Harga komoditi tanaman hortikultura jenis sayur-mayur ternyata masih cukup prospektif. Meski harganya sempat menurun di pasaran, namun penurunan tersebut tidak terlalu membuat petani rugi. Penurunan harga terjadi mengingat stok di pasar berlimpah. Namun dari sisi ekonomi petani dibandingkan dengan biaya produksi yang dikeluarkan, petani mengaku masih beruntung.
Hamdi (35) petani sayuran kembang kol asal Labuapi, membandingkan jika pada musim panen sebelumnya, harga perkilonya bunga kol di pasaran bisa menembus Rp 8000. Ia menyadari pada saat itu, petani lainnya masih jarang yang menanam sayuran jenis ini. “Namun sebaliknya saat ini banyak yang mencoba menanam kembang kol dan panen secara bersamaan. Akibatnya harga turun menjadi Rp 5000 perkilonya,” kata Hamdi yang ditemani istrinya saat panen di Labuapi, belum lama ini.
Ditanya soal pemasaran, Hamdi tak terlalu mengkhawatirkannya. Selama ini ia memasarkannya ke sejumlah pasar seperti pasar Kebon Roek, Pasar Bertais, Pasar Pagesangan (Mataram), Pasar Labuapi, Pasar Perampuan, Pasar Kediri, Pasar Gerung di Lombok Barat. “Di sejumlah pasar tersebut kebutuhan sayur-mayur permintaannya masih tinggi. Karena itu peluang pasar tanaman holtikultura ini tetap stabil,” jelas Hamdi yang juga anggota Kelompok Tani Labuapi 4.
Terkait penyakit yang suka menyerang tanamannya, Hamdi tidak menampiknya. Paling banter serangan hama ulat daun seringkali mengancam tanaman sayurnya. Salah satu cara untuk membasminya dengan menyemprotkan insektisida ulat daun.
Hamdi juga melakukan persemaian bibit kol sebelum di tanam di sebidang tanah yang luasnya 15 are. Ia membeli bibit sebanyak 10 gram dengan harga Rp. 70 ribu. “Dari 10 gram bibit tersebut menjadi 1.500 batang. Masa panen terhitung sampai 45 hari. Dan untuk 15 are ini rata-rata kami bisa menghasilkan antara 5-6 kwintal kembang kol,” kata Hamdi.
Jurnalisme warga: Wardi, Labuapi