Pemilihan umum merupakan salah satu perangkat penting dalam sistem demokrasi. Tidak ada negara di dunia yang mengklaim sebagai negara demokrasi kemudian tidak menggunakan pemilihan umum sebagai sarana sirkulasi kepemimpinan. Akan tetapi dalam praktek, tidak sedikit negara penganut sistem otoriter menggunakan intrumen pemilihan umum sebagai pendekatan untuk memobilisasi sumber daya politik negara, dengan tujuan melanggengkan keberlangsungan pemerintahan dibawah kekuasaan otoriter, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqle, SH, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI, pada Forum Fasilitasi Pemilu belum lama ini. Dikatakan, pemilihan umum sebagaimana banyak dipahami orang sebagai suatu mekanisme untuk memfasilitasi kompetisi politiik yang bebas dengan maksud bisa menciptakan iklim yang demokratis juga, sekaligus dapat menghasilkan pemerintahan yang legitimatis. Maka konsep penyelenggaraan pemilu seharusnya didesain sebaik mungkin serta seefektif mungkin, agar rakyat selaku pemilik kedaulatan demokrasi dapat menggunakan prefensi politik dengan baik. Akan tetapi berdasarkan fakta, pemilu selalu diwarnai dengan praktek manipulasi, bahkan pemilu menjadi begitu potensial terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Praktek KKN mengalami peningkatan, termasuk dalam pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia. Fakta kejahatan dalam pemilu kian memprihatinkan kita semua dan sebagai implikasi negative dari pemilihan umum (pemilu), ialah memicu ketidak percayaan publik pada pemimpin, kata Prof. Jimly. Umumnya pelanggaran pemilu khususnya dalam kaitan pelanggaran kode etik, antara lain adalah pelanggaran dalam penanganan daftar pemilih pemilu (DPT), pendiskualifikasian karena persyaratan, seperti ketercukupan jumlah dukungan atau persyaratan yang lewat waktu, penyalahgunaan jabatan/kewenangan, dugaan suap dalam pembentukan badan penyelenggaraan pemilu, netralitas penyelenggaraan pemilu, dan penetapan tidak professional dan tidak cermat, tambah Prof. Jimly.

Tidak Melahirkan Konflik

Berkaitan dengan itu menurut Prof. Jimly, tugas dan bertanggungjawab kita yang paling penting ialah bagaimana mendesain sistem pemilu yang bisa menciptakan iklim kompetisi yang bebas dan sehat, sehingga persoalan-persoalan klasik dan konservatif yang selama ini diharapi negara-negara berkembang, bukan pada upaya menciptakan sistem politik yang bebas (liberty) dan fair semata. Namun lebih dari itu bagaimana memformulasikan sistem pemilu yang bagus, termasuk pelaksanaannya yang bisa menjamin ketertiban dan keamanan, sehingga pelaksanaan pemilu dan pemilukada tidak melahirkan konflik yang melibatkan masyarakat luas. Landasan berfikir seperti ini bukan tanpa dasar teori, tetapi sebagaimana apa yang dikatakan Samuel Huntington dalam karyanya No Esay Choice : Political Participation in Developing Countries (2008), bahwa pemilu harus didesain untuk menciptakan ketertiban dan kedamawanan bagi warga negara yang sah (legitimate), jelas Prof. Jimly. Konstruksi pemikiran sebagaimana dikemukakan, bisa menjadi landasan dalam teori pembangunan dalam bidang sosial, ekonomi, hukum, pendidikan, budaya dan termasuk di dalam mengembangkan kualitas sistem demokrasi dan utamanya pengembangan kualitas diri setiap penyelenggaraan pemilu. Karena tidak ada pilihan lain selain bagaimana merumuskan konsep penyelenggaraan pemilu yang berkualitas. Desain sistem pemilu juga seharusnya memperhatikan hak-hak konstitusional warga negara, karena melalui sistem dan mekanisme penyelenggaraan Pemilihan Umum yang demokratis maka hak-hak rakyat bisa terakomodasi dan dengan demikian legitimasi politik setiap rezim yang dihasilkan Pemilu pun bisa dirasakan secara psikologis. Dan hanya dengan legitimasi politik ethics rakyat terhadap keabsahan Pemilu maka secara otomatis akan menjamin stabilitas politik di negara bersangkutan, tegas Jimly.

