Paradigma Baru Pembangunan Nasional

Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*
Ada yang sedikit berbeda dalam dokumen APBN-P 2015 hasil kesepakatan pemerintah dan DPR. APBN pertama di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ini mencantumkan target-target pembangunan manusia sebagai bentuk komitmen untuk memperbaiki kualitas manusia Indonesia. Secara umum, sejumlah indikator pembangunan manusia yang masuk ke APBN-P 2015 diantaranya: angka kemiskinan 10,3%, angka pengangguran 5,6%, gini rasio 0,40 serta  Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 69,4. Target-target tersebut menjadi ukuran dalam keberhasilan menilai keberhasilan pembanguna nasional ke depan.
Dalam kesempatan yang sama, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis laporan Indeks Kebahagiaan Nasional 2014 berdasarkan survei di sekitar 1.129 rumah tangga di seluruh Indonesia. Hasilnya, Indeks Kebahagiaan Nasional mencapai 68,28 dimana semakin mendekati angka 100 artinya tingkat kebahagiaan masyarakat semakin tinggi. Namun demikian, jika dibandingkan laporan yang sama di tahun 2013, diasumsikan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan kebahagiaan.
Indeks Kebahagiaan Nasional dihitung berdasarkan penilaian atas kepuasan masyarakat terhadap 10 aspek kehidupan diantaranya pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keharmonisan keluarga, kondisi keamanan serta kondisi lingkungan. Jika dibandingkan tahun 2013, maka aspek pendapatan rumah tangga mengalami kenaikan paling signifikan hingga 5,06 poin menjadi 63,09. Sementara keharmonisan keluarga mengalami peningkatan paling rendah 0,78 poin ke level 78,89. Yang sedikit memprihatinkan, aspek pendidikan justru menjadi indeks kebahagiaan yang paling rendah sekitar 58,28.
Masyarakat yang tinggal di perkotaan juga dinilai memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi 69,62 dibandingkan indeks kebahagiaan masyarakat perdesaan yang hanya 66,95. Berdasarkan kategori jenis kelamin, wanita memiliki tingkat kebahagiaan 68,61 dibandingkan pria yang memiliki indeks kebahagiaan 67,94. Untuk wilayah, daerah yang memiliki indeks kebahagiaan tertinggi adalah Kepulauan Riau sebesar 72,42, disusul Maluku sebesar 72,12 kemudian Kalimantan Timur 71,45.
Paradigma Baru Pembangunan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, ada suatu perubahan paradigma baru dari pemerintah dalam memandang kinerja serta keberhasilan pembangunan. Secara teori, indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara, selalu didasarkan pada perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) semata. Dan ukuran inilah yang selama ini selalu menjadi pedoman oleh pemerintah dalam menilai kinerja ekonominya, meskipun sebetulnya penggunaan konsep PDB sebagai indikator kesejahteraan ekonomi negara, dalam perjalanannya mengalami evolusi yang cukup signifikan. 
Evolusi pertama muncul seiring dengan fakta bahwa tingkat populasi penduduk antar negara sangat heterogen. Ada negara yang kaya namun populasi penduduknya juga relatif besar, sebaliknya ada negara yang kaya namun populasi penduduknya rendah. Adapula negara yang miskin dan populasi penduduknya besar dan sebaliknya. Keanekaragaman modalitas tersebut tentu akan menimbulkan kesalahan dalam intepretasi jika indikator kesejahteraan hanya menggunakan PDB semata.
Karenanya kemudian muncul konsep PDB/PNB per kapita sebagai upaya mereduksi kelemahan tersebut. Tantangan berikutnya muncul ketika ada perbedaan standar biaya hidup antar negara. Tokyo di Jepang dan beberapa kota besar di Eropa dikenal sebagai kota dengan standar biaya hidup termahal di dunia. Menjadi hal yang sangat menggelikan jika standar hidup yang berbeda-beda tersebut dinafikan dalam proses penghitungan indikator kesejahteraan negara. Kelemahan tersebut kemudian diperbaiki dengan menggunakan konsep Purchasing Power Parity (PPP) yang akan menyamakan standar biaya hidup seluruh negara.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran negara akan pentingnya aspek-aspek non-ekonomi yang selama ini justru terpinggirkan dalam konsepsi PDB, kemudian muncul pendekatan Gross National Happiness yang digagas oleh negara Bhutan sebagai sebuah terobosan spektakuler dalam menghitung konsep kesejahteraan negaranya. Bhutan inilah yang kemudian menjadi acuan dalam penyusunan Indeks Kebahagiaan di banyak negara lainnya termasuk Indonesia.
