Jurnalis Warga Oleh : Aulia Islamiati Yusuf (SMAN 1 Labuapi)

 Dikisahkan, ada dua Datu (raja) bersaudara, namanya Datu Keling dan Datu Daha. Mereka tinggal di Kerajaan yang berbeda. Datu Keling di Kerajaan Keling dan Datu Daha di Kerajaan Daha. Selama mereka menjadi Datu, mereka belum mempunyai bije (anak). Karena terlalau lama menjadi Datu, mereka merasa bingung. Kelak, siapa yang akan meneruskan tahta kerajaan mereka. Semua usaha telah dicoba, tetapi tidak satupun yang membuahkan hasil, hingga terdengar di telinga Datu  sebuah cerita tentang makam keramat. Konon,  semua keinginan dan permintaan pasti akan di kabulkan jika berdoa di makam tersebut. Cerita ini membuat kedua Datu itu berniat mengunjungi makam yang dimaksud.

Tidak berapa lama, pergilah Datu Keling dan Datu Daha berdoa menuju makam keramat  seperti yang sudah mereka niatkan. Sesampainya di sana, mereka bertemu dengan mangku,  kemudian mangku mempersilahkan Datu Keling dan Datu Daha masuk. “Silaq amaq Datu, napi niat kaji? Silaq Datu ikrararan leq jalur taoq memohon  adeq teterimaq siq Neneq kaji, Allah SWT ( silahkan bapak Datu, apa yang Datu inginkan? Silahkan Datu ungkapkan di jalur tempat kita memohon kepada Allah SWT). Kemudian Datu Keling mengikrarkan niat dan keinginan serta nazarnya.

“Mudah-mudahan kutican anak mame, jemaq leq waktungku kuris jok ite, ku jauq lekok selawah, gambir setokek, apoh senyolet, mako sesusut, buaq sebiris” (apabila besok pada waktu saya akan mengadakan acara pemotongan rambut anak saya, maka saya akan membawa sirih selembar, gambir sebiji, kapur, tembakau, serta  pinang). Kemudian mangku mempersilahkan datu Daha untuk mengikrarkan niatnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

lamun ku tekican anak nine dalem pengunjungante jok makam keramat kayangan niki, niat nazarku, side mame aku nine, tkawin bijente. Dait lamunku tekican anak nine, jemaq waktungku ngurisan, ku jauq kaoq due saq betanggeq emas, awakne te kaput siq ludru, dait bekupak selake” (semoga saya di berikan anak perempuan  di kunjunganku kepada Allah SWT di  makam keramat kayangan dan apabila saya di berikan anak perempuan, maka antara putra Datu Keling dan putri ku akan di persatukan dan di jodohkan. Dan apabila saya di berikan anak perempuan, ketika saya akan mengadakan pemootongan rambut anak saya, saya akan membawa dua ekor kerbau  dengan berbagai perhiasan, seperti tanduknya akan  dilapisi dengan emas, kakinya akan dipasangkan perak, kemudian badannya akan di selimuti dengan kain sutra yang bagus dan indah) . Setelah selesai,  kedua Datu pulang  ke kerajaan masing- masing.

Lama kelamaan, sesuai dengan nazar  yang mereka sanggupi di makam keramat, ngidamlah ke dua istri datu tersebut. Tidak lama kemudian, cukup bulan, hari, jam, dan detiknya,  datanglah waktu persalinan ke dua istri Datu tersebut. Istri Datu Keeling, melahirkan seorang anak laki-laki  dan Datu Daha melahirkan seorang anak perempuan. Bergembiralah dan berbahagialah mereka ketika keinginannya di kabulkan dan di terima oleh Allah SWT. Disaat   anak Datu Keling dan Datu Daha berumur kira-kira satu tahun, teringatlah mereka akan nazar yang telah diucapkan. Mulailah  Datu keeling mempersiapkan nazar yang telah ia sampaikan sebagai janji kepada Allah Swt dengan jalur makam keramat.Tetapi ia tidak hanya membawa nazar yang ia sampaikan saja, bahkan ia juga membawa dua kerbau dengan tanduk yang di lapisi emas, kaki berlapis perak, dan badannya di selimuti sutra indah.  Sedangkan Datu Daha tidak menepati nazar yang ia sampaikan, ia terlalu terlena dengan kehadiran putrinya. setelah itu, Datu Daha menitipkan salam untuk Datu Keling melalui perantara patihnya, bahwa dia ingin anaknya di ikutsertakan dalam acara ngurisan tersebut, akan tetapi Datu Daha tidak menepati nazar yang telah ia ikrarkan.

