Mengunjungi Kampung Kerajinan Tanun Gumise Gerung, Jadi Andalan Lobar, Perajin Butuh Sentuhan Motif
Gerung –Tenun ikat Gumise, Desa Giri Tembesi Kecamatan Gerung begitu dikenal di Lombok Barat hingga ke NTB bahkan ke luar daerah. Tenun yang menjadi andalan Lobar ini memiliki kekhasan motif, berupa motif segi empat kombinasi motif hujan. Namun perkembangan waktu, perajin butuh pelatihan untuk memperkaya motif tenun yang dihasilkan. Pasalnya para perajin memiliki hambatan terbatasnya motif yang ingin dibuat, lantaran terbatasnya kemampuan para perajin. Pengembangan motif ini juga untuk menarik pembeli untuk membeli tenun hasil perajin setempat.
Ketua kelompok tenun Gumise, Wayan Landri ditemui di Gumise Minggu 24/7) kemarin, menuturkan, pengembangan kerajinan tenun di daerahnya mulai muncul sejak tahun 1997 lalu. Ia-lah yang mempelopori pengembangan kerajinan tenun khas tersebut. “Cara menenun ini saya peroleh dari Nuse Penida, lalu saya kembangkan disini,“akunya. Semenjak kawin dengan warga setempat, ia mngaku belum ada warga yang menenun. Warga hanya mencari kayu bakar, bertani dan lain-lain.
Ia pun memulai menenun sendiri di rumahnya. Lambat laun, warga sekitar pun mau menenun. Satu per satu warga pun memulai belajar menenun. Ia pun suka rela mengajarkan warga lain agar bisa menenun. Awalnya, hanya beberapa warga saja yang mau menekuni tenun ini, lantaran warga menganggap pekerjaan ini tak menghasilkan banyak uang. Warga juga menganggap menenun ini pekerjaan sampingan, sebab pekerjaan utamanya bertani dan beternak serta berkebun.
Awal mengembangkan tenun ini, dari jumlah kelompok 20 orang hanya 3-5 orang yang aktif. Sedangkan sebagian besar tidak aktif menenun. Tenun yang bisa dihasilkan tidak banyak. Ia hanya bisa menghasilkan 2 potong kain sehari. Itupun butuh kesabaran dan ketelatenan. Lambat laut, banyak anggota yang berminat. Banyak angota yang aktif menenun. Warga semakin antusias menyusul dibangunnya sorum dan tempat menenun tahun 2005 oleh Disperindag. “Sejak diibangunkan tempat menenun ini barulah warga semangat dan anggota banyak aktif. Sehingga seperti sekarang,”tuturnya.
Sekarang lanjutnya kondisi semua anggota mulai mengembangkan tenun ini. Menurutnya, perhatian pemda lumayan besar ke perajin tenun. Termasuk pembinaan, pelatihan. Setiap ada kegiatan pameran dan pelatihan perajin diikutkan, minimal katanya tenun ikat hasil perajin gumise ditampilkan pada even pameran. Ia mengaku sejauh ini di lokasi menenun, sudah ada 3 lokal bangunan ruangan. Satu lokal untuk menenun, menyimpan mesin dan sorum. Jumlah Alat tenun bukan mesin (ATBM) yang dimiliki sebanyak 20 unit. Namun ATBM ini jelasnya bukan bantuan pemda akan tetapi punya kelompok yang dibuat swadaya. “Sejauh ini baru 3 unit dikasi pemda, selebihnya milik anggota,”akunya.
Dari sisi kendala jelasnya, sejauh ini masalah modal bisa diatasi atas bantuan pinjaman dari BPD (Bank NTB red). Terkait pemenuhan bahan baku para perajin membeli benang putih dari bali, terkadang bahan baku dibeli dari daerah Lombok. “Bahan baku ini dibeli dari agen,”jelasnya. Bahan baku ini jelasnya, tergantung jenisnya. Jika bahan baku benang putih dipesan dari Bali, sedangkan jika yang biasa dibeli di lokal. Kendala yang dihadapi perajin jelasnya, SDM perajin yang kurang. Terutama kemampuan para perajin dalam pengembangan motif, masih terbatas. Diakui para perajin diberi pelatihan namun terbatas sehingga jika tak dipraktekkan langsung maka akan hilang.
Kendala lain yang dihadapi, para perajin tenun Gumise Desa Giri Tembesi Kecamatan Gerung sejauh ini masih jauh dari kata sejahtera, lantaran penghasilan yang diperoleh tak memadai dibandingkan lelah (capek) membuat kerajinan. Mereka berharap ada perlindungan atau jaiminan harga dan pasar yang jelas supaya kerajinan yang mereka kembangkan bisa memperoleh penghasilan yang memadai.
Ketua kelompok tenun Gumise, Wayan Landri mengaku, saat ini jauh lebih berkembang dibandingkan sebelumnya. Tenun yang mampu diproduksi dalm sehari 20 lembar, satu perajin menghasilkan satu lembar tenun. Berbicara harga per lembar (potong) diakuinya masih rendah. Ia menghargakan tenun per potong 160 ribu ukuran 2,5 meter. Harga ini tak memadai,jika dibandingkan biaya produksi dan capeknya membuat tenun. Biaya produksi per potong tenun tergantung motif, jika motifnya lumayan sulit maka perlu bahan baku yang harus didtangkan dari luar. Harganya pun lumayan tinggi.
Belum lagi proses pembuatan tenun yang sangat melelahkan. Tahapan-tahapan menenun mulai dari proses persiapan hingga baru bisa menenun butuh waktu 2 minggu. Tahapan awal menenun mulai dari proses mewarnai benang selam dua hari. Pewarnaan ini butuh waktu pas, jika cuaca bagus maka prosesnya cepat jika hujan maka prosesnya agak lama. Lalu dilanjutkan memintal benang, dihani (buat gulungan) baru bisa dipasang di ATBM. Pemasangan benang di ATBM ini pun butuh proses lama dan melehkan. “Butuh tiga hari memasukkan benang ke ATBm,”akunya. Setelah itu barulah dilakukan penenunan. Alat-alat untuk menenun sendiri terdiri dari ATBM, sisir, suri, skoci untuk menaruh benang. Selain itu ada palp, untuk penggulungan benang, pemintal benang.
Terkait pangsa pasar, Sejauh ini diakui masih sangat terbatas. Diakui pangsa pasar masih lokal, belum ada pangsa pasar hingga keluar daerah. Orderan tenun pun fluktuatif. Terkadang banyak orderan, bahkan terkadang sepi orderan. Ia mengaku, perajin lebih banyak mengandalkan orderan dari kantor dinas. Ia mengaku, dinas-dinas ada yang memesan 30-40 unit selain itu ada yang memesan dari pihak kecamatan. Termasuk Pemda memesasan untuk pelaksanaan MTQ sebanyak 500 potong, namun pihaknya hanya mampu memehui 250 potong saja. Hal ini dikarenakan waktu yang diberikan mepet. Pihaknya diberi waktu 2 bulan untuk menyelesaikan 500 potong kain tenun.
Ia mengaku, jika melihat penghasilan perajin masih minim. Hal ini menyebabkan mereka enggan mau menenun. Karena itu, mereka pun menutupi dengan bertani dan berkebun. Ketika musim tanam tiba,warga beralih mengarap pertanian. Namun ketika musim tanan dan panen berakhir barulah mereka kembali menenun. “Kebanyakan yang aktif ini mereka yang tak punya lahan garapan, kerajinan ini satu-satunya yang diharapkan,”jelasnya.
Jurnalis Warga: Penulis Zubaidi alamat Sekotong