Kembali memasuki bulan Ramadhan, tentu penting untuk me-review hukum-hukum penting seputar Ramadhan. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut. Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan
Awal dan akhir Ramadhan ditetapkan berdasarkan pantauan bulan. Mayoritas ulama berpendapat; jika suatu negeri berhasil melihat bulan, hasil pantauan hilal negeri itu berlaku bagi seluruh kaum Muslim di dunia, tanpa memperhatikan perbedaan mathla‘ maupun batas negara. Ketentuan ini didasarkan hadis sabda Nabi saw.:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal. Jika pandangan kalian terhalang, sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR al-Bukhari dan Muslim).
Imam Hashfaki menyatakan, “Perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum zuhur, atau menjelang zuhur. Dalam hal ini, penduduk di wilayah timur harus mengikuti (ru’yat kaum Muslim) yang ada di barat jika ru’yat mereka diterima (sah) menurut syariah.” (Imam al-Hashfaki, Ad-Durr al-Mukhtâr wa Radd al-Muhtâr, II/131-132).
Rukun Puasa
Rukun puasa ada dua: (1) niat pada malam hari; (2) imsak, yakni menahan diri dari semua hal yang membatalkan puasa.
Terkait niat puasa pada malam hari, Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
Siapa saja yang tidak berniat puasa sebelum fajar maka tidak ada puasa bagi dirinya (HR Khamsah).
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban mensahihkannya dan me-marfû’-kan hadis ini [Subul as-Salâm, III/305).
Ibnu Umar, Jabir bin Yazid dari golongan Sahabat, al-Nashir, al-Muayyid Billah, Imam Malik, al-Laits dan Ibnu Abi Dzaib mewajibkan niat pada malam hari tanpa membedakan puasa wajib (Ramadhan dan tathawwu’ [Sunnah]). Adapun Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal, al-Hadi dan al-Qasim mengharuskan niat pada malam hari khusus untuk puasa fardhu (Ramadhan), tidak untuk puasa sunnah. Mereka menyatakan bahwa puasa tidak sah bila tidak ada niat pada malam hari (Nayl al-Awthar, IV/574).
Orang yang baru berniat puasa Ramadhan pada siang hari karena lupa, ia wajib segera berniat ketika ingat, wajib menahan diri layaknya orang yang sedang berpuasa. Namun, puasanya dihukumi batal dan harus diganti pada hari lain.
Imam Syafii dan Ibnu Mundzir berpendapat bahwa niat harus dilakukan setiap malam bulan Ramadhan. Namun, menurut Imam Malik, Ishaq, dan Imam Ahmad niat puasa sah untuk puasa selama satu bulan. Pendapat Imam Syafii dalam hal ini lebih kuat. Sebab, puasa merupakan ibadah khusus yang waktunya dibatasi (Imam asy-Syaukani, Nayl al-Awthar, hlm. 257).
Apakah sah puasa diniatkan pada siang hari untuk puasa besok harinya? Imam Abu Hanifah menyatakan, “Sah puasa Ramadhan dan puasa yang ditetapkan dengan berniat pada siang harinya.” (Syarh Kabîr, III/23).
Hal-hal yang bisa membatalkan puasa adalah: (1) berniat membatalkan puasa; (2) makan dan minum dengan sengaja; (3) muntah dengan sengaja; (4) bersetubuh atau mengeluarkan air mani dengan sengaja; (5) haid dan nifas; (6) merokok atau memasukkan obat-obatan dari hidung atau mulut. Selain dari enam hal ini tidaklah membatalkan puasa seperti berkumur, menyikat gigi, dan lain sebagainya.
Syarat Wajib Puasa
Puasa diwajibkan atas: (1) Muslim; (2) Balig; (3) Berakal; (4) Suci dari haid dan nifas (bagi wanita); (5) Mukim, tidak sedang safar; (6) Sanggup berpuasa.
Orang kafir tidak wajib berpuasa. Sebab, puasa merupakan ibadah yang disyaratkan di dalamnya keIslaman. Jika orang kafir masuk Islam pada bulan Ramadhan, ia wajib melaksanakan puasa Ramadhan. Jika ia masuk Islam pada siang hari, mulai saat itu ia wajib menahan diri tidak mengerjakan perbuatan yang dapat membatalkan puasa hingga datang saat maghrib. Ini juga berlaku bagi orang yang murtad dari Islam. Apabila orang yang murtad kembali masuk Islam pada saat bulan Ramadhan, ia wajib berpuasa. Jika ia masuk Islam pada malam hari, ia wajib berniat puasa dan mengerjakan puasa mulai subuh hingga maghrib. Jika ia masuk Islam pada siang hari, ia wajib menahan diri dari semua hal yang membatalkan dan merusak pahala puasa. Ia juga wajib meng-qadha’ puasa yang ia tinggalkan pada saat ia murtad (Imam asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab fî Fiqh al-Imâm asy-Syâfi’i, 1/177). Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah QS al-Anfal (8) ayat 38.