Berangkatlah ke dua Datu tersebut untuk melaksanakan acara ngurisan di makam keramat. Sesampainya di sana, mereka langsung menyembelih kerbau yang telah disiapkan oleh Datu Keling, sedangkan kaulanya hanya menyaksikan acara tersebut.

Meran datu kaji Keling, sai jaq tpesengan bijende?”(silahkan datu Keling, siapa nama yang akan Datu beri pada anak Datu), Tanya pemimpin acara kepada Datu Keling.

“Kuserahan leq side bae mangku, ”(saya serahkan kepada mangku saja), Ucap Datu keling memasrahkan nama anaknya dibuat oleh Mangku. Karena persembahan sudah ada Mangku bersiap-siap untuk melaksanakan upacara.

“Mun menu jaq kuaranan  niki “Raden Madiun”, dait araq ku semeton-semetonan bije mentri, Wirun, Kala, Gerude, Gerade,Togok, dan Smar ”(jika begitu, saya akan menberi nama pada anak ini “Raden  Madiun”, dan juga akan saya mempersaudarakannya dengan anak-anak mentri, Wirun, Kala, Gerude, Togok, dan Smar).

 “Nane Datu Dahe, sai siq de paran bijende saq nine niki” (sekarang Datu Daha, siapa nama yang ingin Datu berikan kepada anak perempuan Datu?). Kata mangku kepada Datu Dahe.

“Side doang wah Mangku saq beng aran” (mangku saja yang memberikan nama), kata Datu Daha. Setelah itu, Mangku langsung menjalankan tugas yang di berikan Datu Daha.

“Lamun kaji jaq tserahin, kaji paran,  Dende Ratnasasih, adeqn inget leq diriq, adeqn inget pacu-pacu leq keluarge” (jika di serahkan kepada saya, saya namakan, Dende Ratnasasih, agar ingat diri, agar ingat pada keluarga).

Setelah acara ngurisan selesai, mereka langsung berangkat pulang. Dalam perjalan pulang, Dende Ratnasasih di gendong oleh dayang-dayang kerajaan. Pada saat itu datanglah angin puting beliung yang menyambar dan menerbangkan Dende Ratnasasih. Semakin lama, semakin jauh Dende Ratnasih di terbangkan hingga jatuh di sebuah taman milik Datu Keling yang di jaga oleh sepasang suami istri, Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol namanya. Amaq Bangkol dan Inaq Bangkol sangat senang dengan penemuan itu yang ia anggap sebagai anugrah karena ia sendiri tidak memiliki anak. Kemudian amaq Bangkol dan inaq Bangkol memberikan nama Cilinaye pada anak yang telah berada di tangannya.

Beberapa tahun Cilinaye di asuh oleh amaq Bangkol dan Inaq Bangkol hingga dia berusia 17 tahun dan dia memiliki keterampilan yang di ajarkan oleh Inaq Bangkol, yaitu menyesek  sehingga dia bisa membuat beberapa barang yang layak pakai seperti kereng, lempot, dari kebiasaan sehari-hari yang di ajarkan oleh inaq Bangkol kepada Cilinaye, terbentuklah kepribadian Cilinaye yang dewasa dan bisa berpikir bijaksana.

Suatu hari Raden Madiun  dan patih kerajaan pergi mikat  ke hutan dan setelah beberapa lama mereka merasa letih, hingga mereka menemukan gubuk inaq Bangkol dan amaq Bangkol dan di sana terdengar suara alat tenun (jajak)  yang bisa menarik perhatian Raden Madiun. Mereka pun berkunjung ke gubuk kecil itu, Raden Madium melihat hasil sesekan yang sangat bagus dan indah penuh makna simbolis terpancar pada motif sesekannya.

Sai epen jajakan niki inaq ,makaqn saq solah laloq?” (siapakah yang memiliki jajakan ini, Bu). Tanpa mampu meredam rasa penasarannya, akhirnya Raden Madiun mengeluarkan pertanyaannya.

“Kaji epen jajakan niki,Raden “ (Saya yang punya,Raden), jawab inaq Bangkol dengan perasaan yang agak takut.

