Pemerintah pusat menilai NTB dan Bali masuk dalam daerah merah gawat kejahatan seksual karena merupakan daerah tujuan wisata. Salah satunya adalah Senggigi dan sekitarnya yang sering dikunjungi warga negara asing.
Apa sikap Pemerintah Kabupaten Lombok Barat (Lobar)?

PERNYATAAN itu sempat dilontarkan Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal (PAUDNI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prof Lydia Freyani Hawadi (saat itu), pada acara temu evaluasi pelaksanaan program pada UPTD BPPAUDNI Regional V, di kawasan wisata Senggigi, beberapa waktu lalu.
Pemkab Lobar pun langsung membentuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di setiap kecamatan. Itu sebagai upaya menyikapi penilaian kawasan wisata Senggigi masuk dalam zona merah kejahatan seksual terhadap anak.
“ Kalau dulu hanya di tingkat kabupaten. Karena itu kami berharap dengan adanya lembaga itu masyarakat berani melaporkan jika ada dugaan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak,” kata Kepala Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) Lobar Baiq Eva Parangan, di Giri Menang, kemarin.
Menurut dia, berbagai kasus pelecehan seksual dengan korban anak- anak di daerahnya merupakan efek dari pariwisata.”Efek pariwisata salah satu faktor,” katanya.
Baiq Eva tidak membantah jika Senggigi yang masuk dalam Kecamatan Batulayar, dicap sebagai zona merah kejahatan seksual terhadap anak-anak. Selain Kecamatan Gunungsari.
”Dua kecamatan ini memang masuk zona merah karena sejumlah kasus asusila dengan korban anak-anak terjadi di wilayah itu,” ujar Baiq Eva.
Ia menyebutkan, kasus dugaan pelecehan seksual terbaru terjadi di Desa Jatisela, Kecamatan Gunungsari, dengan jumlah korban mencapai 15 orang anak berusia 12 tahun, dan pelaku juga masih anak-anak. ”Itu yang terbaru dan sekarang sudah ditangani Polres Kota Mataram,” ucapnya.
Kasus pedofilia juga pernah terjadi di kawasan wisata Senggigi pada 2006 melibatkan seorang warga Australia Donald John Storm. Dia ditangkap karena telah berbuat asusila terhadap empat bocah asal Desa Montong, Senggigi.
Kasus itu terbongkar saat polisi menangkap keempat bocah korban asusila tersebut. Mereka dilaporkan Storm mencuri sejumlah barang miliknya di sebuah hotel di kawasan Senggigi.
Belakangan, keempat bocah itu mengaku dilakukan tidak senonoh oleh Don Storm. Salah satu korban bahkan mengaku diiming-imingi sepeda motor, handphone dan sejumlah uang.
Melihat berbagai fakta tersebut, kata Baiq Eva, pihaknya juga sudah merangkul tokoh agama untuk sama-sama memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang upaya pemberian pendampingan kepada korban, terutama perempuan dan anak-anak.

Sumber: Lombok Post, Sabtu 19 Juli 2014