Ide mengukur tingkat kebahagiaan bangsa itu pertama kali dicetuskan oleh Raja ke IV Bhutan, Jigme Singye Wangchuck, pada tahun 1970-an. Dalam pemikirannya, konsep pembangunan yang berlanjut adalah sebuah konsepsi pembangunan yang menggunakan pendekatan holistik dalam mencapai kemajuan bangsa. Karenanya faktor non-ekonomi perlu diberikan bobot penting setara dengan aspek ekonomi dalam pendekatan PDB yang hanya memperhitungkan aspek ekonomi semata. Upaya penyusunan GHN di Bhutan dimulai sejak 2005, ketika the Centre for Bhutan Studies (CBS) merumuskan indikator untuk mengukur tingkat kebahagiaan bangsa, melalui kajian literatur dan konsultasi dengan berbagai pihak.
Survei pendahuluan kemudian dilakukan pada tahun 2006 sebelum survei pertama kali mengukur Indeks GHN dilakukan pada tahun 2007, di mana kuesioner yang mencakup 750 variabel (meliputi variabel obyektif, subyektif dan terbuka) ditanyakan kepada 950 orang di 12 daerah. Namun sedikitnya responden memaksa CBS tidak mengangap hasil survei tersebut cukup sahih untuk ditetapkan secara resmi. Survei berikutnya dilakukan pada tahun 2010, dalam waktu 9 bulan, dengan jumlah kuesioner yang terisi lengkap sebanyak 7000 lembar lebih, dari 20 daerah perkotaan dan pedesaan. Berdasarkan survei inilah kemudian GNH dijadikan momentum keberpihakan Bhutan dalam pemenuhan aspek kebahagian hidup kepada masyarakatnya.
Konsep GNH diukur dari sembilan aspek kebahagiaan bangsa, yaitu: ketenangan psikologis, kesehatan, pendidikan, penggunaan waktu, ketahanan dan keragaman budaya, tata kelola pemerintahan, vitalitas komunitas, ketahanan dan keragaman lingkungan hidup, dan standar hidup. Keseluruhan aspek kebahagiaan ini kemudian diuraikan menjadi 33 indikator yang terukur untuk menentukan tingkat kebahagiaan bangsa. Ke-33 indikator dipilih untuk memenuhi kriteria handal secara statistik, penting secara normatif, dan mudah dimengerti oleh kalangan luas.
Keseluruhan aspek kebahagiaan tersebut kemudian mendapat bobot yang sama, karena dianggap sama pentingnya dalam menentukan tingkat kebahagian bangsa. Namun dalam setiap ranah, indikator obyektif diberi bobot yang lebih besar daripada indikator subyektif dan jawaban terbuka. GHN dapat dipilah ke dalam kelompok-kelompok penduduk dan wilayah, sehingga dapat digunakan  untuk merancang kebijakan dan program peningkatan kebahagiaan bangsa secara rinci dan terpadu; baik oleh pemerintah pusat, daerah, LSM atau dunia usaha.
Survei GHN menghasilkan 3 jenis hasil hitungan: hitungan kepala/headcount, intensitas dan indeks GHN. Hitungan kepala menunjukkan persentase penduduk yang merasa bahagia; intensitas menunjukkan rata-rata kecukupan yang dinikmati oleh penduduk; dan indeks GHN menggambarkan keadaan keseluruhan kebahagiaan suatu bangsa. Indeks GHN berkisar antara 0-1, angka lebih besar  menunjukkan indeks kebahagiaan lebih tinggi.
Berkaca kepada kesuksesan Bhutan dalam mengartikulasikan kebahagian masyarakatnya sebagai sebuah tolok ukur kesejahteraan bangsa serta inisiatif yang sudah dijalankan oleh BPS di level nasional, sepertinya perlu diwacanakan penerapan Indeks Kebahagiaan di level daerah (Gross Regional Happines/GRH). Terlebih seiring dengan pencapaian tujuan Millenium Development Goal’s (MDG’s) ataupun Sustainable Development Goal’s (SDG’s) yang memberikan perhatian besar pada keseimbangan pencapaian tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan. Perubahan habitat masyarakat dunia yang makin menghargai aspek budaya, sosial, religi dan kearifan lokal sebagai sebuah bentuk kesuksesan, makin mendukung perlunya penerapan GRH di Indonesia, khususnya di beberapa daerah yang dianggap masih memegang teguh nilai-nilai budaya dan aspek kekayaan tradisionalnya. Kota Yogyakarta, NAD, Sumatera Barat, Manado, Makassar dan Bali sepertinya menjadi usulan kasus yang sangat menarik untuk penerapan GRH. Best practice yang nantinya didapat dari kasus GRH inilah yang nantinya dapat menjadi amunisi di dalam proses konsensus nasional terkait penerapan di level nasional.
Jika ide tersebut sekiranya dapat diwujudkan, sepertinya mimpi tentang Indonesia yang lebih berbudaya dan tidak sekedar mementingkan aspek materi dalam penghitungan kesejahteraan masyarakat akan terwujud. Pemerintah akan bekerja seoptimal mungkin dengan menempatkan kesejahteraan masyarakat di atas segalanya. Masyarakat juga akan makin cinta kepada Pemerintah dan merasakan dengan segenap kesadarannya bahwa Pemerintah ada dan bekerja untuk mereka.
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