Raden madiun terdiam, namun dia tidak percaya bahawa jajakan tersebut adalah milik inaq Bangkol. Dengan rasa kecewa pergilah Raden madiun mikat kembali. Sesampainya di hutan, tiba-tiba antara Raden Madiun, Smar, Kalam, Togok pun berbincang tentang alat tenun milik inaq Bangkol yang mereka tidak percaya bahwa, sesunggguhnya perkataan inaq Bangkol tersebut benar.

“Kakak, ndeqku percaye. Sratus persen ndeqku percaye inaq bangkol ngepean alat ataupun pegawean” (Kakak, saya tidak percaya jika inaq Bangkol yang punya alat atau pekerjaan itu). kata Togok.

“Brem araq masih?”(adakah tesisa brem). Dengan menahan liur, Raden Madiun bertanya dengan penuh harap.

“O, masih. Ape tegauran?”(O masih, dengan apa kita akan mencampurkannya), kata Togok dengan yakin.

“Pucuk gadung siq gawur, campur kance brem niki, maksudne campur brem kance pucuk gadung, jlap paleng isiqn, skali nginem langsung paleng”. (Pucuk daun gadung dicampur dengan brem ini. Maksudnya supaya yang meminum cepat pingsan). Raden Madiun menujuk ke arah gadung.

Setelah selesai mencampurkan brem dengan gadung, Raden Madiun dan sanaq saudaranya langsung pergi meninggalkan hutan dan kembali menemui inaq Bangkol.

Sesampainya Raden Madiun di gubuk Inaq Bngkol, Dende Ratnasasih menyembunyikan dirinya di sebuah terurak.

Kedatangan Raden Madiun yang ke dua kalinya, dengan siasat ingin membuktikan bahwa alat tenun serta hasil tenun tersebut bukanlah milik inaq Bangkol. Kemudian, Inaq Bangkol mempersilahkan kembali Raden Madiun dan sanaq saudaranya.

“Araq tulisan leq lontar tie amaq?”( adakah tulisan di lontar itu bapak), kata Raden Madiun.

“Ooo araq, sai jak nembang?”(oo  ada, siapakah yang akan bkidung), amaq Bangkol bertanya dengan antusias.

“Niki, Togok  jaq nembang” ( ini, Togok yang akan bkidung). Sambil tersenyum  Raden Madiun menjelaskan.

“ Ooo, silaq tdengah ”( oo, mari kita dengarkan). Dengan wajah gembira amaq Bangkol mempersilahkan.

Beberapa lama amaq Bangkol menikmati tembangan tersebut, sehingga jam menunjukan pukul 12 malam.

“Laaa, tmentelah juluq inaq,malent saq tindok-tindok juluq, araq sie balong mikat jemaq”(laaa, istirahat dulu bu, suapaya ada tenaga untuk berburu esoknya). kata Togok menghela nafas.

“Oo, silaq, silaq”(oo, mari-mari). Amaq Bangkol mempersilahkan kembali.

“Ooh, araq sise brem niki inaq” (Oo, ada sisa brem ini bu ), Raden Madiun membritahu dengan suara yang besar.

“Wahh, mbe maeh?”(sudah, mana?)Amaq Bangkol tertawa seakan sangat gemar dengan minuman tersebut.

Belum habis satu gelas inaq Bangkol dan amaq Bangkol meminum brem tersebut. Keduanya langsung pingsan dan tidak merasakan apapun. Rencana yang dia susun dan dia laksanakan akhirya dimulai. Kejadian ini memberikan peluang kepada  Raden Madiun dan sanaq saudaranya untuk membongkar isi gubuk Inaq dan amaq Bangkol. Semua tempat dan sudut di rumah itu sudah ia geledah. Mulai dari dapur, di bawah tempat tidur, gulungan tikar, telah di obrak-abrik tetapi tidak di temukan. Raden Madiun merasa putus asa, kemudian keluar dari rumah pasangan suami istri itu. Ketika Raden Madiun melewati pintu, tersangkutlah sehelai rambut Cilinaya pada hulu keris Raden Madiun. Pangeran kerajaan Keling itu merasa sangat terkejut, ia mencari asal rambut yang dengan tak terduga tersangkut di senjata yang dibawanya. Cilinaya pun di jumpainya di bawah buluh terundak benang. Raden Madiun terpana dengan paras elok Cilinaya dan ia sangat marah pada inaq dan amaq Bangkol karena telah membohonginya. Tapi kemarahannya tiba-tiba surut ketika bola mata Cilinaye yang teduh menatapnya dengan perasaan memohon untuk dimaafkan. Raden Madiun mengerti arti tatapan itu dan ia akan memaafkan mereka jika ia di izinkan  untuk memperistri Cilinaya. Dalam hati Raden Madiun berkata bahwa tidak ada satupun perempuan di kerajaannya yang mampu menandingi paras cantik gadis di depannya itu bak bulan purnama.

