Daerah minta pemerintah ikhlas memberikan kewenangan dan konsisten melakukan pembinaan dan supervisi.

MASIH banyaknya persoalan terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah membuat pemerintah pusat berancang-ancang mengambil alih sejumlah kewenangan yang selama ini didelegasikan ke daerah. Kewenangan yang diambil itu terutama menyangkut perizinan.

Namun, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi memastikan bahwa pengambilan sejumlah kewenangan itu bukan untuk mengembalikan sistem pemerintahan dari desentralisasi menjadi sentralisasi. “Tidak ada nuansa resentralisasi. Ini upaya mengefektifkan penyelenggaraan pemerintah daerah,” kata Mendagri, kemarin.

Sejumlah pakar mengkritik pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berlangsung lebih dari 10 tahun, tetapi belum menunjukkan tanda-tanda kesesuaian dengan tujuan awal. Kritik tersebut mengemuka dalam Diskusi Panel Ahli Media Group dengan topik Otonomi Daerah, Birokrasi, dan Pertumbuhan Ekonomi, pekan lalu.

Para pembicara terdiri dari pengamat ekonomi yang juga Direktur Eksekutif Indef Ahmad Erani Yustika, pengamat politik Yunarto Wijaya, pakar hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin, serta pemikir kebangsaan dan kenegaraan Yudi Latif.

Menurut Erani, otonomi daerah yang didesain untuk pemerataan ekonomi di daerah hingga kini belum menunjukkan hasil signifikan. Sebagian besar daerah menjadikan APBD sebagai nyawa.
Ironisnya, sebagian besar APBD habis untuk belanja pegawai dan belanja barang. Belanja modal yang menjadi penggerak ekonomi masyarakat hanya memperoleh porsi amat kecil, kurang dari 10%.

“Pada 2007, sebanyak 67% dana alokasi umum (DAU) dari pusat ke daerah habis untuk belanja pegawai. Bahkan, pada 2010 penggunaan DAU untuk belanja rutin sudah 95%,” papar Erani.

Pertumbuhan belanja pegawai dan barang yang rata-rata 20% per tahun juga jauh lebih besar daripada pertumbuhan belanja modal yang hanya 9%. “Jangan heran bila APBD naik 10% pun, signifikansinya bagi pertumbuhan ekonomi di daerah hanya 0,06%.”

Yunarto Wijaya mengkritik banyaknya daerah yang–karena bingung menggali sumber dana–akhirnya ‘menjual’ konsesi sumber daya alam melalui sejumlah izin. “Akibatnya, kerusakan alam makin merajalela justru setelah era otonomi daerah.”

Harus ikhlas

Karena itulah, kata Mendagri, UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah harus dikoreksi. “Jangan sampai ada pemberian izin tanpa kontrol. Kan ada prinsip delegate autority and responsibility. Di Amerika saja itu menjadi salah satu dari enam prinsip, kita yang negara kesatuan malah tidak ada.”

Namun, Ketua Umum Asosiasi Kepala Pemerintahan Daerah Seluruh Indonesia Isran Noor menyayangkan pengambilalihan kewenangan daerah oleh pusat. “Pusat seharusnya ikhlas memberikan kewenangan dan konsisten menjalankan fungsi pembinaan dan supervisi,” ujar Bupati Kutai Timur tersebut, kemarin.

Jangan sampai, tukasnya, ada kesan citra otonomi daerah gagal adalah kepentingan pusat untuk mengambil alih kewenangan daerah.

Dalam pandangan Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, pemerintah daerah memperoleh sekaligus kewenangan, diskresi kebijakan, dan sumber pembiayaan. Sayangnya, hal itu tidak diikuti dengan pembangunan sistem integritas yang kuat sehingga yang terjadi ialah korupsi selalu mengikuti kekuasaan.

“Segala hal yang masuk ke daerah, tetapi tidak terkelola dengan baik, akan berdampak pada layanan publik yang buruk dan praktik kejahatan anggaran. Ini mengerikan,” paparnya dalam dengar pendapat yang digelar Kadin di Jakarta, kemarin.(*/Wta/RK/X-7)

Sumber :

Thomas Harming Suwarta, thomas@mediaindonesia.com

http://www.mediaindonesia.com/read/2012/09/09/350888/284/1/Pusat-akan-Ambil-Sejumlah-Kewenangan-Daerah