Kerjasama Daerah dan Pemberdayaan Daerah Tertinggal

Penulis : Helmy Faishal Zaini

Di negara-begara maju kerjasama antar daerah menjadi kebutuhan fundamental dalam mengatasi permasalahan internal daerah seperti masalah perbatasan daerah, pengelolaan kawasan dan lingkungan, keamanan bersama, pengelolaan air, produk unggulan, pemasaran produk unggulan daerah bersama, mengatasi kebakaran dan sebagainya. Dalam membangun kerjasama antar daerah tersebut, dibutuhkan flatform dan istrumen komunikasi dan kerjasama efektif. Salah satu konsep kerjasama yang telah teruji di negara maju dan telah dipraktekan di dalam negeri adalah konsep Regional Management.

Urgensi Kerjasama Daerah

Sejalan berlakukan otonomi daerah, pola penyelenggaraan pemerintahan berubah dari pola Sentralistik menjadi pola Desentralistik. Konsekwensi logis terhadap pembangunan daerah adalah pemerintah daerah memiliki ruang gerak yang sangat luas dalam menyelenggarakan pembangunannya atas dasar prakasa kreativitas dan peran aktif dalam mengembangkan dan mengajukan daerahnya, salah satu strategi untuk mendorong percepatan pembangunan adalah pengembangan regionalisasi desentralistik sebagai suatu istrumen dalam mempercepat pembangunan daerah tertinggal.

