Obsesi Nur Akhmad Yani bertahun-tahun untuk menemukan species tanaman bernilai ekonomis tinggi berupa tanaman gaharu di lahan kering berujung pada upaya mendongkrak pendapatan petani kini berbuah manis. Seakan lepas dari rasa haus berkepanjangan Yani begitu biasa ia akrab disapa, dianggap telah menjadi pahlawan tanpa pamrih di tempat tinggalnya Desa Bukit Tinggi dan Desa Mekarsari, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Kerja keras dan dedikasi sosok Yani akhirnya diganjar penghargaan bergensi sebagai Fellow Ashoka. PSPSDM, lembaga yang didirikannya, dinilai sebagai 15 mitra terbaik GEF-SGP di Indonesia. Ia dianggap memiliki kiprah besar dalam pemberdayaan masyarakat di lahan kering.
Sistem pengelolaan lahan kering berupa teras miring yang diciptakan Yani di desa binaannnya, awalnya telah dikembangkan oleh pegiat LSM pada era tahun 1980-an seperti Konsorsium Masyarakat Dataran Tinggi Nusa Tenggara (KMDTNT) di wilayah NTT, NTB, Bali dan Timor Leste, serta CARE Internasional di NTB.
Hanya saja yang menjadikan kiprah Yani dinilai member cirri tersendiri yakni dia berhasil melakukan uji coba budidaya tanaman gaharu pada lahan kering. Sebagaimana diketahui pengembangan gaharu di desanya biasanya hidup hidup optimal di lahan lembab, namun berkat eksperimen Yani bisa dibudidayakan dengan baik pada lahan kering.
Hal yang lazim terjadi bagi para petani, tanaman utama yang dikembangkan pada program lahan kering adalah jenis tanaman kayu dan buah-buahan, namun ironisnya tak mampu memberikan dampak signifikan terhadap pendapatan petani lahan kering. “Penemuan bibit gubal gaharu oleh Dr Parman (almarhum) dari Unram telah menginspirasi saya untuk melakukan uji coba agar tanaman gaharu dapat dibudidayakan di lahan kering,” terang Yani membuka pembicaraan.
Uji coba keberhasilan Yani pada lahan kering dua warganya yang disulap menjadi hijau dan subur, telah membuka aura masyarakat sekitar mulai tertarik mengadopsi inovasi ini pada lahan mereka. Pada tahun 1999, jumlah petani di Desa Mekarsari yang mengadopsi inovasi ini berkembang menjadi 40 keluarga tani. Pengembangan program ini mendapat dukungan dana hibah dari GEF-SGP/UNDP.
Kecuali Desa Penimbung dan tiga desa di sekitarnya di Lombok Barat, Yani juga telah mengimplementasikan program pertanian lahan kering model ini ke Desa Selaparang di Lombok Timur, Desa Mbajo dan Desa Dodi Dungga di Bima dan Desa Malaka di Kabupaten Lombok Utara.
Saat ini, petani binaan Yani di Desa Mekar Sari telah dapat menikmati hasil panen tanaman semusim dengan lebih baik, termasuk tanaman gaharu dan tanaman kayu lainnya. Satu pohon gaharu umur 5 – 6 tahun bisa menghasilkan 1 – 3 kilogram (kg) gubal gaharu. Harga 1 kg gaharu dapat mencapai Rp 1 juta hingga 9 juta di lapangan, tergantung kualitas gubalnya.
Selain itu Yani menambahkan, salah satu anggota kelompok tani yang mengelola lahan seluas 1 hektare dapat membeli sepeda motor cash dari memelihara 3 ekor sapinya. Pakan ternak tidak perlu dicari ke hutan atau tempat lain seperti sebelumnya. Tetapi cukup dari daun gamal yang ada di kebunnya.
Kapasitas kelembagaan dan individu kelompok tani yang dibina Yani juga meningkat. Ketua kelompok dan kelompok taninya telah menjadi pemrakrasa berdirinya SDN 4 Mekarsari. Nyoman Suyasa, anggota kelompok lainnya, telah berhasil memfasilitasi pembangunan sarana air bersih dan pembukaan jalan baru di desanya.
Ujicoba tanaman gaharu di lahan kering di Desa Mekarsari dan Bukit Tinggi telah menjadi laboratorium training lapangan. Telah banyak kunjungan yang dilakukan oleh petani, kelompok tani maupun ormas lain dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Timor Leste untuk belajar bersama dengan petani setempat.
Pendampingan program yang diberikan kepada masyarakat saat ini tidak lagi terbatas pada bidang pertanian, tetapi juga bidang kesehatan, air bersih dan pendidikan. Jumlah desa dampingan yang telah mendapat sentuhan program PSPSDM sebanyak 129 desa, 121 desa diantaranya tersebar di NTB.
Jurnalis Warga: WARDI