Anak kecil (belum balig) tidak diwajibkan berpuasa. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
Diangkat kalam (taklif hukum) dari tiga orang: (1) dari orang yang tidur hingga ia bangun; (2) dari anak kecil hingga ia balig; (3) dari orang gila sampai ia waras (HR Ashhabus Sunan dan al-Hakim).
Namun demikian, anak kecil hendaknya diajari berpuasa, sebagaimana hadis yang menyatakan, “Kami, para Sahabat, berpuasa sesudah mendengar itu, dan menyuruh anak-anak kecil berpuasa. Kami pergi ke masjid dan kami buat untuk anak-anak mainan dari bulu domba. Bila seorang anak menangis untuk meminta makanan, kami berikan mainan itu kepada dia hingga waktu berbuka.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Orang gila tidak wajib berpuasa dan tidak wajib meng-qadha’ puasanya tatkala ia masih gila. Bila ia kembali waras pada bulan Ramadhan maka ia wajib melaksanakan puasa, dan imsak pada sisa harinya.
Wanita yang sedang haid atau nifas juga tidak wajib berpuasa. Jika ia telah suci dari haid atau nifasnya, ia wajib meng-qadha’ puasa yang ia tinggalkan selama haid dan nifas. Ini didasarkan pada hadis penuturan Muadz bahwa ‘Aisyah ra. berkata, “Kami haid pada masa Rasulullah saw. Lalu kami diperintahkan supaya meng-qadha’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ shalat.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan lain-lain).
Orang yang bepergian juga tidak diwajibkan berpuasa. Mereka boleh berpuasa dalam safarnya atau tidak. Bila ia tidak berpuasa dalam safarnya, ia wajib mengganti puasa sejumlah hari yang ia tinggalkan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 184).
Puasa pun tidak diwajibkan bagi orang sakit. Bila si sakit sembuh dari sakitnya, ia wajib mengganti sebanyak hari yang ia tinggalkan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 184).
Kata [marîdh] dalam QS al-Baqarah [2]: 184 berfaedah pada makna umum, dan tidak disyaratkan sakit keras atau lemah. Demikianlah pendapat Atha’ dan Ahlu al-Dzahir, Bukhari dan Ibnu Sirin (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni).
Adapun yang dimaksud dengan orang yang tidak mampu berpuasa pada ayat di atas adalah orang yang sangat tua, atau orang yang tidak sanggup sama sekali berpuasa. Mereka diberi keringanan (rukhshah) tidak berpuasa, tetapi wajib membayar fidyah (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 184).
Syarat Sah Puasa
Syarat sah puasa ada empat: (1) Islam sepanjang hari; (2) Suci dari haid, nifas dan wilâdah; (3) Tamyîz, yakni dapat membedakan antara yang baik dan tidak baik; (4) berpuasa pada waktunya.
Jika salah satu dari empat syarat di atas tidak dipenuhi maka puasanya tidak sah.
Tatacara Meng-qadla’ Puasa
Para ulama berbeda pendapat apakah qadha’ puasa mesti dilakukan berurutan atau tidak. Mayoritas ulama berpendapat boleh memilih antara berurutan atau terpisah-pisah harinya. Rasulullah saw. bersabda:
قَضَاءُ رَمَضَانَ إنْ شَاءَ فَرَّقَ ، وَإِنْ شَاءَ تَابَعَ
Qadha’ puasa Ramadhan boleh dilakukan dengan berurutan atau terpisah-pisah harinya (HR ad-Daruquthni).
Ibnu ‘Abbas ra. berkata, “Tidak mengapa meng-qadha’ puasa dengan terpisah-pisah, sebagaimana firman Allah SWT: Sempurnakan puasa kalian pada hari yang lain.” (Imam asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr, hlm. 299).
Batas waktu meng-qadha’ puasa adalah hingga menjelang bulan Ramadhan (Sya’ban). Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat ‘Aisyah ra. yang berkata, “Aku memiliki tanggungan puasa dari bulan Ramadhan. Aku tidak meng-qadha’ puasa itu hingga datang bulan Sya’ban.” (HR al-Bukhari).