Mendengar bahwa Raden Madiun telah memperistri orang biasa, Datu Keling, ayah dari Raden Madiun sangat tidak suka dan kecewa karena putranya telah memperistri orang biasa.

“Radeeen, amaq sekeq ndeq suke, due ndeq suke side merariq kance dengan biase”(Raden, mamiq sangat tidak suka kamu menikah dengan orang biasa),  kata Wirun kepada Raden Madiun.

“Ape-ape unin, ndeq bau siq ku tehen, sekeq ye, sribu ye, yastuning ku belas, ke rede tsediq siq mamiq” (terserah apapun yang di katakannya, saya tidak peduli, tetap saya akan menikahinya), kata Raden Madiun.

Walaupun begitu, tetapi saudara-saudara dari Raden Madiun sangat setia menemani Raden Madiun kemanapun ia pergi. Dengan demikian, dibawalah Cilinaye oleh Raden Madiun, sesampainya di Kuta, berduyun-duyun masyarakat Keling melihat Raden Madiun menikah dengan rakyat biasa.

Setahun lamanya mereka menjalin pernikahan, Cilinaye pun  melahirkan seorang bije laki-laki  yang di lahirkan di dekat pantai, bernama Tanjung Menangis dan diberilah nama kepada bijenya “Raden Megatsih”. Ketika usia Raden Megatsih 3 tahun, karena rasa yang sangat tidak suka kepada Cilinaye, Datu Kelingpun bersiasat untuk membunuh Cilinaye dengan cara berpura-pura sakit dan menyuruh Raden Madiun untuk mencarikan hati rusa yang berwarna putih.

Sebelum pergi mencarikan ayahnya hati putih dari rusa, Raden Madiun berpamitan terlebih dahulu kepada istrinya, Cilinya.

“Ape araq kakak, mendadaq gati perentah niki?”(Ada apa kakanda, perintah itu sangat mendadak), Cilinaya bertanya dengan penasaran.

“Ngene adiq, ling mamiq ye sakit, sakitne pepiaqkaa, oatne pun sulit lamun tpikir pade akal sebab oatne aten mayong puteq, atene saq puteq ndeqman bulune.” (Adikku,katanya ayahanda sedang sakit,sepertinya sakit yang disengaja obatnya pun sangat sulit. Jika dipikir hati rusa putih sangatlah sulit). Kata Raden Madiun kepada istrinya.

“Mustahil kakak, mungkin araq rekayasa, kaji taoq sbenarne mamiq ndeq suke leq kaji” (mustahil kakanda, mungkin ada rekayasa, saya tau sebenarnya mamiq tidak suka dengan saya), kata Cilinanye.

“Apepun resikone jaq ku terimaq”(apapun resikonya akan saya terima), kata Raden Madiun menjawab.

“Lamun mnu, berarti kakak lebih kangen mamiq saq sakitne pepiaqkan dari pade kaji saq krembeng, saq ndeq naraq kaji kaken. Niki araq aling-alingku kakak, kadu wah, apabile lemaq kakak mimpi leq tngaq gawah, ancur suce-suce atau kerangkane niki”(jika begitu, berarti kakak lebih sayang kepada mamiq daripada saya yang baru melahirkan, tidak ada yang akan saya dimakan. Ini ada cincin saya, pakailah, apabila besok kakak bermimpi di tengah hutan, hancurlah kerangka dari cincin ini). Wajah  Cilinaye tanpak sngat sedih.

Raden Madiun pun pergi dengan membawa air, keris, tombak, golok serta perlengkapan lainnya.

Sesampainya di hutan, Raden Madiun banyak menemukan rusa tetapi tidak ada yang memiliki hati berwarna putih. Raden Madiun merasa sangat bingung dan lelah dalam pencariannya.

Datu Keeling pun menggunakan kesempatan sewaktu Raden Madiun tidak bersama Cilinaye untuk membunuh Cilinaye.

