Telah menjadi ciri hampir setiap etnis di Nusantara ini bahwa, ketika berbahasa lisan, sering disertai banyak peribahasa, ungkapan-ungkapan maupun istilah-istilah. Demikian pula halnya dengan etnis Sasak di Pulau Lombok. Orang-orang Sasak, pengguna bahasa Sasak memiliki cukup banyak sesenggak (peribahasa), ungkapan-ungkapan (seselip) dan istilah-istilah (setilah) itu. Peribahasa terkadang digunakannya dalam menyatakan maksud tertentu. Dengan pernyataan (frase), atau kalimat yang mengandung makna kiasan merupakan tradisinya.

Menyatakan suatu perubahan begitu cepat terjadi, terkadang dengan frase kiasan; “maraq kunyiq awor apuh” (bagai kunyit bercampur kapur) – langsung menjadi merah. Kunyit yang tadinya kuning dan kapur yang tadinya putih, jika dicampur dipersatukan, secara cepat akan melahirkan warna merah. Inilah kiasan dari “perubahan” yang begitu cepat dan drastis terjadi.

Menyampaikan maksud dengan menggunakan pernyataan singkat yang bermakna luas disebut ungkapan, sering kita dengar. Untuk menyatakan sifat anak cucu yang sering mengikuti sifat orangtua, tidak serta merta dinyatakan demikian. Tetapi terkadang dalam bentuk ungkapan; “mbe yaq lain aiq ngeteq” (kemana bermuaranya air mengalir) kalau tidak tentunya ke laut.

Sering pula kita dengar orang menggunakan istilah-istilah khusus yang mengandung makna tertentu dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Kata-kata atau frase tertentu yang mengandung makna khusus itu, oleh para ahli disebut istilah (setilah).
Menyatakan seseorang yang tinggal berjauhan dengan kekasihnya misalnya. Jika dengan menggunakan istilah, maka ia akan menyatakannya dengan; “lalang segare” (berjarak laut). Itulah peribahasa (sesenggak), ungkapan (seselip) dan istilah (setilah) masyarakat suku Sasak.

Contoh sesenggak Sasak ini sebagai ilustrasi; “Adeng-adeng kuale kenaq” (biar lambat asal selamat) yang sudah harus kita kaji urgensinya. Mungkin perlu ditinggal karena kita perlu pekerjaan itu selesai dalam waktu dekat. Mungkin juga lambat tapi selamat, itu penting karena tidak harus dikejar waktu. Bagaimana mungkin, kita harus berlambat-lambat, jika yang kita kerjakan adalah, memasang peluru untuk kita tembakkan ke depan musuh yang sedang menyerang? Sebaliknya, mengapa kita harus tergesa-gesa jika kita akan melewati titian yang di bawahnya ada jurang menganga ketika kita berada di kawasan Rinjani?

Ada pula sebuah ilustrasi ungkapan (sesilip); “kelampan cupak”. Cupak dalam dunia cerita rakyat Sasak adalah, tokoh yang rakus, yang kerjanya cuma makan, cuma mau enak, cuma mau mengandalkan orang lain. Kalau “kelampan” (perjalanannya) seperti ini diikuti, rusaklah bumi ini. Justru nilai yang terkandung dalam ungkapan ini menjadi luhur ketika “orang tidak ada lagi yang berperilaku demikian”, tidak mau enak sendiri, tidak mau menang sendiri, tidak hanya mengandalkan orang lain, tetapi hendaklah;
“bareng belimas bareng begasap” (sama-sama membuang air, sama- sama menangkap ikannya). Artinya, bekerja bersama-sama untuk menikmati hasil secara bersama- sama pula.
Dari ilustrasi peribahasa, ungkapan dan istilah di atas, akan kita temui nilai-nilai yang bersifat positif. Kita dapat memilih, mana diantaranya yang mengandung nilai positif yang dapat kita gunakan sebagai pegangan warisan budaya, tidak kita tinggalkan begitu saja. Sebaliknya, jika memang ada mengandung nilai negatif, kita akan tinggalkan, ibarat kita; “teteh bangken ulah tipaq aiq kokoh belabur” (membuang bangkai ular ke air sungai yang sedang banjir), hingga akan hanyut ditelan gelombang di “segare galuh” (laut luas).