Bila seseorang tidak meng-qadha’ puasanya hingga datang bulan Ramadhan berikutnya, sebagian ulama mewajibkan orang tersebut membayar fidyah selain kewajiban meng-qadha’ puasanya. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa orang tersebut tetap wajib qadha’, dan tidak diwajibkan membayar fidyah baik karena udzur atau tidak. Ini adalah pendapat al-Hasan dan ulama Hanafiyyah. Imam Malik, Syafii, Ahmad dan Ishaq sependapat dengan ulama Hanafiyyah jika orang tersebut mempunyai udzur; namun bila tidak ada udzur, wajib membayar fidyah.
Bila seseorang mati dengan menyisakan puasa Ramadhan, walinya tidak wajib membayar fidyah. Bila si mati bernadzar maka si walinya harus melaksanakan nadzar si mati. Ketetapan ini didasarkan sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang meninggal dunia, sedangkan ia memiliki tanggungan puasa yang dia tinggalkan, tetapi tidak dikerjakan pada masa hidupnya, dipuasakanlah untuk dia oleh walinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Atas dasar itu, jumhur ulama sepakat bahwa wali si mati harus mengganti puasa yang ditinggalkan.
Ketentuan Fidyah
Fidyah adalah memberikan makanan kepada fakir miskin setiap hari, dengan takaran sebanyak 1 mud (lebih dari 6 ons). Ketentuan ini didasarkan QS al-Baqarah (2) ayat 184], juga hadis dari Ibnu ‘Abbas, “Siapa saja yang telah sangat tua dan tidak sanggup berpuasa Ramadhan, maka ia memberi fidyah sehari sebanyak 1 mud gandum.” (HR al-Bukhari).
Yang dimaksud orang yang tidak mampu adalah orang yang sudah sangat tua, atau orang yang memang tidak sanggup sama sekali berpuasa. Mereka diberi keringanan (rukhshah) tidak berpuasa, namun wajib membayar fidyah.
Sebagian ulama memasukkan wanita hamil dan menyusui ke dalam kelompok “orang-orang yang tidak mampu berpuasa”. Diriwayatkan dari ‘Ikrimah, bahwa Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Ayat tersebut juga berlaku bagi wanita hamil dan yang sedang menyusui.” (HR Abu Dawud).
Ibn Hazm meriwayatkan dari Hammad Ibn Salah dari Ayub dari Nafi’ bahwa seorang perempuan Quraisy yang sedang hamil bertanya kepada Ibnu Umar tentang puasanya. Ibnu Umar menjawab, “Berbukalah dan berilah makan seorang miskin setiap harinya dan tidak usah meng-qadha’-nya.”(Ibn Hazm, Al-Muhalla, VI/263).
Hadis di atas adalah hadis mawqûf. Sebagian ulama mengamalkan hadits di atas, dan berpendapat bahwa orang yang hamil, menyusui dan orang sakit menahun harus berbuka dan tidak perlu meng-qadha’-nya. Ia hanya diwajibkan membayar fidyah. Itu pun jika ia mampu.
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wanita hamil dan menyusui tetap wajib berpuasa jika tidak ada kesulitan atas dirinya. Ia hanya dibolehkan berbuka ketika sudah tidak sanggup meneruskan puasanya karena kesulitan yang membahayakan dirinya dan ia harus meng-qadha’ puasa yang ditinggalkan tanpa harus membayar fidyah. Jika tidak mampu meng-qadha’, ia wajib membayar fidyah.
Termasuk golongan yang tidak mampu berpuasa adalah orang yang sakit sangat akut, menahun dan tidak bisa diharapkan sembuh.
Ancaman Bagi Orang Yang Meninggalkan Puasa
Dalam kitab At-Targhîb disebutkan, jika seseorang meninggalkan kewajiban puasa dengan sengaja secara i’tiqâdi maka ia telah terjatuh dalam kekufuran. Dalilnya adalah riwayat ad-Dailami dan disahihkan oleh adz-Dzahabi dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
عُرَى اْلإِسْلاَمِ وَقَوَاعِدُ الدٍّيْنِ ثَلاَثَةٌ عَلَيْهِنَّ أُسُسُ اْلإِسْلاَمِ مَنْ تَرَكَ مِنْهِنَّ وَاحِدَةً فَهُوَ بِهاَ كَافِرٌ حَلاَلُ الدَّمِ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَالصَّلاَةُ اْلمَكْتُوْبَةُ وَصَوْمُ رَمَضَانَ
Sendi-sendi dan dasar-dasar agama Islam ada tiga dan Islam dibangun di atas tiga sendi ini. Siapa saja yang meninggalkan salah satu dari ketiganya adalah kufur dan halallah darahnya, yaitu: mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, shalat fardhu, dan puasa Ramadhan (HR Abu Ya’la).
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]