Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) segera menggodok rancangan peraturan daerah (raperda) yang mengatur tentang budaya “nyongkol” di kalangan Suku Sasak (Lombok).

“Segera digodok SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait, sesuai aspirasi yang berkembang dalam rapat koordinasi forum pimpinan daerah, di Mataram, Selasa (16/10) lalu,” kata Kabag Humas dan Protokoler Setda NTB Tri Budiprayitno, di Mataram, Kamis.

Rapat koordinasi itu mengedepankan upaya mewujudkan keamanan, ketentraman dan ketertiban umum, yang dipimpin langsung Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi, dan dihadiri para bupati/walikota atau wakil bupati/wakil wali kota, dan pimpinan instansi terkait lainnya.

Seluruh pimpinan aparat penegak hukum di wilayah NTB, juga hadir dalam acara tersebut, termasuk dari kejaksaan, kepolisian, pengadilan, TNI dan instansi vertikal terkait lainnya.

Tri mengatakan, dalam rapat koordinasi itu para bupati/wali kota atau wakilnya mengungkapkan beragam permasalahan yang mencuat dalam pelaksanaan budaya “yongkol” yang berpotensi memicu konflik sosial.

Budaya “nyongkol” merupakan tradisi suku Sasak di Pulau Lombok, yang hingga kini masih merupakan bagian penting dari pernikahan adat Sasak, baik di Kota Mataram maupun di pelosok desa di Lombok.

Bahkan, dalam sekali perjalanan di Lombok terutama waktu-waktu tertentu, misalnya hari Sabtu dan Minggu, bisa ditemui banyak rombongan “nyongkol” di desa-desa yang dilalui, yang jumlahnya dapat mencapai ratusan orang.

Rombongan “nyongkol” terdapat kelompok musik tradisional yang memeriahkan perjalanan “ngongkol” yang berjalan kaki ratusan hingga ribuan meter.

Tradisi “nyongkol” merupakan bagian dari prosesi pernikahan adat Sasak, yakni proses mengantar mempelai perempuan dari kediaman mempelai laki-laki ke rumah orangtua mempelai perempuan, yang biasanya digelar seminggu setelah akad nikah.

Akad nikah digelar di kediaman mempelai laki-laki, dan saat itu mempelai perempuan berada di kediaman mempelai laki-laki, yang kemudian diantar kembali ke kediaman orangtuanya, sekaligus sebagai momentum publikasi bahwa keduanya telah menikah secara syah menurut agama dan pranata sosial.

Dalam pelaksanaan budaya “nyongkol” terutama di kawasan perkotaan yang melintasi jalan protokol, seringkali sebagian rombongan “nyongkol” mengkonsumsi minuman keras, sehingga mencuat pertikaian atau perkelahian antara rombongan “nyongkol” dengan pengguna jalan lainnya.

Rombongan ‘nyongkol’ seringkali menggunakan sebagian besar badan jalan sehingga kemacetan terjadi, dan pengguna jalan lainnya kesal, bahkan marah hingga terlibat konflik sosial.

“Dari berbagai permasalahan yang mencuat dalam budaya ‘nyongkol’ itu, maka para bupati/wali kota atau wakilnya menghendaki dibuatkan regulasi agar pelaksanaan tradisi perkawinan Suku Sasak itu lebih tertib dan terhindar dari konflik sosial,” ujar Tri.

Hanya saja, lanjut Tri, para bupati/wali kota atau wakilnya itu menghendaki Pemprov NTB yang menginisiasi regulasi itu.

Menurut dia, dihadapan peserta rapat koordinasi itu, Gubernur NTB sudah langsung menyanggupi akan segera menggodok raperda tentang tata cara budaya ‘nyongkol’ itu.

“Tentu, maish harus dikaji dari berbagai aspek, dan itu sedang dilakukan SKPD terkait, seperti Biro Hukum Setda NTB, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB, atau Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga,” ujarnya.

Sumber : www.antaramataram.com