Berikut akan kita simak bersama-sama, beberapa ilustrasi sesenggak (peribahasa) sebagai bentuk rasa cinta dalam berbudaya lokal. Harapnnya, jangan sampai menjadi punah. Kita dapat tularkan hingga warisan budaya ini tidak menjadi “sirna kantaning bumi” (hilang ditelan bumi). Terlebih jika kita mengacu pada keberadaan peribahasa, ungkapan dan istilah itu sebagai bentuk produk budaya Sasak di masa lalu. Banyak diantaranya yang mengandung nilai yang bersifat positif. Mari kita simak satu persatu sesenggak Sasak di bawah ini.

Dendeq Ipuh Pantok Gong (Jangan segan-segan memukul gong): Ungkapan atau peribahasa ini mengandung makna bahwa; apabila kita tidak mengetahui sesuatu, hendaknya jangan segan- segan untuk bertanya. Dalam ungkapan ini, bertanya diumpamakan sebagai orang memukul gong. Gong diibaratkan sebagai mulut. Memukul gong berarti bersuara atau bertanya.

Ungkapan ini biasanya ditujukan untuk neasihat orang yang hendak bepergian. Ini mengandung ajaran/petuah agar kita selalu bertanya apabila tidak mengetahui. Dalam pengertian yang lebih luas, kita harus belajar. Hampir sama maknanya dengan ungkpan bahasa Indonesia; malu bertanya, sesat di jalan.

Dendeq Kdek Jukung Belabuh (jangan mempermainkan perahu yang sedang berlabuh): Ungkapan ini mengandung arti, agar jangan mempermainkan keadaan (situasi) yang nampaknya sudah terang. Dalam ungkapan di atas diumpamakan, sebagai larangan untuk mempermainkan perahu yang sedang berlabuh. Sebab, mempermainkan perahu yang sedang berlabuh ada bahayanya. Bisa-bisa dengan tidak diduga datang gelombang yang bergulung dan membawa hanyut perahu tersebut.

Ungkapan ini biasanya digunakan sebagai nasihat dan petuah kepada seseorang yang suka usil, sewot dan suka ngerumpi. la juga mengandung ajaran, agar kita jangan suka usil dengan era berbuat sesuatu yang bisa memancing-mancing, sehingga bisa timbul kekisruhan dalam keadaan dan situasi yang sudah tenang.

Lolon Kayuq Pastine Tebabar Isiq Angin (Setiap pohon kayu pasti dilanda angin): Ungkapan ini lagi- lagi mengandung makna bahwa, setiap orang pasti mengalami cobaan dalam hidupnya. Dalam ungkapan ini diumpamakan sebagai pohon kayu yang pasti dilanda angin. Bahkan tidak sekedar angin, mungkin hujan dan badai.

Ungkapan ini digunakan sebagai nasihat atau saran, petuah dari orang tua kepada anak muda yang tampaknya cepat mengalami kesulitan. Ungkapan ini juga jelas mengandung ajaran agar kita tabah dalam menghadapi segala cobaan.Untuk itu perlu tawakkal kepada Allah SWT.

Manis-manis Buaq Ara, Peris- peris Rasan Nasi (manis-manis rasan buaq ara, masam-masam rasan nasi): Ungkapan atau sesenggak ini mengandung makna bahwa, lebih baik memakan makanan yang sederhana, asal semuanya dari hasil keringat sendiri, dari pada memakan makanan yang enak dan lezat, namun disertai penghinaan.

Dalam ungkapan ini, dikatakan ‘manis-manis buaq ara’.
Sebenarnya buah ara itu rasanya kecut, tetapi akan terasa manis dibandingkan dengan rasa nasi yang sebenarnya enak, tapi disuguhkan dengan cara yang disertai umpatan dan penghinaan. Sesenggak Sasak yang satu ini biasanya diucapkan oleh orang yang sedang menderita atau miskin, malah diberikan dengan mendapatkan penghinaan.(Redaksi: Lalu Pangkat Ali, S.IP-Bag.Humas Kantor Bupati Lombok Barat).