singkong

Mayoritas masyarakat di Indonesia, terutama di daerah-daerah pedesaan masih memanfaatkan arang untuk pembakaran. Bahkan di era sebelum ada program gas bersubsidi, selain minyak tanah, sebagian masyarakat masih menggunakan arang untuk kebutuhan memasak. Namun di balik hitamnya arang, bisa dipakai sebagai bahan karbon untuk baterai kendaraan berbasis energi listrik.

Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Kementerian Kehutanan telah melakukan riset dan pengembangan arang sebagai karbon sphere nano porous untuk baterai lithium sekunder yang digunakan pada mobil listrik.
Riset karbon tersebut sebetulnya sudah dilakukan cukup lama. Sejak Balitbang Kehutanan berdiri di era penjajahan Belanda dan tahun lalu telah berumur 100 tahun, fokus risetnya adalah arang energi yang proses pemanasannya dengan suhu 500 derajat Celcius. Riset arang energi ini kemudian dikembangkan menjadi karbon aktif dengan suhu untuk memanaskannya 800 derajat Celcius.

Era sekarang ini merupakan eranya nano karbon. Harga nano karbonpun cukup menjanjikan. Untuk 25 gram nano karbon harganya Rp. 5 juta. Sedangkan untuk nano mesocarbon untuk berat 5 gram Rp. 7 juta.
Riset yang dikembangkan Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) telah mengarah pada mesocarbon microbeads (MCMB), yakni salah satu bahan baku unggulan untuk meningkatkan kerapatan energi baterai lithium sekunder. Bentuknya sperikal (bulat), memiliki konduktivitas dan luas permukaan tinggi.

Prof. (Ris) Dr. Gustan Pari, MSi bersama timnya telah melakukan riset pembuatan karbon sphere ini dari pati singkong karet (racun). Gustan menjelaskan karbon sebagai elektroda pada baterai lithium secara komersial sangat menjanjikan. China dan Amerika Serikat merupakan penghasil baterai lithium yang cukup besar.
”Tapi material karbon yang digunakan pada perangkat penyimpan energi berasal dari grafit dan amorphous karbon. Selain memiliki stabilitas kimia yang baik, harganya juga relatif murah. Sayangnya bersumber pada minyak bumi,” kata Gustan didampingi peneliti lainnya, Saptadi Darmawan.

Gustan bersama timnya memilih pati singkong sebagai bahan pembuat karbon. Selain ramah lingkungan, bahan bakunya juga mudah didapatkan. Singkong yang dipakai adalah jenis singkong karet yang banyak racunnya dan tidak dikonsumsi manusia.
Kebetulan di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Trenggalek, Jawa Timur, terdapat lahan tumpang sari yang ditanami singkong karet sejak tahun 1950. Perkebunan singkong tersebut dikelola sebuah koperasi mocaf.
Pilihan jatuh pada tepung singkong racun atau singkong karet ini karena mampu menghasilkan sphere. “Untuk membuatnya tetap dihilangkan unsur racunnya,” imbuh Saptadi.

Bahan tapioka tersebut diolah menjadi karbon sphere melalui proses hidrotermal karbonisasi dengan suhu tinggi, untuk menciptakan pori-pori nano porous karbon. Syarat utama pembentukan karbon sphere ini harus berbentuk kelereng.
“Apabila terjadi tumbukan antar karbon yang berbentuk kelereng ini bisa menimbulkan energi tinggi. Kami telah berhasil membentuk karbon dengan ukuran seperti kelereng dan berpori-pori,” kata Gustan.

Adapun mesin hydrothermal carbonization (HTC) dengan sistem rotary (berputar) merupakan modifikasi mesin pembuat bubur kertas, hasil karya Balitbang Kehutanan. Mesin sengaja didesain bisa berputar, agar pengadukan bahan-bahan menjadi sempurna.

Mesin tersebut dipakai untuk proses konversi termokimia biomass menjadi produk padat yang dikenal dengan arang hidro (karbon sphere). Menariknya, mesin tersebut ramah lingkungan karena tidak mengeluarkan gas pencemar.
Untuk memproduksi karbon sphere melalui proses hidrotermal, menggunakan bahan baku karbohidrat seperti xylosam fruktosa, selulosa murni dan pati. Bahan-bahan tersebut diproses di dalam mesin HTC selama 8 jam dengan suhu 250 derajat Celcius, kemudian dicampur dengan Kalium Hidroksida (KOH) dan dipanaskan dalam suhu 800 derajat Celcius selama satu jam. Dari situ maka terbentuk panas dan kimia yang menghasilkan karbon aktif sphere.

Saat ini riset untuk karbon sphere yang digunakan sebagai pengisi baterai lithium kendaraan berbasis listrik baru sampai pada tahap pemanasan dengan suhu 800 derajat Celcius. Bila ingin lebih lengkap dan sempurna untuk menghasilkan nano karbon, maka harus dipanaskan lagi dengan suhu 900 derajat Celcius selama satu jam.

“Setelah itu dilakukan proses sintering merupakan proses pemanasan di bawah titik leleh, dengan suhu 1300 derajat Celcius. Proses ini telah final menjadi nano karbon,” terang Saptadi.
Karbon sphere ini bisa digunakan di antaranya untuk ponsel, super kapasitor, dan baterai. Adapun analisa karbon sphere untuk luas permukaannya BET 986,2 meter persegi/g, volume pori 0,569 cc/g, dan diameter pori 2,3 nm. lnterlaksi ion lithium ke dalam material karbon merupakan faktor penting dalam meningkatkan kapasitas baterai.

Riset karbon sphere ini memiliki dampak positif baik sosial maupun ekonomi. “Aspek sosialnya akan menciptakan lapangan kerja khususnya untuk padat karya. Saat panen singkong akan membutuhkan tenaga kerja untuk memanen singkong, hingga memrosesnya sampai menjadi tepung atau pati,” kata Gustan.

Dari segi ekonomi, selain harga jual karbon cukup tinggi, akan muncul industri-industri karbon sphere ramah lingkungan yang mampu bersaing dalam skala nasional dan internasional.

Riset pembuatan karbon sphere ini telah dimulai 2013 dan pada Agustus 2014 akan dicoba diproduksi untuk skala pabrik. “Kami akan mencoba memproduksi di Trenggalek, bekerja sama dengan koperasi mocaf di sana. Riset ini merupakan bagian dari Konsorsium Riset Pengembangan Baterai Sekunder Lithium untuk Kendaraan Ramah Lingkungan (Mobil Listrik),” imbuh Saptadi.

Ada 11 lembaga baik kementerian, perguruan tinggi, badan litbang pemerintah dan industri tergabung dalam konsorsium tersebut. Satu di antaranya Balitbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Adapun tugas untuk Balitbang Kehutanan dalam konsorsium tersebut membuat karbon sphere dari pati singkong racun untuk baterai lithium Indonesia.***

Sumber:
Buku Sumber Inspirasi Indonesia “19 Karya Unggulan Teknologi Anak Bangsa” dalam Rangka Hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke-19 Tahun 2014