Semakin Galau

Mengingat betapa strategisnya pemilu dalam kehidupan suatu bangsa, maka dibentuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, yang senantiasa mengembangkan tradisi penanganan kasus dengan bersifat transparan, dan oleh karena itu, siding dilakukan secara terbuka untuk umum. Kita perlu membangun kesadaran yang tentu tidak hanya bagi penyelenggaraan pemilu didalam menjalankan tugas berdasarkan rule of law and the rule of ethic, tetapi kita juga bertekad membangun tradisi politik etik dengan tujuan memperkuat basis etika penyelenggaraan pemilu agar fungsi norma bisa berjalan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagaimana kita mampu menjadikan fungsi norma etik sebagai filosofi politik berbangsa. Mengukuhkan Pancasila menjadi sumber norma kita karena Pancasila merupakan falsafah dan pandangan hidup bangsa. Falsafah hidup yang mengandung nilai ethics sosial. Sistem norma agama, sistem  norma etika dan norma hukum sekarang sedang tidak bekerja dengan baik. Hukum tidak berjalan sesuai cita-cita reformasi, yakni semangat menegakkan keadilan substansial. Potret buram penegakan hukum yang jauh dari semangat keadilan membuat masyarakat pesismis pada aparat penegak hukum, kata Prof. Jimly. Kepastian hukum belakangan ini, membuat masyarakat semakin galau menghadapi apa yang tengah kita lakukan, yakni memperbaiki sistem norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini bisa dipahami, sebagai implikasi dari arus perubahan yang begitu cepat dan kuat dalam kehidupan berdemokrasi, tambahnya.

Menurut Prof. Jimly, persoalan krisis kehampaan kemanusiaan di era modern ini menjadi tema sentral dalam diskursus keilmiahan. Bangsa-bangsa di dunia mengalami kemerosotan moral yang semakin tajam, termasuk dalam aspek moralitas pengelolaan negara dan dalam kondisi kegalauan, ditambah lagi dengan kuatnya arus globalisasi menuntut bangsa-bangsa di dunia bersaing secara kompetitif. Persoalan nilai kemanusiaan dan usaha pelembagaan atau semacam upaya mendapat respon positif. Gagasan ini tentu berangkat dari akumulasi keresahan sosial dan tingkat keprihatinan atas realitas etika politik yang terus mengalami kekacauan sehingga dari sudut pandang etik sosial dapat dimaklumi. Namun pada konteks yang berbeda, usaha menginstitusionalisasikan nilai-nilai moral selalu ada ruang perdebatan ilmiah. Dan hal ini merupakan hal lumrah terutama di negara-negara yang tengah mengalami rotasi sistem pemerintahan demokrasi modern. Pemahaman mengenai moral di era modern cenderung dihubungkan dengan sains dan teknologi. Dari sinilah muncul pemahaman-pemahaman mengenai etika di abad modern. Moral mengandung pengertian mengenai akhlak, budi pekerti dan susila. Sehingga budi pekerti yang merupakan bagian dari filosofi dasar Pancasila, sebetulnya mengajarkan kepada kita tentang bagaimana bangsa kita tetap konsisten dalam mengamalkan nilai-nilai budi pekerti, karena dalam budi pekerti tersebut tercermin tingkah laku, perangai, watak dan sesuatu yang merefleksikan karakter, jelas Prof. Jimly Asshiddiqie.

Sumber: http://www.kemendagri.go.id/article/2014/03/26/pemilu-2014-sudahkah-didesain-untuk-ciptakan-ketertiban-kedamaian-dan-kualitas-demokrasi