Desa Labuapi, Kecataman Labuapi sudah dikenal menjadi sentra pengerajin topeng dan kerajinan kayu sejak tahun 1995. Krisis moneter yang melanda negara ini pada tahun 1998 pun bahkan tidak mempengaruhi kegiatan perajin di desa ini. Bahkan, kerajinan kayu ini mencapai masa jayanya pada era krisis tersebut. Namun belakangan setelah kejadian bom bali hingga sekarang, kerajinan ini mulai meredup. Penyebabnya, pascabom bali tersebut pangsa pasar kerajinan ini pun ikut terkena imbas sebab sebagian besar dipasarkan ke Bali.
Selain itu, minimnya perhatian pemerintah daerah (Pemda) Lobar terhadap pembinaan para pengerajin salah satu penyebab para pengerajin banyak yang banting setir ke usaha lain. Akibatnya, kerajinan topeng di desa ini diambang mati suri karena banyak ditinggal oleh para pengerajinnya. Salah seorang perajin yang masih bertahan adalah Saheh (40), asal dusun Labuapi Desa Labuapi. Ia mengakui, memulai usaha sebagai perajin topeng sejak 17 tahun silam, persisnya tahun 1998-1999. Ketika itu, kerajinan topeng tengah naik daunnya. “Dulunya hampir 100 persen warga di kampung ini sebagai perajin, tapi sekarang jauh berkurang,”tutur Saheh ketika ditemui di rumahnya minggu kemarin.
Dulunya, kerajinan topeng menjadi salah satu sumber utama mata pencaharian masyarakat setempat. Waku itu, hampir disetiap rumah warga ada saja membuat kerajinan topeng. Ada kelompok pembuat topeng, pengamplas, pemahat, hingga proses finisihing. Bahkan karena majunya kerajinan ini saat itu, anak SD – SMP pun ikut mencari uang melalui kerajinan ini.
Warga pun membentuk paguyuban untuk terus mempertahankan eksistensi kerajinan ini. kelompok-kelompok dibentuk secara swadaya untuk terus mengembangkan usaha ini, sebagai sektor utama di desa setempat. Dari sisi tingkat produksi kerajinan topeng waktu itu pun jauh lebih banyak, per bulan para perajin bisa memproduksi mencapai 3-5 ribu topeng per bulan karena banyak yang memesan. Sehingga hampir setiap pekan ada saja pengerajin yang berangkat ke bali mengirim topeng.
Namun setelah tahun 2002, pascabom bali kerajinan ini mulai cenderung meredup. Kelompok yang tadinya aktif menjadi kurang aktif, sehingga banyak pengerajin yang pindah ke usaha lain. Ada yang ke bekerja di gudang, proyek dan sebagai buruh. Namun ia sendiri tetap bertahan karena ingin mempertahankan kerajinan topeng khas Labuapi. “Saya tetap bertahan,”ujarnya.
Kemerosotan kerjainan ini saat itu, karena pengaruh pemasaran. Karena pengaruh kejadian bom bali, pemasaran topeng ini pun terkena imbas. Sebab bebanyakan pemasaran topeng dikirim ke bali. Ditambah minimnya perhatian pemerintah daerah kerajinan ini pun semakin terpuruk. Tingkat produksi pun jauh menurun hampir 50 persen dari sebelumnya. “Pengunjung dan pemesan sepi, para perajin pun banyak yang gulung tikar,”katanya. Praktis saat ini, dari ratusan perajin yang dulunya menekuni usaha ini, sekarang hanya bisa dihitung dengan jari.
Ia mengaku, selama belasan tahun sebagai perajin tidak pernah dibantu baik itu akses modal dan peralatan oleh pemda dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Padhal katanya, para perajin kesulitan akses modal. Ketika harus memenuhi pesanan dalam partai besar, para perajin ini kerap kali kesulitan modal untuk biaya produksi karena pemesan hanya memberikan DP 5 persen. Sehingga banyak perajin terpaksa saling pinjamkan uang untuk menutupi sementara biaya produksi, setelah dibayar lunas oleh pemesan barulah bisa didibayar.
Para perajin juga terkendala peralatan, kebanyakan para perajin membeli peralatan secara swadaya. Bahkan, ia terpaksa menggadaikan BPKB kendaraannya untuk bisa membeli peralatan seperti kompresor, pemahat, parang dan parang. Sementara untung yang diperoleh para perajin sendiri tidak terlalu besar, dibandingkan biaya produksi jauh lebih besar. Harga jual topeng bervariasi tergantung ukuran dan kualitas, kalau kualitas topeng bagus harga jualnya Rp 55 ribu, sedangkan yang berukuran kecil Rp 40. “Itupun modalnya Rp 40 ribu, untugnnya hanya Rp 15 ribu, itu pun masih kotor belum dihitung untuk para guide,”ujarnya.