Pemanfatan Regionalisasi desentralik ini dipicu oleh faktor kebutuhan daerah tertinggal dalam rangka mensinergikan potensi dan program pembangunan dalam konteks kawasan/wilayah, dimana daerah paling bergantung dan saling membutuhkan melakukan upaya mengatasi keterbatasan sumber daya lokal.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa setiap daerah dapat melakukan kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kemudian dengan keluarganya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Kerjasama Daerah, Kebijakan ini memberi arah dan peluang kepada Pemerintah Daerah mengembangkan bekerjasama antar pemerintah daerah mengembangkan segala potensi unggulan dan sumber daya yang dimiliki daerah untuk dapat dikelola bersama dan bersinergi.

Kerjasama antar daerah yang bersinergi dibutuhkan dengan pertimbangan pertama, semakin berkembangnya keterbatasan potensi lokal, keterbatasan kemampuan Pemda dan pendapatan daerah maka daerah tertinggal perlu mennggalang kekuatan secara bersama-sama guna mengatasi kelemahan lokal. Kedua, perlu membangun wadah komunikasi/forum yang menunjang perencanaan partisipasi sesuai semangat otonomi daerah. Ketiga, terbukanya peluang Pemda untuk memperoleh keuntungan baik financial maupun non finansial, karena adanya faktor kebersamaan. Keempat, timbulnya kesadaran bahwa kerjasama antar daerah memperbesar peluang keberhasilan pembangunan daerah tertinggal.

 Peluang Daerah Tertinggal

Dalam RPJMN 2010 – 2014 menyatakan bahwa masih tingginya tingkat kesenjangan pembangunan antar wilayah, belum optimal perkembangan kawasan pertumbuhan yang diharapkan menjadi penggerak daerah tertinggal dan kawasa perbatasan, ini menunjukan belum adanya keterkaitan dan intergrasi ekonomi wilayah dalam system pengembangan wilayah.

Apabila kita cermati dari 183 kabupaten tertinggal, diantaranya yang masuk kategori kawasan/strategis adalah 14 kabupaten daerah tertinggal masuk di kawasan pengembangan ekonomi terpadu, 20 kabupaten daerah tertinggal masuk dalam kawasan perbatasan dan 15 kabupaten daerah tertinggal masuk dalam Kawasan Strategis Nasional, namun belum signifikasi memberikan dampak perkembangan bagi wilayah/daerah tertinggal maupun kawasan perbatasan.

Pusat-pusat pertumbuhan tersebut tidak bisa berdiri sendiri harus terkoneksi dengan pembangunan daerah teringgal dalam suatu system pengembangan wilayah yang sinergis, tanpa mempertimbangkan batas wilayah administrasi, tetapi ditekankan pada pertimbangan keterkaitan mata rantai Proses Industri dan Distribusi, oleh karena itu pentingnya mendorong regionalisasi melalui Kerjasama antar Daerah yang saling menguntungkan.

Selama ini ada enam Regional Management yang sudah terbentuk dan di fasilitasi oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, pertama, Regional Management AKSESS, meliputi lima kabupaten yaitu Bulukumbu, Selayar, Sinjai, Jeneponto, Bantaeng dengan core business  jagung dan rumput laut.

Kedua, Regional Management Jonjok Batur meliputi tiga kabupaten : Lombok Barat, Lombok Timur, dan Lombok Tengah dengan core business : jagung dan tembakau. Ketiga, Regional Management JangHiang Bang meliputi tiga kabupaten yaitu Kapahiang, Rejang Lebong dan Lebong, core business: perikanan dan pariwisata. Keempat, Regional Management Lake Toba meliputi tujuh kabupaten Samosir, Dairi, Fak-Fak Barat, Karo. P. Siantar, Tobasa, Humbahas, Tapanuli dengan core business : pariwisata.

Kelima, Regional Management Kaukus Setara Kuat meliputi tiga propinsi, lima kabupaten yaitu Kaur,

Bengkulu  Selatan  dan Bengkulu Utara (Propinsi Bengkulu), OKU  Selatan  (Propinsi Sumsel dan Lampung Barat, Propinsi Lampung dengan care business pariwisata, perikanan. Keenam, Regional management Pulau Sumbawa meliputi lima kabupaten yaitu: Bima, Kota Bima, Dompu, Sumbawa dan Sumbawa Barat dengan care business pengembangan sapi.