Datu Keling pun menyuruh para pengawal untuk menjemput Cilinaye dan membunuhnya

“ Amaq patih mateq ye Cilinaye, laguq ndak mateq anakne”(bapak patih, bunuhlah Cilinaya, tapi jangan bunuh anaknya),  kata Datu Keling kepada pengawalnya.

“Meran datu,  laguq kaji ndek bani saq bgalahan” (apa mamiq, tapi saya tidak berani membunuh),  kata patih.

“Pete Petoek”(cari Petoek), kata datu Keling.

“Enggeh Datu”(baik datu),  kata patih menuruti perintah.

Beberapa lama kemuadian datanglah Petoek ke hadapan Datu.

“Eee Petoek, niki araq rezeki niki, smateq Cilinaye, seninaqne si Raden Madiun”(ee, Petoek, ini ada rezeki, bunuh Cilinaye, istri dari Raden Madiun). Kata Datu Keling Dengan kebencian.

“Piran?”(kapan?),  kata petoek bertanya.

“kane silaq”(sekarang silahkan),  kata Datu Keling.

Setelah itu, pergilah Petoek serta pengawal mencari Cilinaye. Setelah di temukan, pengawal membawa Cilinaye ke sebuah pantai yang sepi di Tanjung Menangis. Sesampainya di bawah pohon ketapang yang rindang, berhentilah mereka. Pengawalpun menceritakan maksudnya kepada Cilinaye.

Setelah mendengar cerita itu, cilinaye berkata

“ Aok aneh, lamun menu jaq mlen mamiq, silaq mateq aku nane. Laguq sendeqman kalian mateq aku,  jaq ku bait buaq maja jari pengganti taoq bijje ku nyusu. Pesenqu, lamun daraqku ngruh, brarti aku rakyat biase. Laguq, lamun daraqku puteq taeq jok langit jaq brarti prtande aku kturunan bangsawan”(baiklah, jika itu kemauan mamiq, silahkan bunuh saya sekarang. Tetapi, sebelum kalian membunuh saya, saya ingin mengambilkan buah maja untuk menjadi pengganti air susu saya untuk anak saya. Pesan saya, jika darah saya berbau amis, berarti saya hanya rakyat biasa. Tetapi, jika darah saya berwarna putih dan terbang ke langit, maka itu adalah pertanda saya keturunan bangsawan).

Cilinaye berkata kembali “nane jaq mateq wah aku, sempaitan salamqu jok smamangku, Raden Madiun”( sekarang bunuhlah saya, titipkan salam saya untuk suami saya, Raden Madiun).

Cilinaye duduk berjongkok sambil memeluk bijenya, Raden Megatsih. Rambutnya di lepas teruarai. Setelah itu Petoek membunuh Cilinaye di bawah pohon ketapang yang berada di Tanjung Menangis tersebut. Tubuh Cilinaye tergeletak di bawah, darahnya berwarna putih dan terbang menuju langit. Bije dari Cilinaye, Raden Megatsih hanya tergeletak di samping mayat ibunya sambil membawa buah maja.

Raden Madiun yang diiringi saudara-saudranya yang sedang mencari hati rusa, tiba-tiba mendengar tangisan bayi yang sangat kencang. Mereka pun mencari asal tangisan itu.

Setelah bayi itu di temukan, ternyata itu adalah Raden Megatsih, bijje dari Raden Madiun dan di samping bayi tersebut Raden Madiun melihat mayat wanita yang tergeletak bersimpah darah, ternyata mayat wanita itu adalah istrinya sendiri, Cilinaye. Raden Madiun sangat merasa sedih dan terpukul akan hal yang menimpa keluarganya.

Tiba-tiba dari arah langit terdengar suara gemuruh dan petir yang menyambar-nyambar. Di celah-celah suara peri itu terdengar suara gaib dari langit “hai Madiun..!, piaq peti mayat untuk seninaqbi dait elehan trus jok pesisi. Lemaq, Allah dengan kuasene pasti satuan kalian malik”(hai madiun, buatlah peti mayat untuk istrimu, setelah itu hanytkan ke pantai. Besok, Allah dengan kuasanya pasti akan menyatukan kalian kembali)

Setelah itu, Raden Madiun dan saudra-saudaranya membuat peti mati dari kayu. Peti itu di beri tali yang sangat panjang. Setelah selesai, mayat Cilinaye di masukkan kedalam peti tersebut dan Raden Madiun segera menghanyutkannya ke laut.

