GIRI MENANG-Pengembangan Pelabuhan Lembar menjadi kawasan pelabuhan peti kemas dinilai tidak didukung sejumlah pihak. Para pengusaha jasa kontainer pun kerap mengeluhkan minimnya muatan dari pelaku usaha lokal.
‘’Kebanyakan pengusaha sekarang mengangkut muatan barang hasil daerah setempat melalui pelabuhan penumpang, bukan peti kemas ataupun jasa kontainer,” ungkap Budi Setiawan, Kepala PT Mentari Sejahtera Permai (MSP) mewakili pelaku usaha jasa kontainer lainnya, Sabtu (19/10) lalu.
Menurutnya, selama ini ada satu pergeseran paradigma yang salah dipahami dan diimplementasikan oleh para pengusaha juga pelaku jasa penyeberangan. “Asal ada muatan dan ongkos penyeberangan saja, mereka langsung naik pelabuhan penumpang (Feri, Red), padahal ini sangat membahayakan buat keselamatan dan kenyamanan penumpang,” jelasnya.
Budi menambahkan, seharusnya muatan barang dengan jumlah kapasitas besar itu masuk lewat kawasan pelabuhan barang dengan kapal peti kemas. “Karena jasa ini memang sangat menjaga serta menjamin kenyamanan dan keamanan barang tersebut, bukan asal ditutup dengan terpal saja,” ujar pria asal Makassar ini.
Dia menjelaskan, di pelabuhan peti kemas semua kapal dan muatan itu diberlakukan sistem penjagaan dan pemeriksaan berkala. Semua unsur terkait terlibat aktif seperti pihak bea cukai, pelindo, Adpel, dishub dan kepolisian. “Kalau diketemukan muatan lebih standar minimum saja itu langsung diturunkan dan diproses baik ijin dan dokumen barangnya. Itu baru berat muatan belum jenis-jenis barang yang tidak memiliki ijin peredaran dan penggunaannya,” paparnya.
Untuk sekali muat, kapal peti kemas mampu mengangkut 150 kontainer dan beban maksimumnya itu 22 ton. Dikatakannya, jasa pelabuhan peti kemas justru memberi dampak yang sangat luas buat daerah setempat. Pasalnya, selain membantu PAD (pendapatan asli daerah) juga memberikan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
“Kalau lancar dan meningkat droping barangnya lewat peti kemas kan harga kebutuhan seperti sembako juga komoditi lainnya kan tidak mengalami fluktuasi dan lonjakan harga dengan cepat mendapatkan barang keperluannya,” bebernya.
Selain itu, masyarakat sekitar akan merasa terbantu dengan keberadaan peti kemas itu. Karena banyak tenaga pekerja yang dibutuhkan. Selain itu juga, saat musim ombak dan cuaca buruk aktifitas kapal peti kemas tidak terganggu.
Untuk itu, dia berharap pemerintah daerah, bisa membantu mensosialisasikan ke para pengusaha dan pengguna jasa kontainer agar lebih memilih jasa ini. “Ini sudah terbukti di daerah maju dimana pun itu, akibat adanya dorongan dan kesadaran pemerintah dan para pengguna pengusaha lebih memilih jasa peti kemas untuk memuat hasil produksi, komoditi dan berbagai kebutuhan lainnya,” tandasnya.
Budi memaparkan, selama beroperasinya pelabuhan barang di Lembar, pihaknya sebenarnya mengalami kerugian yang sangat besar. “Jumlah muatan barang dan penghasilannya tidak sebanding dengan cost operasional yang dikeluarkan, tapi untuk kami bisa menanggulangi dengan membuka cabang di Sumbawa, Bima dan Labuan Bajo,” tukasnya.
Selain itu, pihaknya juga berkomitmen untuk terus beroperasi karena merasa yang pertama merintis di daerah NTB. ‘’Walaupun kebanyakan rugi,” jelasnya. Dalam sebulan, intesitas muatan barang sendiri hanya lima kali. Muatan kargo yang diangkut seperti sembako dan kebutuhan rumah tangga lainnya. “Sekali muat itu dikenai biaya Rp 6 juta, itu hitungannya kotor karena harus terbagi lagi untuk biaya operasional dan kebutuhan kapal,” rinciannya.
Sedangkan pendapatan lainnya itu dari rute Makassar dan Lombok, muatannya semen dan pupuk, besarnya Rp 8,5 juta. “Hitungannya pun sama belum kita rinci dengan OPP dan kebutuhan lainnya,” cetusnya.
Sebaliknya dari Lombok-Surabaya Rp 3 juta dan Lombok- Makassar itu Rp 4 juta. “Kenapa lebih murah, karena muatannya kosong, ya asal peti kemasnya balik sajalah biar tidak menjadi beban perusahaan ke pelaku jasa,” pungkasnya.
Sumber:Lombok Post, Senin 21 Oktober 2013