Lembaga Regional Management yang telah terbentuk tersebut diharapkan dapat berperan sebagai interfase untuk berbagai inisiasi dan berbagai program baik lintas sector, Lintas Wilayah maupun para pelaku pembangunan terkait baik pemerintah, swasta maupun masyarakat.

Dalam praktek beberapa Regional Management sebagai flatform, perencanaan bersama antar daerah dalam mengatasi pembangunan Infrastruktur bersama seperti contoh pembangunan Lapangan Udara dan Jalan Lingkar telah dilakukan oleh Lake Toba Regional Management dan Jonjok Batur Regional Management.

Dengan demikian, pentingnya mendorong kerjasama antar daerah melalui pengelolaan Regional Management sebagai suatu wadah perencanaan bersam yang mengedepankan komunikasi, koordinasi dan kerjasama untuk mengatasi kesenjangan pembangunan daerah tertinggal  dan daerah tertinggal maju bersama dengan daerah maju.  

 

Pawai Ta`aruf Kafilah MTQ Lobar ke-26

Laporan dan penghormatan pimpinan kafilah MTQ kepada Bupati Lobar, Dr. H. Zaini AronyGiri Menang – Musabaqah Tilawatil Qur`an (MTQ) ke-26 tingkat Kab. Lombok Barat (Lobar) tahun 2015 digelar. Bertindak sebagai tuan rumah adalah Kec. Batulayar. Sebagai tanda dimulainya ajang untuk mencari bibit-bibit terbaik yang menguasai Ilmu Al-Qur`an, maka Sabtu sore (14/3) berlangsung pawai ta`aruf atau pawai perkenalan para kafilah yang ikut berpartisipasi dalam ajang MTQ di seputaran jalan raya Senggigi Batulayar. (lebih…)

Lima Kadus di Golong Dilantik

Camat: Luar Biasa Persiapan Golong Lomba Desa

Kades Golong, HM. Zainuddin, SE melantik 5 kadesnya yaitu (dari kiri) I Wayan Putra S, H. Rifki, Muh. Rizal, Sukri dan SyarifudinGiri Menang – Sabtu (14/3/2015) merupakan hari bersejarah bagi 4 kepala dusun (kadus) periode 2015-2020 yang ada di Desa Golong Kec. Narmada Lombok Barat (Lobar) plus 1 kadus untuk periode 2012-2017. Bagaimana tidak bersejarah, hari itu, Kepala Desa Golong, H.M.Zainuddin, SE, melantik kelima kadusnya disaksikan Camat Narmada, Abdul Manan, S.Sos beserta istri, Muspika Narmada, tokoh agama, tokoh masyarakat dan masyarakat Desa Golong. (lebih…)

Menteri DPDTT usulkan dana tambahan daerah tertinggal

 Jakarta – Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT) Marwan Jafar mengusulkan penambahan dana khusus bagi daerah-daerah tertinggal.

Marwan dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa mengatakan sedang mengusulkan ada tambahan dana sehingga jika usulan disetujui akan ada tambahan dana bagi yang daerah yang tertinggal. (lebih…)

Link Download Bimtek PPBJ Pemkab Lobar

JADWAL PELATIHAN KEAHLIAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

MODUL PELATIHAN KEAHLIAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

BAHAN BIMTEK

 

 

UU Desa Sumber Spirit Baru BUMDes

Penulis: Aris Ahmad Risadi

Desa memiliki hak membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes atau BUM Desa). Sesunguhnya sinyal itu mulai muncul pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009. Namun, BUM Desa mulai menjamur setelah secara eksplisit tertera dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dukungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten cukup besar. Kementerian/Lembaga juga sudah mulai meresponnya dengan melibatkan BUM Desa dalam program/kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat desa. Kendati demikian upaya Pemerintah Daerah dan Pemerintah ini dinilai belum optimal.   Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diharapkan dapat menjadi sumber spirit baru BUM Desa.