Raden Madiun berjalan sambil menggendong bijjenya yang masih bayi tersebut. Dalam kehidupannya setelah istrinya tidak lagi berada di sampingnya, Raden Madiun dan Raden Megatsih hanya memakan apa yang mereka temukan.

Selama beberapa lama, datanglah arus laut dan badai yang sangat kencang sampai tali pengikat peti mayat Cilinaya putus dan terbawa arus.

Suatu hari Datu Daha memrintahkan patih bahwa dia akan mengadakan acara pesta atas kesembuhannya dari sakit sejak bijjenya, yang benama Dende Ratnasasih hilang.

 

“Hee patih, gin ku blayar jok segare. Dait ginku jauq kaule rakyat jok pesisi”(hai patih, saya akan berlayar ke pantai dan saya akan membawa semua rakyat ke pantai),  kata Datu Daha kepada patih.

“Enggeh datu”(baik datu),  kata patih sambil menunduk.

Pada hari saat mengadakan pesta, Datu Daha diiringingi oleh gong, gamelan, barong tengkok dan sejenisnya. Sesampainya di tepi pantai, pesta yang diadakan oleh Datu Daha sangatlah ramai, rakyat tak terhitung banyaknya. Tiba-tiba Datu Daha, patih, dan kaula yang ada di pesta itu melihat sebuah peti mayat. Patih, Kaula mencoba untuk mengambil dan meraih peti mayat tersebut, tetapi hal itu hanyalah sia-sia. Sampai pada akhirnya Datu Daha mencoba untuk mengambil peti tersebut, tetapi tiba-tiba peti tersebut datang ke hadapan Datu tanpa Datu harus berusaha meraihnya. setelah itu, di bukalah peti mayat tersebut dan ternyata isi dari peti tersebut adalah gadis yang sangat cantik, molek yang sedang menangis.

“sai arani dende, angakaqbi nangis?”(siapa namamu? Mengapa kamu menangis?), kata Datu Daha kepada gadis tersebut.

Gadis tersebut hanya terdiam tanpa sepatah kata dari mulutnya. Setelah itu ia di bawa oleh Datu ke kerajaan Daha dan di temani oleh dayang-dayang dari kerajaan Daha tersebut. Kemudian, dayang-dayang tersebut bertanya pada gadis yang sedang ia temani “ sai arande side, angkaq side ndeq mele bejawab? Datu ketuan angkaq side tdoq doang?”(siapa namamu, datu bertanya, mengapa kamu hanya terdiam saja). Di sanalah gadis tersebut berani untuk menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya “lmun mele taoq aranku, lmun mele taok tangisku, suruq Datu begawe, suruq Datu tanggep presean kadu jungkat, tono taoqne pedas sai aku, bije sai aku, sai aranku”(jika ingin tau siapa nama saya, jika ingin tau tau mengapa saya menangis, suruhlah Datu mengadakan pesta, suruhlah Datu mengundang peresean memakai jungkat, disanalah akan terlihat, siapa saya, anak siapa saya, siapa nama saya). Kemudian, sangguplah datu daha mengadakan acara besar tersebut yang di hadiri oleh semua rakyat Daha.

Raden Megatsih, bijje dari Raden Madiun ingin sekali menonton acara besar yang diadakan oleh Datu Daha. Kemudian, ia meminta ayahnya untuk menemaninya melihat acara besar tersebut. Raden Madiun ingin menemaninya, tetapi Raden Madiun malu karena pakaiannya yang kolot dan sudah tidak layak pakai. Kemudian karena ayahnya tidak siap menemaninya, Raden Megatsihpun menyuruh pamannya, Wirun untuk menemaninya, Wirun pun siap untuk menemaninya, tetapi dia hanya bisa melihat dari kejauhan saja.

Sesampainya disana, bertemulah Raden Megatsih dengan gadis cantik bernama Cilinaye yang kemudian menghampirinya.

sai arande nune?”(siapa namamu nak?), Cilinaye bertanya dengan tersenyum.

“Raden Megatsih aran kaji”(Raden Megatsih nama saya ), Raden Megatsih dengan polosnya.

“Leq mbe taok balende?”(dimana rumahmu), Cilinaye kembali bertanya.

