Giri Menang, 16 September 2018 – Kondisi memperihatinkan yang dialami para pengungsi kembali disuarakan oleh para relawan.
Paling sedikit 14 organisasi relawan memberikan testimoni pengalamannya dan memberi masukan saat menghadiri Ngopi Bareng Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Mataram di Ampenan Mataram, Sabtu malam (15/09).
Relawan-relawan tersebut tidak hanya dari seputaran Mataram saja, namun ada yang datang dari Surabaya, Jombang, Jogjakarta, dan Jakarta. Bahkan Ahli Mitigasi Bencana asal Jogjakarta Dr. Eko T. Parupurno pun menyempatkan diri hadir bergabung dengan para volunteer itu.
Rata-rata mereka memiliki pengalaman yang cukup banyak, seperti saat bencana di Aceh dan Jogja.
Di samping mengeluhkan lambannya penanganan bencana oleh Pemerintah, para relawan dan awak media menyuarakan pentingnya para pengungsi segera dibangunkan hunian sementara (huntara).
“Bulan Oktober nanti sudah mulai hujan. Dengan kondisi pengungsian seperti sekarang ini saja yang sudah banyak masalah, para pengungsi mestinya bisa tinggal di hunian yang sedikit lebih layak,” ujar Fitri Rachmawati dari AJI Mataram yang sehari-hari adalah Awak Kompas TV di NTB.
Tidak hanya karena ancaman penyakit, namun juga terkait dengan munculnya banyak masalah sosial di tengah para pengungsi.
Kondisi tenda darurat yang didiami lebih dari satu keluarga, menimbulkan sisi lain, khususnya di kalangan perempuan.
“Banyak ibu-ibu dan remaja putri yang terkena gatal-gatal di area vital mereka karena tidak berani mengganti pakaian dalam. Bukan karena tidak ada, tapi mereka takut menggantinya (karena tidak ada tempat khusus, red). Sering hal tersebut dijadikan kesempatan oleh para laki-laki nakal,” tutur Isdiana Putri, relawan dari YDWS Mataram.
Bahkan lebih jauh Dian, nama pendek Isdiana, menuturkan kondisi miris di pengungsian.
Ia mengaku sudah menemukan banyak kasus pelecehan seksual yang dialami para perempuan. Ada juga kasus suami-istri yang terpaksa berhubungan badan di semak-semak,
“Mungkin sudah kebelet, tapi sayangnya diketahui anak-anak,” tuturnya
Ia pun menambahkan lagi tentang kasus pelecehan kepada anak-anak laki-laki (pedopholia, red) yang ditemukannya di wilayah Lombok Barat.
“Kasusnya sudah dilaporkan dan ditangani oleh pihak kepolisian,” tutur Dian.
Dengan kondisi tersebut, baik Fitri maupun Dian beserta para relawan lainnya mendesak semua pihak untuk segera membangunkan huntara buat para pengungsi.
Huntara yang dimaksud adalah hunian yang lebih layak dari pada tenda-tenda darurat. Sebisa mungkin huntara tersebut ditempati oleh satu keluarga, sehingga lebih memudahkan juga buat mereka menguatkan sistem sosial mereka yang menurun akibat tinggal di pengungsian.
“Trauma healing terbaik adalah keluarga, para orang tua. Kalau mereka segera keluar dari pengungsian, dengan sendirinya mereka bisa menata kembali kehidupannya” ujar Agung dari Yayasan Alit Surabaya.
Pengalaman Muslimin dari MDMC membenarkan pandangan tersebut. Ia mengaku pihaknya telah membangun huntara sebanyak 28 unit di wilayah Kabupaten Lombok Utara.
Menurut Muslimin, huntara bisa menjadi jalan keluar dari banyaknya masalah pengungsi saat kondisi pemulihan ini.
Namun para relawan pun meyakini masyarakat yang terdampak gempa mampu melakukannya sendiri.
“Mereka sesungguhnya memiliki daya tahan dan mampu mencari jalan keluar,” papar fasilitator diskusi tersebut, Abdul Latif dari AJI Mataram.
“Banyak warga di Desa Kekait yang mampu membangun huntara secara mandiri. Mereka membangun dari materal bambu, terpal, dan bahan-bahan rongsokan yang masih bisa dipakai,” ujar Fitri berkomentar.
Namun Fitri dan para relawan memandang perlu agar Pemerintah menginisiasi pembangunan huntara.
“Nantinya tidak hanya bisa dipakai oleh satu keluarga. Karena knock down, bisa dipindahkan ke keluarga yang lain ketika rumahnya sudah jadi. Atau malah bisa dipergunakan menjadi kios,” pungkas Fitri sambil memperlihatkan sebuah desain huntara yang dibuat oleh warga Desa Kekait.
Usulan untuk huntara tersebut mendapat sambutan dari relawan lain, Hamdi.
“Soal huntara ini jangan dikapitalisasi,” ujar Hamdi membenarkan bahwa masyarakat pun memiliki imunitasnya sendiri.
Dian pun mengajak relawan dan semua pihak mulai berkontribusi soal itu.
“Kalau empat orang sj berkontribusi, maka satu keluarga bisa disentuh dengan huntara,” ujar Dian.
Hal itu diiyakan oleh Eko T. Parupurno. Di samping karena huntara bisa menjadi area yang lebih aman buat warga, namun aspek ketangguhan masyarakat bisa diwujudkan.
“Termasuk model, huntara itu bisa menggunakan material yang ada di sekitar warga,” ujar Eko.
Di samping mempertimbangkan kemampuan masyarakat, para relawan itu mendesak aparatur pemerintah serta anggota DPR dan DPRD mestinya bisa memulai dan menjadi terdepan dalam memberi contoh.
Hery dari Persatuan Kuli Bangunan (Perkubal) mendesak hal yang sama. Ia menegaskan tentang peran pemerintah dalam situasi bencana yang masih kurang maksimal.
“Mari tekan terus pemerintah agar anggaran yang sudah ada bisa segera dimanfaatkan masyarakat,” ujarnya keras sambil mengeluhkan lambannya prosedur bangun rumah.
Termasuk dalam hal huntara, Hery meminta pemerintahlah yang harusnya menginisiasi huntara tersebut, bukan lembaga lainnya.