Undang-undang No. 6 Tahun 2014 menegaskan kembali bahwa Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa. BUM Desa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.

Ketentuan tentang Badan Usaha Milik Desa dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 diatur dalam Bab X, dengan 4 buah pasal, yaitu Pasal 87 sampai dengan Pasal 90. Dalam Bab X UU Desa ini disebutkan bahwa Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUM Desa yang dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Usaha yang dapat dijalankan BUM Desa yaitu usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.

BUM Desa dirancang dengan mengedepankan peran Pemerintah Desa dan masyarakatnya secara lebih proporsional. Bila bercermin kepada peran Pemerintah Desa dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat selama ini, maka melalui model BUM Desa ini diharapkan terjadi revitalisasi peran Pemerintah Desa dalam pengembangan ekonomi lokal/pemberdayaan masyarakat.

Secara teknis BUM Desa yang ada sekarang masih mengacu kepada  Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa. Dengan hadirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, maka kedepan Desa mendapat peluang yang lebih besar untuk meningkatkan perannya dalam pengembangan ekonomi masyarakat perdesaan.  Dalam hal ini BUM Desa dapat menjadi instrumen dan dioptimalkan perannya sebagai lembaga ekonomi lokal yang legal yang berada ditingkat desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan desa.

Saat ini BUM Desa diberi peluang untuk mengembangkan berbagai jenis usaha sesusai dengan kebutuhan dan potensi desa. Adapun jenis-jenis usaha tersebut meliputi: 1) jasa 2) penyaluran sembilan bahan pokok, 3) perdagangan hasil pertanian; dan/atau 4) industri kecil dan rumah tangga.

Contoh dari usaha jasa adalah jasa keuangan mikro, jasa transportasi, jasa komunikasi, jasa konstruksi, dan jasa energi. Usaha penyaluran sembilan bahan pokok, antara lain beras, gula, garam, minyak goreng, kacang kedelai, dan bahan pangan lainnya yang dikelola melalui warung desa atau lumbung desa. Usaha perdagangan hasil pertanian meliputi jagung, buah-buahan, dan sayuran. Terakhir usaha industri kecil dan rumah tangga, seperti makanan, minuman, kerajinan rakyat, bahan bakar alternatif, dan bahan bangunan.

Jenis usaha yang banyak diusahakan oleh BUM Desa yang sudah ada sekarang baru jenis usaha jasa, itupun baru sebatas jasa keuangan mikro. Dari ketentuan yang ada, BUM Desa dapat mengembangkan berbagai jenis usaha sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Sebagai rintisan, unit usaha keuangan mikro sangat potensial dijadikan cikal bakal pembentukan BUM Desa. Strategi inilah yang tampaknya dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Dalam hal ini, keberadaan UED-SP (Usaha Ekonomi Desa–Simpan Pinjam) yang sehat menjadi syarat pembentukan BUM Desa di Kabupaten Rokan Hulu.

Di Pusat salah satunya Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) yang memiliki komitmen untuk mengembangkan lembaga perekonomian desa, termasuk BUM Desa.  Sejak tahun 2009 KPDT  telah memberikan kepercayaan kepada BUM Desa untuk mengelola Moda Transportasi yang diadakan melalui Dana Alokasi Khusus Bidang Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal (DAK SPDT). Hal ini ditegaskan dalam Petunjuk Teknis DAK SPDT yang dikeluarkan oleh KPDT.

Salah satu target yang ingin dicapai dari keberadaan sarana dan prasarana perdesaan yang didanai oleh DAK SPDT adalah meningkatnya pergerakan barang/penumpang dari pusat-pusat produksi menuju pusat-pusat pemasaran, dan meningkatnya akses masyarakat di perdesaan daerah tertinggal terhadap pelayanan publik.

