara pelayanan publik atau pemerintahan. Penyakit pelayanan birokrasi dimaksud seperti pungli, diskriminatif, berbelit-belit, lamban. “Itulah penyakit birokrasi yang paling merugikan masyarakat dan hampir terjadi di seluruh SKPD Pemerintah Daerah di NTB, termasuk di kabupaten Lombok Barat,” kata Kabag Ortal (Organisasi dan Tata Laksana) Sekretariat Daerah Heri Ramadhan, S.STP, M.Si, di Gerung, Senin (5/1).

Karena itu untuk menghindari sebutan yang kurang sedap tersebut, Heri menyarankan seharusnya diciptakan budaya pelayanan yang ramah dengan mengedepankan perilaku yang menyenangkan bagi masyarakat yang membutuhkan birokrasi pelayanan. “Salah satunya yakni dengan Senyum, Sapa dan Salam,” kata Heri.

Perubahan budaya pelayanan birokrasi seperti ini yang dituangkannya dalam paparan makalah uji kompetensi pelayanan birokrasi ketika ia mengikuti Diklatpim III dengan judul “Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Melalui Pendekatan Penetapan, Penerapan dan Pengembangan Standar Pelayanan di Kabupaten Lombok Barat”. Dengan pemaparan materi inilah yang mengantarkannya meraih peredikat terbaik pertama pada Diklat yang diiikutinya selama tiga bulan lalu.

Menuruit Heri. Pelayanan masyarakat harus direspon secepatnya, tanpa menunggu waktu dan proses berbelit-belit dan seorang birokrat haruslah ramah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. “Menpan RB bahkan menyindir jika pelayanan birokrasi di pemerintahan kita kurang ramah dan pelit senyum. Dan memang benar inilah yang selama ini dikeluhkan masyarakat,” kata Heri.

Heri menambahkan, pelayanan birokrasi juga harus tidak diskriminatif atau berdasarkan pilihan dan selera. Namun pelayanan birokrasi harus sama, adil tanpa membedakan status sosial masyarakat yang dilayaninya. “Bahkan para penyandang cacat sekalipun haruslah dilayani sama dan justru lebih istimewa. Pelayanan istimewa juga mesti harus didahulukan kepada masyarakat yang berkebutuhan khusus seperti para lansia, wanita yang tengah menyusui bayinya dan masyarakat yang kondisi fhisiknya tak kuat, harus diberikan pelayanan yang utama,” jelas Heri.

Latar belakang pelayanan publik yang prima ini tandas Heri, didasarkan pada kewajiban pelaksanaan konstitusi UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik, bahwa setiap unit pelayanan harus memiliki standar pelayanan yang mengatur pedoman dan acuan pelayanan publik. “Dalam hal ini unit-unit pelayanan dasar yang utama di tingkat bawah seperti di UPT pelayanan kesehatan seperti Puskesmas atau di kantor kecamatan dan desa merupakan ujung tombak pelayanan ke depan. Semuanya ke depan harus kita sisir seperti di Badan Pelayanan Modal dan Perizinan Terpadu, dan Dukcapil. Karena bagaimanapun juga masyarakat berhak mendapatkan pelayanan publik yang bermutu, berkualitas dan memuaskan,” kata Heri.

Heri dalam makalahnya menyebut, jika keinginan untuk melakukan perubahan tidak perlu berharap dukungan dari dana APBD saja. Tapi bisa diupayakan dari pihak ketiga seperti USAID dengan program AIPD-nya.

Heri kembali menekankan, agar dalam pelayanan publik ke masyarakat hendaknya diperhatikan dan lebih diutamakan masyarakat yang berkebutuhan khusus. “Mungkin perlu disediakan loket pelayanan khusus bagi lansia ataupun ibu-ibu menyusui. Bagi yang cacat perlu disiapkan kursi roda  oleh unit-unit pelayanan,” ungkap Heri. (hernawardi)