Untuk menghidupkan lagi kerajinan di desanya, ia berharap pemda melirik para perajin yang masih ada. Pemda harus memberikan akses peralatan dan permodalan untuk mengembangkan usaha kerajinan topeng yang menjadi mata pencaharian turun temurun di desa itu. Terpisah, camat Labupai, Baiq Mustika tak menampik jika kerajinan topeng memang mulai menurun. Karena itu pihanya akan berupaya menghidupkan lagi kerajinan yang smepat jarya di era tahun 1998 lalu tersebut. “Kami akan berkoordinasi dengan dinas perindag dan dinas koperasi untuk pembinaan pengerajin,”ujarnya.
Pemda katanya pasti akan mengembangkan kerajinan ini karena adanya program desa tematik, sebab Desa Labuapi bersama Desa Kuranji Dalang sendiri masuk desa wisata. Diharapkan dengan ditetapkannya sebagai desa tematik, maka usaha ini kembali bisa dikembangkan lagi. Untuk sementara, pemda dan kecamatan minimal perlu menjadi pengguna pertama hasil kerajinan topeng di desa Labuapi. Hasil kerajinan bisa dibeli untuk keburuhan ornament di kantor.
Rawan Diklaim Daerah Lain
Kerajinan topeng yang dihasilkan pengerajin di Desa Labuapi telah banyak dipasarkan ke daerah lain seperti Jakarta, Bali. Bahkan kerajinan topeng ini, merambah hingga ke luar negeri seperti Australia, Singapura, dan India. Namun sayangnya, kerajinan ini kebanyakan dikirim melalui daerah lain sebut saja Bali sehingga rawan diklaim. Menurut Saheh (40), salah seorang perajin topeng ditemui Minggu kemarin di rumahnya di Labuapi, kebanyakan perajin di desa labuapi mengirim barang ke bali. Pangsa pasar, topeng ini lebih banyak ke Bali. “Banyak dikirim ke bali, setelah itu nanti dikirim ke daerah lain bahkan Negara lain,”akunya.
Ia sendiri tidak tahu, apakah kerjainan yang dikirim melalui Bali itu tetap atas nama produk asal Lobar. Namun, dkhawatirkan hasil kerainan itu bisa saja diatas namakan produk dari Bali. Meskipun katanya, para pemesan baik itu dari luar negeri mengetahui kualitas topeng yang dihasilkan perajin Labuapi.
Pemasaran topeng ini, tidak saja melalui Bali namun juga merambah Jakarta. Di Jakarta, biasanya topeng ini dijajakan saat pameran. “Sering kali kerajinan kami dibawa ke Jakarta untuk ikut pameran,”imbuhnya.
Ia mengaku, selain diorder oleh pemesan dari daerah lain ia juga menerima orderan dari Austalia, Singapura dan India. Ia memperbanyak jaringan dengan pemesan dari luar negeri, sebagai upaya mempertahankan eksistensi kerajinan topeng. Total orderan dari sejumlah Negara itu bervariasi, pemesan dari Australia senilai Rp 7 juta, dari Singapura Rp 15 juta. Sedangkan dari india, Rp 30 juta.
Ia mengaku topeng labuapi masih banyak dicari karena kualitas topeng dari Labuapi memang berbeda dengan daerah lain, ada kekhasan tersendiri dari sisi kualitas sehingga banyak diburu pemesan baik dalam dan luar negeri. Untuk mempertahankan itu, ia sendiri menjaga betul kualitas bahan baku topeng.
Beberapa waktu lampau, biasanya topeng-topeng tersebut dibuat dari kayu Pohon Mahogani. Akan tetapi seiring berjalannya waktu pohon mahogani menjadi sulit dicari, bahan tersebut diganti dengan kayu pohon lainnya. Seperti Pohon Mangga, Pohon Nangka, atau Pohon Kelengkeng. Bahan-bahan untuk membuat kerajinan tersebut juga tidah hanya berasal dari Desa Labuapi saja. Misalnya kulit kerang atau cukil didatangkan dari desa penghasil cukil, yaitu Desa Lendang Re. Demikian juga dengan bahan-bahan lainnya.
Proses pembuatan topeng ini juga dilakukan secara cermat, mulai dari baku. Proses pembuatan mulai dari cukli, lalu diamplas. Begitu pula tahap penggambaran hingga pengkilatan benar-benar dilakukan secara apik, supaya topeng yang dihasilkan tidak jamuran.”Kalau jamuran dikilatin lagi, tambah biaya,”ujarnya. Karena itu tahap pengkilatan dan pengamplasan beberapa kali untuk memperoleh hasil yang bagus. Barulah tahap terakhir difinishing.
Pengirim : Zubaidi, Jurnalisme Warga