Mataram – Pemerintah Kabupaten Lombok Barat segera mengevaluasi investor yang menelantarkan tanah atau investor yang menguasai lahan namun tidak dimanfaatkan untuk aktivitas usaha.
“Kami evaluasi investor yang menguasai tanah di Lombok Barat, tetapi sampai saat ini belum membangun,” kata Bupati Lombok Barat H Zaini Arony, di Mataram, Selasa, usai menemui Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi di ruang kerja.
Zaini mengakui, salah satu topik pembicaraannya dengan Gubernur NTB itu yakni masalah penelantaran tanah oleh investor.
Ia mengatakan, gubernur meminta dirinya untuk segera mengevaluasi kinerja investor yang menguasai tanah tertentu di wilayah Kabupaten Lombok Barat.
“Kalau memang investor itu tidak ada niat untuk membangun, maka harus diambil sikap. Kalau itu kewenangan gubernur maka akan disikapi, dan kalau kewenangan bupati maka saya diminta untuk menyikapinya secara tegas,” ujarnya.
Menurut dia, jika investor hanya menguasai lahan baik dalam bentuk Hak Pakai Lahan (HPL), Hak Guna Bangunan (HGU), maupun hak milik, namun tidak melakukan upaya nyata untuk menghasilkan kemajuan daerah maka hal itu layak disikapi secara tegas.
Wilayah Kabupaten Lombok Barat merupakan salah satu daerah potensial untuk pengembangan sektor pariwisata dan pertanian.
“Kami segera evaluasi, dan bila mana perlu kami akan cabut izin-izin yang sudah kami keluarkan. Itu kebijakan tegas yang dapat ditempuh,” ujar Zaini.
Sebelumnya, Kepala Biro Pemerintahan Setda NTB Sajim Sastrawan mengatakan, Pemerintah Provinsi NTB mendukung Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat yang mengusulkan pencabutan izin Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki 10 investor.
Usulan BPN NTB itu mengacu kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Usulan BPN NTB itu ditempuh setelah peringatan lebih dari tiga kali terhadap investor yang teridentifikasi menelantarkan tanah.
Dalam Pasal 2 PP Nomor 11/2010, yang termasuk sebagai obyek tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
“BPN NTB mengusulkan pembekuan 10 izin pemanfaatan tanah tersebut karena sudah bertahun-tahun, bahkan ada yang belasan tahun tidak dimanfaatkan. Pemprov NTB mendukung langkah itu,” ujarnya.
Sajim mengakui, semula Pemprov NTB berharap para bupati/wali kota yang melakukan pencabutan izin pemanfaatan lahan, namun harapan itu surut karena kebijakan pencabutan izin pemanfaatan lahan karena teridentifikasi menelantarkan tanah, rentan digugat.
Pemerintah provinsi mendorong kabupaten/kota untuk mencabut izin atas pengelolaan tanah yang ditelantarkan itu, namun para bupati/wali kota enggan karena sudah ada contoh kasus dipraperadilankan dan kalah.
Lahan terlantar
Versi BPN NTB, lahan investasi yang diterlantarkan pengusaha di wilayah NTB lebih dari 25 ribu hektare.
Sejak 2002, tercatat sebanyak 146 perusahaan atau lembaga berbadan hukum menelantarkan 187 bidang tanah yang luasnya mencapai 25.022 hektare lebih.
Tanah terlantar itu menyebar di 10 kabupaten/kota di wilayah NTB, dan terbanyak di wilayah Kabupaten Dompu yang mencapai 30 bidang tanah yang melibatkan 30 perusahaan/lembaga berbadan hukum dengan total luas tanah 12.158 hektare lebih.
Selain itu, 30 perusahaan atau lembaga berbadan hukum juga menelantarkan 14 bidang tanah yang total luasnya mencapai 1.007 hektare lebih, di Kabupaten Lombok Tengah.
Demikian pula, 26 perusahaan/lembaga berbadan hukum yang menelantarkan 17 bidang tanah seluas 402 hektare lebih di Kabupaten Lombok Utara.
Tanah terlantar juga ada di kabupaten/kota lainnya seperti di Kota Mataram yakni satu bidang yang ditelantarkan satu perusahaan dengan luas tanah 0,2 hektere, dan tiga bidang tanah seluas 213 hektare lebih di Kota Bima yang ditelantarkan delapan perusahaan.
Dari 187 bidang tanah yang ditelantarkan itu terdiri dari 120 bidang tanah seluas 1.605 hektare lebih yang ditelantarkan 83 perusahaan/lembaga berbadan hukum, dengan status Hak Guna Bangunan (HGB).
Untuk pemanfaatan tanah yang berstatus Hak Guna Usaha (HGU), tercatat sebanyak 45 bidang tanah seluas 17.225 hektare lebih, yang ditelantarkan 42 perusahaan/lembaga berbadan hukum.
Pemanfaatan tanah dengan status Hak Pakai Lahan (HPL) tercatat sebanyak empat bidang yang ditelantarkan tiga perusahaan/lembaga berbadan hukum dengan luas lahan 455 hektare lebih.
Selanjutnya, Hak Pengelolaan yang mencakup 11 bidang tanah seluas 2.634 hektare lebih yang ditelantarkan 11 perusahan/lembaga berbadan hukum.
Sementara tanah dengan status Izin Lokasi mencakup tujuh bidang tanah seluas 3.102 hektare lebih yang ditelantarkan tujuh perusahaan atau lembaga berbadan hukum.
Dari total 25.022 hektare lebih tanah terlantar itu, sebanyak 16 ribu lebih diantaranya yang diterlantarkan 40 perusahaan/lembaga berbadan hukum.
Keberadaan tanah terlantar yang cukup luas dan menyebar di berbagai kabupaten/kota itu, turut memberi andil terjadinya konflik agraria yang berkepanjangan.
Karena itu, Pemprov NTB terus berupaya mendorong kesuksesan program Proyek Operasi Nasional Pertahanan (Prona) dan Layanan Rakyat untuk Sertifikasi (Larasati) yang dilaksanakan BPN.
http://www.antarantb.com/berita/25285/pemkab-lombok-barat-evaluasi-investor-terlantarkan-tanah