Inisiatif  KPDT untuk memberikan kepercayaan kepada BUM Desa dalam pengelolaan Moda Transportasi bantuan DAK SPDT tampaknya tidak serta merta disambut oleh Pemerintah Kabupaten Tertinggal. Salah satu kendalanya karena sebagian besar dari kabupaten tertinggal tersebut belum memiliki BUM Desa.

Beberapa kabupaten tertinggal yang memberanikan diri memberikan mandat kepada BUM Desa ternyata juga belum mendapatkan hasil yang menggembirakan. Faktor kesiapan BUM Desa dalam mengelola usaha masih menjadi kendala.

Kondisi ini menjadi pertanda bahwa masih dibutuhkan upaya panjang untuk menjadikan BUM Desa sebagai pelaksana pembangunan perekomian perdesaan. Dibutuhkan sinergi dan dukungan yang sepadan dari pemerintah dan pemerintah daerah.

Ada 4 (empat) agenda pokok yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan peran BUM Desa, yaitu :

  1. Pengembangan dan Penguatan Kelembagaan. Tahapan ini meliputi: perumusan regulasi/pengaturan, dan penataan organisasi. Pemerintah harus merivisi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 dalam hal ini perlu menyesuaikan dengan Undang-undang No. 6 Tahun 2014, serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014. Jika mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010, maka Daerah diharapkan untuk:
  • Menyusun Peraturan Daerah tentang Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan BUM Desa yang minimal memuat tentang: bentuk organisasi, kepengurusan, hak dan kewajiban, permodalan, bagi hasil, keuntungan dan kepailitan, kerja sama dengan pihak ketiga, mekanisme pertanggungjawaban, pembinaan, dan pengawasan masyarakat;
  • Mengoptimalkan peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (seperti Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa) dalam pembinaan terhadap BUM Desa;
  1. Penguatan kapasitas (capacity building). Mencakup pemberdayaan, pelatihan, dan fasilitasi secara berjenjang. Pemerintah melakukannya kepada Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Daerah melakukannya kepada Pemerintah Desa dan BUM Desa;
  2. Penguatan Pasar. Setelah BUM Desa berdiri diharapkan melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, perluasan pasar, dan mendapatkan fasilitasi akses terhadap berbagai sumber daya;
  3. Keberlanjutan. Mencakup pengorganisasian, forum advokasi, dan promosi sehingga mendapatkan wujud BUM Desa yang ideal serta semakin mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan terutama  masyarakat dan dunia usaha.

 

Masalah terbesar yang dihadapi Pemerintah Desa dalam mendukung kehadiran dan mengoptimalkan peran BUM Desa adalah cengkraman Kementerian/Lembaga yang sudah kecanduaan mengelola kegiatan yang langsung ke tingkat desa.

Kehadiran Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diharapkan mampu memaksa seluruh pihak terkait untuk konsisten memberikan peran yang lebih besar kepada Pemerintah Desa didalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Termasuk dalam memberikan peran yang maksimal kepada BUM Desa dalam mengembangkan kegiatan ekonomi perdesaan.

Kesemrawutan kelembagaan ekonomi masyarakat desa yang muncul akibat ego sektoral dan tidak berdayanya Pemerintah Desa dalam memutus mata rantai ini diharapkan dapat terjawab dengan hadirnya BUM Desa dan paradigma baru pengelolan desa sesuai spirit UU Desa.

  1. Tulisan diadaptasi dari Makalah yang  disampaikan untuk acara “Kongres Gerakan Desa 2014” di Hotel Grand Cempaka – Jakarta, 5-6 September 2014.
  2. Penulis adalah Ketua Perkumpulan Studi dan Pembangunan Indonesia (PSPI), anggota Relawan Desa.

 

Sumber

1 144 145 146 147 148 242