“Leq sedin pesisi”(di tepi pante), kata Raden Megatsih.

Ketika Raden memberitahu keberadaan rumahnya, Cilinaye langsung berfikir dan mengingat tentang sesuatu hal, bahwa Raden Megatsih adalah anak yang selama ini ia tinggal pergi. Cilinaye kemuadian menyuruhh dayang-dayang untuk membungkuskan Raden megatsih nasi dan lauk-pauknya.

Dayang-dayng merasa sangat bingung, “angkakn saq peduli laloq leq kanak tye, araq hubungan ape ?”(mengapa Cilinaye sangat perduli kepada anak kecil itu, ada hubungan apa di antara mereka).

“lemaq, lamun araq amaqde, tenaq iye manto ndeh”(besok, jika ada bapakmu, ajaklah dia untuk menonton), kata Cilinaye.

 “ndeqne semel, pakeane wah lenge, toto taoqne beloang”(dia malu, pakaiannya sudah jelek dan banyak lubangnya), kata Raden Megatsih.

“angkaq lemaq, lamun side lite, jaq qu beng pakean lengkap”(oleh karena itu, jika kamu kesini, saya akan memberikan pakaian lengkap), Cilinaye tersenyum.

“enggeh menu, lemaq kaji badaq amaq kaji (baiklah begitu, besok saya akan mengajak bapak saya), kata Raden Megatsih tersenyum.

Keesokan harinya, pergilah keduanya besama saudara- saudara ayahnya dalam acara tersebut. Awalnya Raden Madiun malu dan tidak mau, tetapi karena di janjikan pakain lengkap dan masih baru, maka raden Madiun pun mengikuti kehendak anaknya.

Sesampainya di sana  mereka langsung di berikan sejumlah pakian yang bagus, baru dan makanan yang sangat banyak serta enak.

Pulanglah mereka dengan membawa barang-barang yang sudah di berikan. Sesampainya di rumah mereka langsung membuka makanan yang diberikan oleh Cilinaye, kemudian setelah selesai makan mereka membersihkan diri mereka dan secara langsung memakai pakaian yang di berikan oleh Cilinaye.

Suatu pagi, pergilah Raden Madiun bersama bije dan saudaranya ke kerajaan Daha, untuk mengikuti peresean yang di adakan oleh Datu Daha. Sesampainya di sana Raden Madiun sangat bangga karena saat itu juga ia mendapat musuh yang secara fisik sungguh kuat. Tapi Raden Madiun tidak mengukur kemampuannya dengan baik. Ketika inde  dan jungkat sudah di tangan Raden Madiun mulai beradu. Lama kelamaan Raden Madiun terdesak hebat sampai Ia hendak melarikan diri.Tapi seluruh penonton hendak bergerak dan ingin menghajarnya.Tiba-tiba, Cilinaye turun dari panggung, menubruk tubuh Raden Madiun untuk menghalangi pemukulan.

“ Engkah, lepas,mundur selapuande.Tiang Dende Ratnasasih, sebini’an Raden Madiun sekaligus bije datu Daha saq slame niki telang” (hentikan, lepas, mundur semuanya. Saya Dende Ratnasasih, istri dari Raden Madiun sekaligu anak dari Datu Daha yang selama ini hilang), sambil terisak Cilinaye memeluk suami. Raden Madiun tidak heran atas pengakuan Cilinaye karena sejak ia datang ia sudah tahu itu istrinya .

Sambil terisak Cilinaye menceritakan awal ia dipungut oleh inaq dan amaq  Bangkol sampai pertemuannya dengan Raden Madiun dan keridak setujuan Datu Keling atas pernikahan mereka. Setelah mengetahui hal demikian, masyarakat yang ingin memukul Raden Madiun pun mundur dan Datu Daha sangat terkejut dengan hal itu. Akhirnya, Datu Daha mengerti cilinaye adalah anaknya yang hilang. Maka diundanglah Datu Keling sekeluarga, inaq dan amaq Bangkol untuk merayakan petemuan ini. Datu Keling pun merasa bahagia ternyata Cilinaye adalah putri Datu Daha yang memang sudah dijodohkan sejak mereka masih bayi.

Demikianlah, akhirnya semua berakhir bahagia. Dua kerajaan di satukan di bawah perintah Raden Madiun yang kemudian diwarisi oleh Raden Megatsih.

  Labuapi,  Medio Juli 2016